Kedudukan Mu’awiyah bin Abi Sufyan disisi Ulama’ Salaf
قال أبوعلي الغَسَّاني الجَيَّاني – كما ذكر ابن خَلِّكان -: (أن عبد الله بن المبارك سئل: أيهما أفضل: معاوية بن أبي سفيان أم عمر بن عبد العزيز؟ فقال: “والله إنَّ الغبار الذي دخل في أنف معاوية مع رسول الله صلى الله عليه وسلم أفضل من عُمر بألف مرَّة، صلَّى معاوية خلف رسول الله صلى الله عليه وسلم، فقال: سمع الله لمن حمده. فقال معاوية: ربنا ولك الحمد. فما بعد هذا ؟”).اهـ.
Abu Ali Al-Ghossani Al-Jayyani sebagaimana disebutkan Ibnu Khollikan: “Bahwa Abdullah bin Mubarok ditanya, ‘Siapakah yang lebih afdhol, Mu’awiyah bin Abi Sufyan ataukah Umar bin ‘Abdul ‘Aziz? Beliau menjawab: Demi Allah! Sesungguhnya debu yang masuk ke hidung Mu’awiyah (ketika) bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam lebih mulia seribu kali dari Umar (bin Abdul ‘Aziz). Mu’awiyah sholat dibelakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, beliau mengucapkan: Sami’allahu liman hamidah. Mu’awiyah menjawab: Robbana wa Lakal Hamd. Adakah keutamaan yang lebih besar dari ini?”
Abu Ali Al-Ghossani Al-Jayyani sebagaimana disebutkan Ibnu Khollikan: “Bahwa Abdullah bin Mubarok ditanya, ‘Siapakah yang lebih afdhol, Mu’awiyah bin Abi Sufyan ataukah Umar bin ‘Abdul ‘Aziz? Beliau menjawab: Demi Allah! Sesungguhnya debu yang masuk ke hidung Mu’awiyah (ketika) bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam lebih mulia seribu kali dari Umar (bin Abdul ‘Aziz). Mu’awiyah sholat dibelakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, beliau mengucapkan: Sami’allahu liman hamidah. Mu’awiyah menjawab: Robbana wa Lakal Hamd. Adakah keutamaan yang lebih besar dari ini?”
Kepahlawanan Para Shahabat Ketika Perang Yarmuk
Sejarah kejayaan Islam tak lepas dari amalan jihad yang diperani oleh para pendahulu umat ini. Jihad memiliki kedudukan mulia di dalam Islam. Tentunya, diatas ketentuan yang telah digariskan Allah dan Rasul-Nya . Bukan aksi teror yang muncul dari semangat tanpa ilmu. Tulisan berikut ini adalah memaparkan gambaran jihad fii sabilillaah di masa Khalifah Abu Bakr Ash-Shiddiq .
Seusai memulihkan kondisi jazirah ’Arab, dengan memerangi kaum murtad dan orang-orang yang menolak membayar zakat, Abu Bakr berusaha keras memobilisasi pasukan Islam dalam upaya menaklukkan negeri Syam yang termasuk daerah teritorial kerajaan Romawi.
Keadaan Romawi sebelum Peperangan
Ketika pasukan Islam bergerak menuju Syam, tentara Romawi merasa terkejut dan sangat takut. Dengan serta-merta mereka mengirimkan surat yang memberitahukan akan hal tersebut kepada Heraklius, raja Romawi yang berada di Himsh (sekarang dikenal dengan Homs –red). Dia pun melayangkan surat balasan yang berbunyi, ”Celaka kalian! Sesungguhnya mereka adalah pemeluk agama baru. Tidak ada yang bisa mengalahkan mereka. Patuhilah aku, dan berdamailah dengan menyerahkan setengah penghasilan bumi Syam! Bukankah kalian masih memiliki pegunungan Romawi?! Jika kalian tidak mematuhi perintahku, niscaya mereka akan merampas negeri Syam dan akan memojokkan kalian hingga terjepit di pegunungan Romawi.”
Tatkala telah mendapatkan surat balasan seperti ini, mereka (tentara Romawi) tidak mau menerima saran tersebut. Akhirnya, mau tidak mau Raja Heraklius mengirim pasukan dalam jumlah yang besar. Pasukan Romawi mulai bergerak, dan berhenti di lembah Al-Waqusah, di samping sungai Yarmuk yang berdataran rendah dan memiliki banyak jurang.
Kedatangan Khalid bin Al-Walid dari ‘Iraq
Pasukan Islam yang berada di Syam segera meminta bantuan. Maka Abu Bakr Ash-Shiddiq memerintahkan Khalid bin Al-Walid agar menarik diri dari ’Iraq untuk kemudian menuju Syam bersama bala tentaranya. Dengan segera Khalid menunjuk Al-Mutsanna bin Haritsah v sebagai penggantinya di ’Iraq. Kemudian beliau bergerak cepat dengan membawa 9.500 personel pasukan menuju Syam. Mereka melalui jalan-jalan yang tidak pernah dilalui seorang pun sebelumnya, dengan menyeberangi padang pasir, mendaki gunung, serta melewati lembah-lembah yang sangat gersang.
Persiapan Pasukan Islam
Abu Sufyan mengusulkan, layaknya ahli strategi perang, agar pasukan dibagi menjadi tiga formasi. Sepertiga bersiap-siap di depan pasukan Romawi, sepertiga lainnya yang terdiri dari bagian perbekalan dan para wanita agar berjalan, dan sepertiga yang tersisa dipimpin oleh Khalid di posisi belakang. Jika musuh telah mencapai perkemahan wanita dan perbekalan, Khalid akan berpindah ke depan kaum wanita, sehingga mereka dapat menyelamatkan diri di belakang pasukan Khalid bin Al-Walid .
Maka mereka pun segera merealisasikan usulan itu. Pasukan Islam mulai berkumpul dan berhadapan dengan musuh pada awal bulan Jumadil Akhir tahun 13 H.
Strategi Pasukan Islam
Pasukan Islam kala itu jumlahnya berkisar antara 36 ribu sampai dengan 40 ribu personel tentara. Didalamnya terdapat seribu orang shahabat Nabi . Seratus orang dari mereka adalah para veteran perang Badar. Abu ’Ubaidah ibnul Jarrah (namanya Hanzholah bin Ath-Thufail) memimpin posisi tengah pasukan. ’Amru bin Al-’Ash dan Syarahbil bin Hasanah memimpin sayap kanan pasukan. Sedangkan pemimpin sayap kiri pasukan adalah Yazid bin Abi Sufyan (dia dikenal dengan sebutan Yazid Al-Khoir).
Khalid membawa kudanya ke arah Abu ’Ubaidah dan berkata, ”Aku akan memberikan usul.” Abu ’Ubaidah menjawab, ”Katakanlah, aku akan mendengar dan mematuhinya.” Khalid kembali berkata, ”Musuh pasti menyiapkan pasukan besar untuk membobol pertahanan pasukan kita. Aku khawatir pertahanan sayap kiri dan kanan akan kebobolan. Menurutku, pasukan berkuda harus dibagi menjadi dua kelompok. Satu pasukan ditempatkan di belakang sayap kanan, dan yang lain ditempatkan di belakang sayap kiri. Apabila musuh berhasil menembus pertahanan sayap kiri atau kanan, para pasukan berkuda berperan membantu mereka. Lalu kita datang menyerbu dari belakang.” Abu ’Ubaidah berkomentar, ”Alangkah jitu usulmu itu!”
Khalid bin Al-Walid pun memerintahkan agar Abu ’Ubaidah ibnul Jarrah pindah ke posisi belakang. Hal ini agar jika ada tentara Islam berlari mundur, ia akan malu saat melihatnya kemudian kembali ke kancah pertempuran. Kemudian Khalid menginstruksikan agar para wanita bersiap-siap dengan pedang, pisau belati, dan tongkat. Khalid berkata, ”Siapa saja yang kalian jumpai melarikan diri dari medan pertempuran, bunuh dia!”
Strategi Pasukan Romawi
Setelah menerima bantuan personel dari pusat, pasukan Romawi maju dengan kesombongan membawa 240 ribu personel. 80 ribu pasukan pejalan kaki, 80 ribu pasukan berkuda, dan 80 ribu pasukan yang diikat dengan rantai besi (setiap sepuluh tentara diikat menjadi satu agar tidak lari dari peperangan).
Mereka bergerak hingga menutupi seluruh tempat yang ada seakan-akan mereka adalah awan hitam. Mereka berteriak-teriak, mengangkat suara tinggi-tinggi, sementara para pendeta, uskup, maupun pihak gereja mengelilingi pasukan membacakan Injil sambil memotivasi mereka agar gigih dalam berperang.
Pasukan lini depan dipimpin oleh Jarajah (George), sayap kiri dan kanan dipimpin oleh Mahan dan Ad-Daraqus. Pasukan penyerang dipimpin oleh Al-Qolqolan, menantu Heraklius. Adapun pimpinan tertinggi pasukan ini adalah saudara kandung Heraklius yang bernama Tadzariq.
Perundingan sebelum meletusnya Pertempuran
Abu ’Ubaidah dan Yazid bin Abi Sufyan maju ke arah pasukan Romawi dengan membawa Dhirar bin Al-Azur, Al-Harits bin Hisyam dan Abu Jandal bin Suhail untuk bertemu dengan Tadzariq yang tengah duduk di dalam tenda yang terbuat dari sutera.
Para shahabat berkata, ”Kami tidak dihalalkan memasuki tenda ini.” Maka dibentangkanlah karpet dari sutera dan mereka dipersilahkan untuk duduk di atasnya. Para shahabat berkata, ”Kami tidak diperbolehkan duduk di atasnya.” Akhirnya Tadzariq duduk di tempat yang mereka inginkan. Para shahabat mendakwahinya agar masuk Islam, namun perundingan ini berakhir tanpa hasil. Akhinya mereka pun kembali ke barisan pasukan. Pemimpin sayap kiri Romawi yang bernama Mahan ingin bertemu dengan Khalid bin Al-Walid di antara dua pasukan yang saling berhadapan. Mahan berkata, ”Kami mengetahui bahwa kemiskinan dan kelaparanlah yang mengeluarkan kalian dari negeri kalian. Maukah kalian jika aku beri sepuluh dinar untuk setiap tentara beserta makanan dan pakaian, lalu kalian pulang ke negeri kalian? Dan pada tahun depan aku akan memberikan jatah yang serupa?”
Khalid bin Al-Walid menjawab, ”Sesungguhnya, bukanlah yang mengeluarkan kami dari negeri kami apa yang engkau sebutkan tadi. Tetapi sebenarnya kami adalah sekelompok manusia peminum darah. Dan telah sampai berita kepada kami bahwa tidak ada darah yang lebih segar daripada darah kalian, bangsa Romawi. Untuk itulah kami datang kesini!” Mendengar jawaban itu para sahabat Mahan berucap, ”Demi Allah, ucapan tersebut baru pertama kali kita dengar dari bangsa ’Arab.”
Jalannya Pertempuran
Pasukan Romawi pada perang ini keluar dalam jumlah besar yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Khalid juga membawa pasukan besar yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah ’Arab. Tatkala persiapan sudah matang, Khalid memerintahkan untuk memulai dengan perang tanding. Mulailah para jagoan Islam di tiap pasukan maju hingga membuat suasana memanas. Sementara Khalid berdiri menyaksikan laga tersebut.
Ditengah suasana yang sudah memanas, pemimpin pasukan lini depan Romawi yang bernama Jarajah ingin bertemu dengan Khalid di tengah dua pasukan. Ia bertanya mengenai agama Islam, maka Khalid memberitahukan dakwah Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Akhirnya, Jarajah masuk Islam, membalikkan sisi perisainya dan masuk ke dalam barisan pasukan Islam.
Melihat pembelotan Jarajah, pasukan Romawi menyerbu ke barisan kaum muslimin. Mahan memerintahkan pasukan sayap kanan menyerang menerobos pertahanan sayap kanan pasukan Islam. Kaum muslimin tetap tegar berjuang di bawah panji-panji mereka, hingga berhasil membendung serangan musuh.
Setelah itu, pasukan besar Romawi datang lagi bak gunung besar yang berhasil memporak-porandakan pasukan sayap kanan, hingga pasukan Islam beralih ke tengah. Tak lama kemudian, mereka saling memanggil agar kembali ke medan laga hingga berhasil memukul mundur kembali. Adapun para wanita, tatkala melihat ada tentara Islam yang lari mundur, mereka segera memukulinya dengan kayu, atau melemparinya dengan batu sehingga tentara tersebut kembali ke kancah peperangan.
Kemudian Khalid beserta pasukannya yang berada di sayap kiri menerobos ke sayap kanan yang kebobolan diserang musuh, hingga berhasil membunuh enam ribu tentara Romawi. Lalu Khalid membawa seratus pasukan berkuda menghadapi seratus ribu tentara Romawi hingga berhasil meluluhlantakkan pasukan musuh.
Pada hari itu, begitu terlihat kegigihan, kesabaran, dan kepahlawanan tentara-tentara Islam hingga pasukan Romawi berputar-putar seperti penumbuk gandum. Mereka tidak melihat, pada perang itu, melainkan kepala-kepala yang berterbangan, tangan-tangan maupun jari-jari yang terpotong, serta semburan darah yang membasahi medan laga.
Ketika itulah, seluruh pasukan Islam menyerbu dengan serentak, untuk kemudian dengan leluasa menghabisi musuh tanpa ada perlawanan sedikit pun. Jarajah pun akhirnya terluka parah dan meninggal dunia. Padahal beliau belum pernah shalat sekalipun, kecuali dua raka’at yang dikerjakan (diajarkan) oleh Khalid ketika baru/awal masuk Islam.
Peperangan ini berawal dari siang hingga malam, sampai kemenangan diraih oleh Islam dan kaum muslimin. Malam itu, pasukan Romawi berlari dalam kegelapan. Adapun pasukan Romawi yang diikat rantai besi, jika salah seorang dari mereka terjatuh, maka terjatuhlah seluruhnya. Malam itu, Khalid bermalam di kemah Tadzariq, pimpinan tertinggi pasukan Romawi.
Pasukan berkuda berkumpul di sekitar kemah Khalid menunggu tentara Romawi yang lewat untuk dibunuh hingga waktu pagi tiba. Tadzariq pun terbunuh. Telah terbunuh pada hari itu 120.000 lebih pasukan Romawi. Adapun tentara Islam yang gugur di medan perang sebanyak tiga ribu pasukan. Kaum muslimin mendapat harta pampasan yang begitu banyak pada perang ini.
Demikianlah, kejayaan yang diraih oleh umat Islam tatkala mereka kokoh diatas kemurnian ibadah kepada Allah dan berpegang teguh kepada sunnah (ajaran) Rasul-Nya . Sebagaimana firman Allah (yang artinya):
”Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal sholih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (An-Nur: 55)
Wallahu a’lam bish showab.
Sumber: Situs Buletin Al-Ilmu
PERBEDAAN ANTARA AGAMA ISLAM DENGAN AGAMA SYI’AH, BAG:1
Berikut ini adalah perbedaan yang sangat menonjol antara agama islam dengan agama syi’ah, yang dengannya mudah-mudahan kaum muslimin dapat mengetahui hakekat sebenarnya ajaran agama syi’ah.
1. Pembawa Agama Islam adalah Muhammad Rasulullah.
1. Pembawa Agama Syi’ah adalah seorang Yahudi bernama Abdullah bin Saba’ Al Himyari. [Majmu' Fatawa, 4/435]
2. Rukun Islam menurut agama Islam:
1. Dua Syahadat
2. Sholat
3. Puasa
4. Zakat
5. Haji
[HR Muslim no. 1 dari Ibnu Umar]
2. Rukun Islam ala agama Syi’ah:
1. Sholat
2. Puasa
3. Zakat
4. Haji
5. Wilayah/Kekuasaan
[Lihat Al Kafi Fil Ushul 2/18]
3. Rukun Iman menurut agama Islam ada 6 perkara, yaitu:
1. Iman Kepada Allah
2. Iman Kepada Malaikat
3. Iman Kepada Kitab-Kitab
4. Iman Kepada Para Rasul
5. Iman Kepada hari qiamat
6. Iman Kepada Qadha Qadar.
3. Rukun Iman ala Agama Syi’ah ada 5 Perkara, yaitu:
1. Tauhid
2. Kenabian
3. Imamah
4. Keadilan
5. Qiamat
4. Kitab suci umat Islam Al Qur’an yang berjumlah 6666 ayat (menurut pendapat yang masyhur).
4. Kitab suci kaum Syi’ah Mushaf Fathimah yang berjumlah 17.000 ayat (lebih banyak tiga kali lipat dari Al Qur’an milik kaum Muslimin).[Lihat kitab mereka Ushulul Kafi karya Al Kulaini 2/634]
5. Adzan menurut Agama Islam:
(Allōhu akbar) 4 kali
(Asyhadu allā ilāha illallōh) 2 kali
(Asyhadu anna Muhammadan rōsulullōh) 2 kali
(Hayya ‘alash Sholāh) 2 kali
(Hayya ‘alal falāh) 2 kali
(Allōhu akbar) 2 kali
(Lā ilāha illallōh) 2 kali
5. Adzan Ala Agama Syi’ah:
(Allōhu akbar) 4 kali
(Asyhadu allā ilāha illallōh) 2 kali
(Asyhadu anna Muhammadan rōsulullōh) 2 kali
(Asyhadu anna ‘Aliyyan waliyullōh) 2 kali
(Hayya ‘alash Sholāh) 2 kali
(Hayya ‘alal falāh) 2 kali
(Hayya ‘alā khoiril ‘amal) 2 kali
(Allōhu akbar) 2 kali
(Lā ilāha illallōh) 2 kali
6. Islam meyakini bahwa sholat diwajibkan pada 5 waktu.
6. Agama Syi’ah meyakini bahwa sholat diwajibkan hanya pada 3 waktu saja.
7. Islam meyakini bahwa sholat jum’at hukumnya wajib. [QS Al Jumu'ah:9]
7. Agama Syi’ah meyakini bahwa sholat jum’at hukumnya tidak wajib.
8. Islam menghormati seluruh sahabat Rasulullah dan meyakini mereka orang-orang terbaik yang digelari Radhiallohu ‘Anhum oleh Allah. [QS At Taubah:100]
8. Agama Syi’ah meyakini bahwa seluruh sahabat Rasulullah telah kafir (Murtad) kecuali Ahlul Bait (versi mereka), salman Al Farisi, Al Miqdad bin Al Aswad, Abu Dzar Al Ghifari. [Ar Raudhoh Minal Kafi Karya Al Kulaini 8/245-246]
9. Islam meyakini bahwa Abu Bakar adalah orang terbaik dari umat ini setelah Rasulullah, kemudian setelahnya Umar bin Al Khatthab, lalu Utsman bin ‘Affan, lalu ‘Ali bin Abi Thalib.
9. Agama Syi’ah meyakini bahwa orang terbaik setelah Rasulullah adalah Ali bin Abi Thalib, adapun Abu Bakar dan Umar bin Al Khatthab adalah dua berhala quraisy yang terlaknat. [Ajma'ul Fadha'ih karya Al Mulla Kazhim hal. 157].
10. Islam meyakini bahwa Abu bakar adalah orang yang paling berhak menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah.
10. Agama Syi’ah meyakini bahwa orang yang paling berhak menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah adalah Ali bin Abi Thalib.
11. Islam meyakini bahwa Abu Bakar adalah khalifah pertama yang sah.
11. Agama Syi’ah memposisikan Abu Bakar sebagai perampas kekhalifahan dari ‘Ali bin Abi Thalib
12. Islam meyakini bahwa Mu’awiyah bin Abi Sufyan, ‘Amr bin Al ‘Ash, Abu Sufyan termasuk sahabat Rasulullah
12. Agama Syi’ah meyakini bahwa mereka pengkhianat dan telah kafir (Murtad) dari Islam.
Perhatian: Semua yang kami sampaikan ini bersumberkan dari kitab-kitab yang mereka jadikan rujukan dan sebagiannya dari situs resmi mereka
1. Pembawa Agama Islam adalah Muhammad Rasulullah.
1. Pembawa Agama Syi’ah adalah seorang Yahudi bernama Abdullah bin Saba’ Al Himyari. [Majmu' Fatawa, 4/435]
2. Rukun Islam menurut agama Islam:
1. Dua Syahadat
2. Sholat
3. Puasa
4. Zakat
5. Haji
[HR Muslim no. 1 dari Ibnu Umar]
2. Rukun Islam ala agama Syi’ah:
1. Sholat
2. Puasa
3. Zakat
4. Haji
5. Wilayah/Kekuasaan
[Lihat Al Kafi Fil Ushul 2/18]
3. Rukun Iman menurut agama Islam ada 6 perkara, yaitu:
1. Iman Kepada Allah
2. Iman Kepada Malaikat
3. Iman Kepada Kitab-Kitab
4. Iman Kepada Para Rasul
5. Iman Kepada hari qiamat
6. Iman Kepada Qadha Qadar.
3. Rukun Iman ala Agama Syi’ah ada 5 Perkara, yaitu:
1. Tauhid
2. Kenabian
3. Imamah
4. Keadilan
5. Qiamat
4. Kitab suci umat Islam Al Qur’an yang berjumlah 6666 ayat (menurut pendapat yang masyhur).
4. Kitab suci kaum Syi’ah Mushaf Fathimah yang berjumlah 17.000 ayat (lebih banyak tiga kali lipat dari Al Qur’an milik kaum Muslimin).[Lihat kitab mereka Ushulul Kafi karya Al Kulaini 2/634]
5. Adzan menurut Agama Islam:
(Allōhu akbar) 4 kali
(Asyhadu allā ilāha illallōh) 2 kali
(Asyhadu anna Muhammadan rōsulullōh) 2 kali
(Hayya ‘alash Sholāh) 2 kali
(Hayya ‘alal falāh) 2 kali
(Allōhu akbar) 2 kali
(Lā ilāha illallōh) 2 kali
5. Adzan Ala Agama Syi’ah:
(Allōhu akbar) 4 kali
(Asyhadu allā ilāha illallōh) 2 kali
(Asyhadu anna Muhammadan rōsulullōh) 2 kali
(Asyhadu anna ‘Aliyyan waliyullōh) 2 kali
(Hayya ‘alash Sholāh) 2 kali
(Hayya ‘alal falāh) 2 kali
(Hayya ‘alā khoiril ‘amal) 2 kali
(Allōhu akbar) 2 kali
(Lā ilāha illallōh) 2 kali
6. Islam meyakini bahwa sholat diwajibkan pada 5 waktu.
6. Agama Syi’ah meyakini bahwa sholat diwajibkan hanya pada 3 waktu saja.
7. Islam meyakini bahwa sholat jum’at hukumnya wajib. [QS Al Jumu'ah:9]
7. Agama Syi’ah meyakini bahwa sholat jum’at hukumnya tidak wajib.
8. Islam menghormati seluruh sahabat Rasulullah dan meyakini mereka orang-orang terbaik yang digelari Radhiallohu ‘Anhum oleh Allah. [QS At Taubah:100]
8. Agama Syi’ah meyakini bahwa seluruh sahabat Rasulullah telah kafir (Murtad) kecuali Ahlul Bait (versi mereka), salman Al Farisi, Al Miqdad bin Al Aswad, Abu Dzar Al Ghifari. [Ar Raudhoh Minal Kafi Karya Al Kulaini 8/245-246]
9. Islam meyakini bahwa Abu Bakar adalah orang terbaik dari umat ini setelah Rasulullah, kemudian setelahnya Umar bin Al Khatthab, lalu Utsman bin ‘Affan, lalu ‘Ali bin Abi Thalib.
9. Agama Syi’ah meyakini bahwa orang terbaik setelah Rasulullah adalah Ali bin Abi Thalib, adapun Abu Bakar dan Umar bin Al Khatthab adalah dua berhala quraisy yang terlaknat. [Ajma'ul Fadha'ih karya Al Mulla Kazhim hal. 157].
10. Islam meyakini bahwa Abu bakar adalah orang yang paling berhak menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah.
10. Agama Syi’ah meyakini bahwa orang yang paling berhak menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah adalah Ali bin Abi Thalib.
11. Islam meyakini bahwa Abu Bakar adalah khalifah pertama yang sah.
11. Agama Syi’ah memposisikan Abu Bakar sebagai perampas kekhalifahan dari ‘Ali bin Abi Thalib
12. Islam meyakini bahwa Mu’awiyah bin Abi Sufyan, ‘Amr bin Al ‘Ash, Abu Sufyan termasuk sahabat Rasulullah
12. Agama Syi’ah meyakini bahwa mereka pengkhianat dan telah kafir (Murtad) dari Islam.
Perhatian: Semua yang kami sampaikan ini bersumberkan dari kitab-kitab yang mereka jadikan rujukan dan sebagiannya dari situs resmi mereka
FATWA: HUKUM NIKAH MUT’AH (1)
Apa pendapat islam tentang nikah mut’ah?
Jawab: nikah mut’ah adalah haram dan bathil jika terjadi berdasarkan hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim Rahimahumallah dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu. Al-Bukhari dalam Kitab Al-Hiyal (6560) dan Muslim dalam kitab An-Nikah (1407), juga terdapat dalam Sunan Tirmidzi dalam kitab An-Nikah (1121), Sunan An-Nasa’i dalam kitab Ash-Shaid wa Adz-Dzaba’ih (4334), Sunan Ibnu Majah dalam kitab An-Nikah (1961), Musnad Ahmad bin Hanbal (1/79), Muwaththa’ Malik dalam kitab An-Nikah (1151), Sunan Ad-Darimi dalam kitab ¬An-Nikah (2197), “Bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam melarang jenis pernikahan mut’ah dan (melarang) memakan daging keledai Ahliyah pada hari Khaibar.”
Dalam riwayat Malik 2/542, Ahmad (1/79, 103, 142), Al-Bukhari (5/78, 6/129, 2 30, 8/61), Muslim (2/1027, 1028 no.1407), Tirmidzi (3/430, 4/254, no.1121, 1794), An-Nasa’I, (6/125-126, 7/202, 203, no.3365,3367,4335,4336), Ibnu Majah (1/630, no.1961), Ad-Darimi (2/86, 140), Abdurrazzaq (7/501-502, no.14032), Abu Ya’la (1/434, no.576), Ibnu Hibban (9/450,453, no.4143,4145), dan Al-Baihaqi (7/201,202) “Beliau melarang dari jenis mut’atun nisaa’ (menikahi wanita dengan cara mut’ah) pada hari Khaibar.”
Imam Al-Khattabi berkata, “Pengharaman nikah mut’ah berdasarkan ijma’, kecuali sebagian syi’ah dan tidak sah qa’idah mereka yang menyatakan untuk ‘mengembalikan perselisihan kepada Ali’, padahal telah shahih dari Ali pendapatnya bahwa nikah mut’ah telah dihapus hukumnya.”
Imam Al-Baihaqi menukilkan dari Ja’far bin Muhammad (Al-Baqir) bahwa beliau pernah ditanya tentang nikah mut’ah maka beliau menjawab, “itu adalah perbuatan zina.”
Demikian pula imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya dari Sabrah bin Ma’bad Al-Juhani dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bahwa beliau bersabda. Lafazh hadits (yang akan disebutkan ini) juga diriwayatkan Ahmad 2/405-406, Muslim 2/1025, no.1406. Ibnu Majah 2/631, no.1962, Ad-Darimi 2/140, Abdurrazaq 7/504, no.14041, Ibnu Abi Syaibah 4/292, Abu Ya’la 2/238 no.939, Ibnu Hibban 9/454-455 no.4147, dan Al-Baihaqi 7/203. “Sungguh! Aku dahulu mengijinkan kalian untuk melakukan mut’ah dengan wanita. (Ketauhilah!) sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat. Barangsiapa yang masih melakukannya hendaklah meninggalkannya dan jangan mengambil sesuatu yang telah ia berikan kepadanya (wanita yang dia mut’ahi).”
Wabillahit Taufiq, wash shalallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam
[ Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta’ ]
Ketua: Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Bazz
Wakil: Asy-Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi
Anggota I: Asy-Syaikh Abdullah bin Ghudyan
Anggota II: Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud
Jawab: nikah mut’ah adalah haram dan bathil jika terjadi berdasarkan hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim Rahimahumallah dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu. Al-Bukhari dalam Kitab Al-Hiyal (6560) dan Muslim dalam kitab An-Nikah (1407), juga terdapat dalam Sunan Tirmidzi dalam kitab An-Nikah (1121), Sunan An-Nasa’i dalam kitab Ash-Shaid wa Adz-Dzaba’ih (4334), Sunan Ibnu Majah dalam kitab An-Nikah (1961), Musnad Ahmad bin Hanbal (1/79), Muwaththa’ Malik dalam kitab An-Nikah (1151), Sunan Ad-Darimi dalam kitab ¬An-Nikah (2197), “Bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam melarang jenis pernikahan mut’ah dan (melarang) memakan daging keledai Ahliyah pada hari Khaibar.”
Dalam riwayat Malik 2/542, Ahmad (1/79, 103, 142), Al-Bukhari (5/78, 6/129, 2 30, 8/61), Muslim (2/1027, 1028 no.1407), Tirmidzi (3/430, 4/254, no.1121, 1794), An-Nasa’I, (6/125-126, 7/202, 203, no.3365,3367,4335,4336), Ibnu Majah (1/630, no.1961), Ad-Darimi (2/86, 140), Abdurrazzaq (7/501-502, no.14032), Abu Ya’la (1/434, no.576), Ibnu Hibban (9/450,453, no.4143,4145), dan Al-Baihaqi (7/201,202) “Beliau melarang dari jenis mut’atun nisaa’ (menikahi wanita dengan cara mut’ah) pada hari Khaibar.”
Imam Al-Khattabi berkata, “Pengharaman nikah mut’ah berdasarkan ijma’, kecuali sebagian syi’ah dan tidak sah qa’idah mereka yang menyatakan untuk ‘mengembalikan perselisihan kepada Ali’, padahal telah shahih dari Ali pendapatnya bahwa nikah mut’ah telah dihapus hukumnya.”
Imam Al-Baihaqi menukilkan dari Ja’far bin Muhammad (Al-Baqir) bahwa beliau pernah ditanya tentang nikah mut’ah maka beliau menjawab, “itu adalah perbuatan zina.”
Demikian pula imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya dari Sabrah bin Ma’bad Al-Juhani dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bahwa beliau bersabda. Lafazh hadits (yang akan disebutkan ini) juga diriwayatkan Ahmad 2/405-406, Muslim 2/1025, no.1406. Ibnu Majah 2/631, no.1962, Ad-Darimi 2/140, Abdurrazaq 7/504, no.14041, Ibnu Abi Syaibah 4/292, Abu Ya’la 2/238 no.939, Ibnu Hibban 9/454-455 no.4147, dan Al-Baihaqi 7/203. “Sungguh! Aku dahulu mengijinkan kalian untuk melakukan mut’ah dengan wanita. (Ketauhilah!) sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat. Barangsiapa yang masih melakukannya hendaklah meninggalkannya dan jangan mengambil sesuatu yang telah ia berikan kepadanya (wanita yang dia mut’ahi).”
Wabillahit Taufiq, wash shalallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam
[ Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta’ ]
Ketua: Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Bazz
Wakil: Asy-Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi
Anggota I: Asy-Syaikh Abdullah bin Ghudyan
Anggota II: Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud
AQIDAH SYIAH TERHADAP AL QURAN
Al-Qur`an dalam Tinjauan Syi’ah Rafidhah
Perlu pembaca ketahui bahwasanya Al-Qur`an yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai kitab suci dan referensi terbesar umat Islam merupakan kitab suci terakhir yang telah Allah jamin kemurniannya dari berbagai macam usaha pengubahan dan penyelewengan. Allah berfirman yang artinya: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur`an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Al-Hijr:9)
Bahkan Allah telah menegaskan dalam firman-Nya yang artinya: “Katakanlah: “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur`an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.” (Al-Israa`:88)
Dan juga firman-Nya yang artinya: “Atau (patutkah) mereka mengatakan: “Muhammad membuat-buatnya.” Katakanlah: “(Kalau benar yang kalian katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kalian panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kalian orang-orang yang benar.” (Yuunus:38)
Namun orang-orang Syi’ah Rafidhah dengan beraninya menyatakan bahwa Al-Qur`an yang ada di tangan kaum muslimin ini telah mengalami perubahan dari yang semestinya. Di dalam kitab Ushul Al-Kaafi (yang kedudukannya di sisi mereka seperti Shahih Al-Bukhari di sisi kaum muslimin), karya Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub Al-Kulaini (2/634), dari Abu Abdillah (Ja’far Ash-Shadiq), ia berkata: “Sesungguhnya Al-Qur`an yang dibawa Jibril kepada Muhammad ada 17.000 ayat.” Kalau demikian 2/3 dari Al-Qur`an telah hilang karena jumlah ayat di dalam Al-Qur`an di sisi kaum muslimin tidak lebih dari 6666 ayat !!!
Di dalam juz 1, hal.239-240, dari Abu Abdillah ia berkata: “Sesungguhnya di sisi kami ada mushaf Fathimah, namun mereka tidak tahu apa mushaf Fathimah itu.” Abu Bashir bertanya: “Apa mushaf Fathimah itu?” Abu Abdillah menjawab: “Sebuah mushaf 3 kali lipat dari apa yang terdapat di dalam mushaf kalian (umat Islam). Demi Allah, tidak ada padanya satu huruf pun dari Al-Qur`an kalian….”
Bahkan salah seorang ahli hadits mereka yang bernama Husain bin Muhammad Ath-Thabrisi telah mengumpulkan sekian banyak riwayat dari para imam mereka yang ma’shum (menurut mereka), di dalam kitabnya Fashlul Khithab yang menjelaskan bahwa Al-Qur`an yang ada di tangan kaum muslimin telah mengalami perubahan dan penyimpangan.
Ini merupakan suatu bentuk pelecehan terhadap Al-Qur`an sekaligus sebagai penghinaan kepada Allah, bahwa Dia tidak mampu merealisasikan jaminan-Nya untuk menjaga Al-Qur`an. Ini merupakan salah satu misi Yahudi yang berbajukan Syi’ah Rafidhah sebagai bentuk konspirasi jahat mereka untuk merusak dan mengkaburkan referensi utama umat Islam. Pernyataan kufur mereka ini sama sekali belum pernah dilontarkan sekte-sekte sesat sekalipun seperti Mu’tazilah, Khawarij ataupun Murji`ah.
Beberapa Fakta Pemalsuan dan Penyelewengan Al-Qur`an oleh Syi’ah
Ketika mereka tidak mampu membuat kitab yang semisal dengan Al-Qur`an, maka tidak ada jalan lain bagi mereka kecuali menambah, memalsukan dan menyelewengkan apa yang terdapat di dalam kitab suci Al-Qur`an sesuai dengan hawa nafsu mereka. Perbuatan tercela ini tidaklah beda dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi terhadap kitab suci mereka. Allah berfirman yang artinya: “Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: “Ini dari Allah”, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu.” (Al-Baqarah:79)
Diantara contoh kedustaan dan penyelewengan mereka terhadap mushaf Al-Qur`an:
1. Dalam Surat Al-Baqarah:257
وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ …
“Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan….”
Namun dalam Al-Qur`an palsu mereka:
وَالَّذِينَ كَفَرُوا بِوِلاَيَةِ عَلِيّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ …
“Dan orang-orang yang kafir terhadap kepemimpinan Ali bin Abi Thalib itu, pelindung-pelindung mereka adalah syaithan….”
2. Dalam Surat Al-Lail:12-13
إِنَّ عَلَيْنَا لَلْهُدَى(12) وَإِنَّ لَنَا لَلآخِرَةَ وَالأُولَى(13)
“Sesungguhnya kewajiban Kamilah memberi petunjuk, dan sesungguhnya kepunyaan Kamilah akhirat dan dunia.”
Namun dalam Al-Qur`an palsu mereka:
إِنَّ عَلِيًّا لَلْهُدَى(12) وَإِنَّ لَهُ لَلآخِرَةَ وَالأُولَى(13)
“Sesungguhnya Ali benar-benar sebuah petunjuk dan kepunyaan dialah akhirat dan dunia.”
3. Dalam Surat Al-Insyiraah:7
فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ
“Maka apabila kamu (Muhammad) telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.”
Sedangkan dalam Al-Qur`an palsu mereka:
فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصِبْ عَلِيًّا لِلْوِلاَيَةِ
“Maka apabila kamu (Muhammad) telah selesai (dari suatu urusan), maka berilah Ali kepemimpinan.”
Bahkan sebelum ayat ini ada tambahan:
وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ بِعَلِيٍّ صِهْرِكَ
“Dan Kami angkat penyebutanmu (Muhammad) dengan Ali sang menantumu.”
Para pembaca, bila kita telusuri keyakinan atau aqidah bathil ini, ternyata merupakan sebuah kesepakatan yang ada pada mereka. Tidak satupun di antara ulama-ulama jahat mereka yang menyelisihi kesepakatan ini. Sebagaimana yang dikatakan oleh salah seorang ulama mereka yaitu Al-Mufid bin Muhammad An-Nu’man dalam kitab Awai’ilul Maqalaat hal 49.
Adapun bila ditemukan pendapat sebagian kecil ulama mereka tentang tidak adanya perubahan dan penyimpangan Al-Qur`an, maka hal itu hanyalah upaya penyembunyian aqidah kufur mereka di hadapan umat Islam. Maka janganlah sekali-kali seorang muslim mempercayainya. Karena mereka adalah orang-orang yang beragama dengan taqiyyah (kedustaan). Wallaahu A’lam.
Sumber: Buletin Islam Al Ilmu Edisi 28/II/II/1425. Terbitan Yayasan As Salafy Jember
Perlu pembaca ketahui bahwasanya Al-Qur`an yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai kitab suci dan referensi terbesar umat Islam merupakan kitab suci terakhir yang telah Allah jamin kemurniannya dari berbagai macam usaha pengubahan dan penyelewengan. Allah berfirman yang artinya: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur`an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Al-Hijr:9)
Bahkan Allah telah menegaskan dalam firman-Nya yang artinya: “Katakanlah: “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur`an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.” (Al-Israa`:88)
Dan juga firman-Nya yang artinya: “Atau (patutkah) mereka mengatakan: “Muhammad membuat-buatnya.” Katakanlah: “(Kalau benar yang kalian katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kalian panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kalian orang-orang yang benar.” (Yuunus:38)
Namun orang-orang Syi’ah Rafidhah dengan beraninya menyatakan bahwa Al-Qur`an yang ada di tangan kaum muslimin ini telah mengalami perubahan dari yang semestinya. Di dalam kitab Ushul Al-Kaafi (yang kedudukannya di sisi mereka seperti Shahih Al-Bukhari di sisi kaum muslimin), karya Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub Al-Kulaini (2/634), dari Abu Abdillah (Ja’far Ash-Shadiq), ia berkata: “Sesungguhnya Al-Qur`an yang dibawa Jibril kepada Muhammad ada 17.000 ayat.” Kalau demikian 2/3 dari Al-Qur`an telah hilang karena jumlah ayat di dalam Al-Qur`an di sisi kaum muslimin tidak lebih dari 6666 ayat !!!
Di dalam juz 1, hal.239-240, dari Abu Abdillah ia berkata: “Sesungguhnya di sisi kami ada mushaf Fathimah, namun mereka tidak tahu apa mushaf Fathimah itu.” Abu Bashir bertanya: “Apa mushaf Fathimah itu?” Abu Abdillah menjawab: “Sebuah mushaf 3 kali lipat dari apa yang terdapat di dalam mushaf kalian (umat Islam). Demi Allah, tidak ada padanya satu huruf pun dari Al-Qur`an kalian….”
Bahkan salah seorang ahli hadits mereka yang bernama Husain bin Muhammad Ath-Thabrisi telah mengumpulkan sekian banyak riwayat dari para imam mereka yang ma’shum (menurut mereka), di dalam kitabnya Fashlul Khithab yang menjelaskan bahwa Al-Qur`an yang ada di tangan kaum muslimin telah mengalami perubahan dan penyimpangan.
Ini merupakan suatu bentuk pelecehan terhadap Al-Qur`an sekaligus sebagai penghinaan kepada Allah, bahwa Dia tidak mampu merealisasikan jaminan-Nya untuk menjaga Al-Qur`an. Ini merupakan salah satu misi Yahudi yang berbajukan Syi’ah Rafidhah sebagai bentuk konspirasi jahat mereka untuk merusak dan mengkaburkan referensi utama umat Islam. Pernyataan kufur mereka ini sama sekali belum pernah dilontarkan sekte-sekte sesat sekalipun seperti Mu’tazilah, Khawarij ataupun Murji`ah.
Beberapa Fakta Pemalsuan dan Penyelewengan Al-Qur`an oleh Syi’ah
Ketika mereka tidak mampu membuat kitab yang semisal dengan Al-Qur`an, maka tidak ada jalan lain bagi mereka kecuali menambah, memalsukan dan menyelewengkan apa yang terdapat di dalam kitab suci Al-Qur`an sesuai dengan hawa nafsu mereka. Perbuatan tercela ini tidaklah beda dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi terhadap kitab suci mereka. Allah berfirman yang artinya: “Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: “Ini dari Allah”, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu.” (Al-Baqarah:79)
Diantara contoh kedustaan dan penyelewengan mereka terhadap mushaf Al-Qur`an:
1. Dalam Surat Al-Baqarah:257
وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ …
“Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan….”
Namun dalam Al-Qur`an palsu mereka:
وَالَّذِينَ كَفَرُوا بِوِلاَيَةِ عَلِيّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ …
“Dan orang-orang yang kafir terhadap kepemimpinan Ali bin Abi Thalib itu, pelindung-pelindung mereka adalah syaithan….”
2. Dalam Surat Al-Lail:12-13
إِنَّ عَلَيْنَا لَلْهُدَى(12) وَإِنَّ لَنَا لَلآخِرَةَ وَالأُولَى(13)
“Sesungguhnya kewajiban Kamilah memberi petunjuk, dan sesungguhnya kepunyaan Kamilah akhirat dan dunia.”
Namun dalam Al-Qur`an palsu mereka:
إِنَّ عَلِيًّا لَلْهُدَى(12) وَإِنَّ لَهُ لَلآخِرَةَ وَالأُولَى(13)
“Sesungguhnya Ali benar-benar sebuah petunjuk dan kepunyaan dialah akhirat dan dunia.”
3. Dalam Surat Al-Insyiraah:7
فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ
“Maka apabila kamu (Muhammad) telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.”
Sedangkan dalam Al-Qur`an palsu mereka:
فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصِبْ عَلِيًّا لِلْوِلاَيَةِ
“Maka apabila kamu (Muhammad) telah selesai (dari suatu urusan), maka berilah Ali kepemimpinan.”
Bahkan sebelum ayat ini ada tambahan:
وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ بِعَلِيٍّ صِهْرِكَ
“Dan Kami angkat penyebutanmu (Muhammad) dengan Ali sang menantumu.”
Para pembaca, bila kita telusuri keyakinan atau aqidah bathil ini, ternyata merupakan sebuah kesepakatan yang ada pada mereka. Tidak satupun di antara ulama-ulama jahat mereka yang menyelisihi kesepakatan ini. Sebagaimana yang dikatakan oleh salah seorang ulama mereka yaitu Al-Mufid bin Muhammad An-Nu’man dalam kitab Awai’ilul Maqalaat hal 49.
Adapun bila ditemukan pendapat sebagian kecil ulama mereka tentang tidak adanya perubahan dan penyimpangan Al-Qur`an, maka hal itu hanyalah upaya penyembunyian aqidah kufur mereka di hadapan umat Islam. Maka janganlah sekali-kali seorang muslim mempercayainya. Karena mereka adalah orang-orang yang beragama dengan taqiyyah (kedustaan). Wallaahu A’lam.
Sumber: Buletin Islam Al Ilmu Edisi 28/II/II/1425. Terbitan Yayasan As Salafy Jember
HIKMAH KEMATIAN
Kehidupan berlangsung tanpa disadari dari detik ke detik. Apakah anda tidak menyadari bahwa hari-hari yang anda lewati justru semakin mendekatkan anda kepada kematian sebagaimana juga yang berlaku bagi orang lain?
Seperti yang tercantum dalam ayat “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan.” (QS. 29:57) tiap orang yang pernah hidup di muka bumi ini ditakdirkan untuk mati. Tanpa kecuali, mereka semua akan mati, tiap orang. Saat ini, kita tidak pernah menemukan jejak orang-orang yang telah meninggal dunia. Mereka yang saat ini masih hidup dan mereka yang akan hidup juga akan menghadapi kematian pada hari yang telah ditentukan. Walaupun demikian, masyarakat pada umumnya cenderung melihat kematian sebagai suatu peristiwa yang terjadi secara kebetulan saja.
Coba renungkan seorang bayi yang baru saja membuka matanya di dunia ini dengan seseorang yang sedang mengalami sakaratul maut. Keduanya sama sekali tidak berkuasa terhadap kelahiran dan kematian mereka. Hanya Allah yang memiliki kuasa untuk memberikan nafas bagi kehidupan atau untuk mengambilnya.
Semua makhluk hidup akan hidup sampai suatu hari yang telah ditentukan dan kemudian mati; Allah menjelaskan dalam Quran tentang prilaku manusia pada umumnya terhadap kematian dalam ayat berikut ini:
Katakanlah: “Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. 62:8)
Kebanyakan orang menghindari untuk berpikir tentang kematian. Dalam kehidupan modern ini, seseorang biasanya menyibukkan dirinya dengan hal-hal yang sangat bertolak belakang [dengan kematian]; mereka berpikir tentang: di mana mereka akan kuliah, di perusahaan mana mereka akan bekerja, baju apa yang akan mereka gunakan besok pagi, apa yang akan dimasak untuk makan malam nanti, hal-hal ini merupakan persoalan-persoalan penting yang sering kita pikirkan. Kehidupan diartikan sebagai sebuah proses kebiasaan yang dilakukan sehari-hari. Pembicaraan tentang kematian sering dicela oleh mereka yang merasa tidak nyaman mendengarnya. Mereka menganggap bahwa kematian hanya akan terjadi ketika seseorang telah lanjut usia, seseorang tidak ingin memikirkan tentang kematian dirinya yang tidak menyenangkannya ini. Sekalipun begitu ingatlah selalu, tidak ada yang menjamin bahwa seseorang akan hidup dalam satu jam berikutnya. Tiap hari, orang-orang menyaksikan kematian orang lain di sekitarnya tetapi tidak memikirkan tentang hari ketika orang lain menyaksikan kematian dirinya. Ia tidak mengira bahwa kematian itu sedang menunggunya!
Ketika kematian dialami oleh seorang manusia, semua “kenyataan” dalam hidup tiba-tiba lenyap. Tidak ada lagi kenangan akan “hari-hari indah” di dunia ini. Renungkanlah segala sesuatu yang anda dapat lakukan saat ini: anda dapat mengedipkan mata anda, menggerakkan badan anda, berbicara, tertawa; semua ini merupakan fungsi tubuh anda. Sekarang renungkan bagaimana keadaan dan bentuk tubuh anda setelah anda mati nanti.
Dimulai saat anda menghembuskan napas untuk yang terakhir kalinya, anda tidak ada apa-apanya lagi selain “seonggok daging”. Tubuh anda yang diam dan terbujur kaku, akan dibawa ke kamar mayat. Di sana, ia akan dimandikan untuk yang terakhir kalinya. Dengan dibungkus kain kafan, jenazah anda akan di bawa ke kuburan dalam sebuah peti mati. Sesudah jenazah anda dimasukkan ke dalam liang lahat, maka tanah akan menutupi anda. Ini adalah kesudahan cerita anda. Mulai saat ini, anda hanyalah seseorang yang namanya terukir pada batu nisan di kuburan.
Selama bulan-bulan atau tahun-tahun pertama, kuburan anda sering dikunjungi. Seiring dengan berlalunya waktu, hanya sedikit orang yang datang. Beberapa tahun kemudian, tidak seorang pun yang datang mengunjungi.
Sementara itu, keluarga dekat anda akan mengalami kehidupan yang berbeda yang disebabkan oleh kematian anda. Di rumah, ruang dan tempat tidur anda akan kosong. Setelah pemakaman, sebagian barang-barang milik anda akan disimpan di rumah: baju, sepatu, dan lain-lain yang dulu menjadi milik anda akan diberikan kepada mereka yang memerlukannya. Berkas-berkas anda di kantor akan dibuang atau diarsipkan. Selama tahun-tahun pertama, beberapa orang masih berkabung akan kepergian anda. Namun, waktu akan mempengaruhi ingatan-ingatan mereka terhadap masa lalu. Empat atau lima dasawarsa kemudian, hanya sedikit orang saja yang masih mengenang anda. Tak lama lagi, generasi baru muncul dan tidak seorang pun dari generasi anda yang masih hidup di muka bumi ini. Apakah anda diingat orang atau tidak, hal tersebut tidak ada gunanya bagi anda.
Sementara semua hal ini terjadi di dunia, jenazah yang ditimbun tanah akan mengalami proses pembusukan yang cepat. Segera setelah anda dimakamkan, maka bakteri-bakteri dan serangga-serangga berkembang biak pada mayat tersebut; hal tersebut terjadi dikarenakan ketiadaan oksigen. Gas yang dilepaskan oleh jasad renik ini mengakibatkan tubuh jenazah menggembung, mulai dari daerah perut, yang mengubah bentuk dan rupanya. Buih-buih darah akan meletup dari mulut dan hidung dikarenakan tekanan gas yang terjadi di sekitar diafragma. Selagi proses ini berlangsung, rambut, kuku, tapak kaki, dan tangan akan terlepas. Seiring dengan terjadinya perubahan di luar tubuh, organ tubuh bagian dalam seperti paru-paru, jantung dan hati juga membusuk. Sementara itu, pemandangan yang paling mengerikan terjadi di sekitar perut, ketika kulit tidak dapat lagi menahan tekanan gas dan tiba-tiba pecah, menyebarkan bau menjijikkan yang tak tertahankan. Mulai dari tengkorak, otot-otot akan terlepas dari tempatnya. Kulit dan jaringan lembut lainnya akan tercerai berai. Otak juga akan membusuk dan tampak seperti tanah liat. Semua proses ini berlangsung sehingga seluruh tubuh menjadi kerangka.
Tidak ada kesempatan untuk kembali kepada kehidupan yang sebelumnya. Berkumpul bersama keluarga di meja makan, bersosialisasi atau memiliki pekerjaan yang terhormat; semuanya tidak akan mungkin terjadi.
Singkatnya, “onggokkan daging dan tulang” yang tadinya dapat dikenali; mengalami akhir yang menjijikkan. Di lain pihak, anda – atau lebih tepatnya, jiwa anda – akan meninggalkan tubuh ini segera setelah nafas anda berakhir. Sedangkan sisa dari anda – tubuh anda – akan menjadi bagian dari tanah.
Ya, tetapi apa alasan semua hal ini terjadi?
Seandainya Allah ingin, tubuh ini dapat saja tidak membusuk seperti kejadian di atas. Tetapi hal ini justru menyimpan suatu pesan tersembunyi yang sangat penting
Akhir kehidupan yang sangat dahsyat yang menunggu manusia; seharusnya menyadarkan dirinya bahwa ia bukanlah hanya tubuh semata, melainkan jiwa yang “dibungkus” dalam tubuh. Dengan lain perkataan, manusia harus menyadari bahwa ia memiliki suatu eksistensi di luar tubuhnya. Selain itu, manusia harus paham akan kematian tubuhnya - yang ia coba untuk miliki seakan-akan ia akan hidup selamanya di dunia yang sementara ini -. Tubuh yang dianggapnya sangat penting ini, akan membusuk serta menjadi makanan cacing suatu hari nanti dan berakhir menjadi kerangka. Mungkin saja hal tersebut segera terjadi.
Walaupun setelah melihat kenyataan-kenyataan ini, ternyata mental manusia cenderung untuk tidak peduli terhadap hal-hal yang tidak disukai atau diingininya. Bahkan ia cenderung untuk menafikan eksistensi sesuatu yang ia hindari pertemuannya. Kecenderungan seperti ini tampak terlihat jelas sekali ketika membicarakan kematian. Hanya pemakaman atau kematian tiba-tiba keluarga dekat sajalah yang dapat mengingatkannya [akan kematian]. Kebanyakan orang melihat kematian itu jauh dari diri mereka. Asumsi yang menyatakan bahwa mereka yang mati pada saat sedang tidur atau karena kecelakaan merupakan orang lain; dan apa yang mereka [yang mati] alami tidak akan menimpa diri mereka! Semua orang berpikiran, belum saatnya mati dan mereka selalu berpikir selalu masih ada hari esok untuk hidup.
Bahkan mungkin saja, orang yang meninggal dalam perjalanannya ke sekolah atau terburu-buru untuk menghadiri rapat di kantornya juga berpikiran serupa. Tidak pernah terpikirkan oleh mereka bahwa koran esok hari akan memberitakan kematian mereka. Sangat mungkin, selagi anda membaca artikel ini, anda berharap untuk tidak meninggal setelah anda menyelesaikan membacanya atau bahkan menghibur kemungkinan tersebut terjadi. Mungkin anda merasa bahwa saat ini belum waktunya mati karena masih banyak hal-hal yang harus diselesaikan. Namun demikian, hal ini hanyalah alasan untuk menghindari kematian dan usaha-usaha seperti ini hanyalah hal yang sia-sia untuk menghindarinya:
Katakanlah: “Lari itu sekali-kali tidaklah berguna bagimu, jika kamu melarikan diri dari kematian atau pembunuhan, dan jika (kamu terhindar dari kematian) kamu tidak juga akan mengecap kesenangan kecuali sebentar saja.” (QS. 33:16)
Manusia yang diciptakan seorang diri haruslah waspada bahwa ia juga akan mati seorang diri. Namun selama hidupnya, ia hampir selalu hidup untuk memenuhi segala keinginannya. Tujuan utamanya dalam hidup adalah untuk memenuhi hawa nafsunya. Namun, tidak seorang pun dapat membawa harta bendanya ke dalam kuburan. Jenazah dikuburkan hanya dengan dibungkus kain kafan yang dibuat dari bahan yang murah. Tubuh datang ke dunia ini seorang diri dan pergi darinya pun dengan cara yang sama. Modal yang dapat di bawa seseorang ketika mati hanyalah amal-amalnya saja.
SUMBER : HARUNYAHYA.COM
madah untuk wanita solehah
Wanita solehah itu aurat dijaga,
Pergaulan dipagari,
Sifat malu pengikat diri,
Seindah hiasan di dunia ini. Keayuan wanita solehah itu,
tidak terletak pada kecantikan wajahnya ,
Kemanisan wanita solehah ,
tidak terletak pada kemanjaannya,
Daya penarik wanita solehah itu ,
Bukan pada kemanisan bicaranya yang mengoncang iman para muslimin,
Dan bukan pula terletak pada kebijaksanaannya bermain lidah, memujuk rayu ,
Bukan dan tidak sama sekali,
Kepetahan wanita solehah ,
Bukan pada barang kemas atau perihal orang lain,
Tapi pada perjuangannya meningkatkan martabat agama.
Nafsu mengatakan wanita cantik dengan paras rupa yang indah bak permata yang menyeri alam,
Akal mengatakan wanita cantik atas kemajuan dan kekebalannya dalam ilmu serta pandai dari segala aspek ,
Hati menyatakan kecantikan wanita hanya pada akhlaknya,
Itupun seandainya hati itu bersih untuk menilai.
Wahai wanita jangan dibangga dengan kecantikan luaran ,
kerana satu hari nanti ianya akan lapuk di telan zaman,
Tetapi jaga dan peliharalah kecantikan dalaman ,
Agar diri ini bersih dan sentiasa mendapat Rahmat ilahi,
Wahai wanita jangan berbangga dengan ilmu duniawi yang kau kuasai ,
kerana ada lagi manusia yang lebih berpegetahuan darimu ,
Wahai wanita jangan pula berdukacita atas kekurangan dirimu,
kerana ada lagi insan yang lebih malang darimu ,
Wahai wanita solehah jangan dirisau akan jodohmu,
Kerana muslimin yang bijaksana itu tidak akan terpaut pada wanita hanya kerana kecantikannya ,
Bersyukurlah diatas apa yang ada .
Serta berusaha demi keluarga ,bangsa dan agama.Salam perjuangan untuk sahabatku ,
Wanita solehah.
“Wanita hiasan dunia ,Seindah hiasan adalah wanita solehah
Pergaulan dipagari,
Sifat malu pengikat diri,
Seindah hiasan di dunia ini. Keayuan wanita solehah itu,
tidak terletak pada kecantikan wajahnya ,
Kemanisan wanita solehah ,
tidak terletak pada kemanjaannya,
Daya penarik wanita solehah itu ,
Bukan pada kemanisan bicaranya yang mengoncang iman para muslimin,
Dan bukan pula terletak pada kebijaksanaannya bermain lidah, memujuk rayu ,
Bukan dan tidak sama sekali,
Kepetahan wanita solehah ,
Bukan pada barang kemas atau perihal orang lain,
Tapi pada perjuangannya meningkatkan martabat agama.
Nafsu mengatakan wanita cantik dengan paras rupa yang indah bak permata yang menyeri alam,
Akal mengatakan wanita cantik atas kemajuan dan kekebalannya dalam ilmu serta pandai dari segala aspek ,
Hati menyatakan kecantikan wanita hanya pada akhlaknya,
Itupun seandainya hati itu bersih untuk menilai.
Wahai wanita jangan dibangga dengan kecantikan luaran ,
kerana satu hari nanti ianya akan lapuk di telan zaman,
Tetapi jaga dan peliharalah kecantikan dalaman ,
Agar diri ini bersih dan sentiasa mendapat Rahmat ilahi,
Wahai wanita jangan berbangga dengan ilmu duniawi yang kau kuasai ,
kerana ada lagi manusia yang lebih berpegetahuan darimu ,
Wahai wanita jangan pula berdukacita atas kekurangan dirimu,
kerana ada lagi insan yang lebih malang darimu ,
Wahai wanita solehah jangan dirisau akan jodohmu,
Kerana muslimin yang bijaksana itu tidak akan terpaut pada wanita hanya kerana kecantikannya ,
Bersyukurlah diatas apa yang ada .
Serta berusaha demi keluarga ,bangsa dan agama.Salam perjuangan untuk sahabatku ,
Wanita solehah.
“Wanita hiasan dunia ,Seindah hiasan adalah wanita solehah
Wanita Solehah Lebih Baik Daripada Bidadari Syurga
Wanita solehah tidak boleh sembarangan mencintai lelaki. Lelaki yang paling wajar dicintai oleh wanita solehah ialah Nabi Muhammad SAW. Ini kerana Nabi Muhammad SAW adalah pembela nasib kaum wanita. Baginda telah mengangkat martabat kaum wanita daripada diperlakukan dengan kehinaan pada zaman jahiliyah, khususnya oleh kaum lelaki.
Ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW juga berjaya menyempurnakan budi pekerti kaum lelaki. Ini membawa keuntungan kepada kaum wanita kerana mereka mendapat kebebasan dalam kawalan dan perlindungan keselamatan oleh kaum lelaki. Iaitu dengan mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW menjadikan bapa atau suami mereka berbuat baik dan bertanggungjawab ke atas keluarganya. Demikian juga dengan kedatangan Rasulullah SAW telah menjadikan anak-anak tidak lupa untuk berbakti kepada ibu mereka, cthnya seperti Uwais Al-Qarni.
Salah satu tanda kasih Baginda SAW terhadap kaum wanita ialah dengan berpesan kepada kaum lelaki agar berbuat baik kepada wanita, khususnya ahli keluarga mereka. Rasulullah SAW sendiri menjadikan diri dan keluarga baginda suri teladan kepada kaum lelaki untuk bagaimana berbuat baik dan memuliakan kaum wanita.
Rasulullah SAW bersabda,
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang paling baik akhlaknya, dan yang berbuat baik kepada ahli keluarganya.” (Riwayat Abu Daud dan Tirmizi)
Lagi sabda Rasulullah SAW,
“Sebaik-baik kamu adalah yang terbaik terhadap keluarganya; dan aku adalah yang terbaik dari kamu terhadap keluargaku. Orang yang memuliakan kaum wanita adalah orang yang mulia, dan orang yang menghina kaum wanita adalah orang yang tidak tahu budi.” (Riwayat Abu ‘Asakir)
Tapi betul ke wanita solehah itu lebih baik daripada bidadari syurga?
Daripada Umm Salamah, isteri Nabi SAW, katanya(di dalam sebuah hadis yang panjang):
Aku berkata, “Wahai Rasulullah! Adakah wanita di dunia lebih baik atau bidadari?”
Baginda menjawab, “Wanita di dunia lebih baik daripada bidadari sebagaimana yang zahir lebih baik daripada yang batin.”
Aku berkata, “Wahai Rasulullah! Bagaimanakah itu?”
Baginda menjawab, “Dengan solat, puasa dan ibadat mereka kepada Allah, Allah akan memakaikan muka-muka mereka dengan cahaya dan jasad mereka dengan sutera yang berwarna putih,berpakaian hijau dan berperhiasan kuning….(hingga akhir hadis)” (riwayat al-Tabrani)
Terkejut bila membaca hadis ni dan ingin berkongsi bersama rakan-rakan lain. Sungguh tinggi darjat wanita solehah, sehingga dikatakan lebih baik daripada bidadari syurga. Semoga hadis ini menjadi inspirasi bagi kita semua dalam memperbaiki diri agar menjadi lebih baik daripada bidadari syurga. InsyaAllah..
Tapi, bagaimana yang dikatakan wanita solehah itu?
Ikuti kisah berikut, semoga kita sama-sama beroleh pengajaran.
Seorang gadis kecil bertanya ayahnya “ayah ceritakanlah padaku perihal muslimah sejati?”
Si ayah pun menjawab “anakku,seorang muslimah sejati bukan dilihat dari kecantikan dan keayuan wajahnya semata-mata.wajahnya hanyalah satu peranan yang amat kecil,tetapi muslimah sejati dilihat dari kecantikan dan ketulusan hatinya yang tersembunyi.itulah yang terbaik”
Si ayah terus menyambung
“muslimah sejati juga tidak dilihat dari bentuk tubuh badannya yang mempersona,tetapi dilihat dari sejauh mana ia menutupi bentuk tubuhnya yang mempersona itu.muslimah sejati bukanlah dilihat dari sebanyak mana kebaikan yang diberikannya ,tetapi dari keikhlasan ketika ia memberikan segala kebaikan itu.muslimah sejati bukanlah dilihat dari seberapa indah lantunan suaranya tetapi dilihat dari apa yang sering mulutnya bicarakan.muslimah sejati bukan dilihat dari keahliannya berbahasa,tetapi dilihat dari bagaimana caranya ia berbicara dan berhujah kebenaran”
Berdasarkan ayat 31,surah An Nurr,Abdullah ibn abbas dan lain-lainya berpendapat.Seseorang wanita islam hanya boleh mendedahkan wajah,dua tapak tangan dan cincinnya di hadapan lelaki yang bukan mahram(As syeikh said hawa di dalam kitabnya Al Asas fit Tasir)
“Janganlah perempuan -perempuan itu terlalu lunak dalam berbicara sehingga menghairahkan orang yang ada perasaan dalam hatinya,tetapi ucapkanlah perkataan yang baik-baik”(surah Al Ahzab:32)
“lantas apa lagi ayah?”sahut puteri kecil terus ingin tahu.
“ketahuilah muslimah sejati bukan dilihat dari keberaniannya dalam berpakaian grand tetapi dilihat dari sejauh mana ia berani mempertahankan kehormatannya melalui apa yang dipakainya.
Muslimah sejati bukan dilihat dari kekhuwatirannya digoda orang di tepi jalanan tetapi dilihat dari kekhuwatirannya dirinyalah yang mengundang orang tergoda.muslimah sejati bukanlah dilihat dari seberapa banyak dan besarnya ujian yang ia jalani tetapi dilihat dari sejauh mana ia menghadapi ujian itu dengan penuh rasa redha dan kehambaan kepada TUHAN nya,dan ia sentiasa bersyukur dengan segala kurniaan yang diberi”
“dan ingatlah anakku muslimah sejati bukan dilihat dari sifat mesranya dalam bergaul tetapi dilihat dari sejauh mana ia mampu menjaga kehormatan dirinya dalam bergaul”
Setelah itu si anak bertanya”Siapakah yang memiliki criteria seperti itu ayah?Bolehkah saya menjadi sepertinya?mampu dan layakkah saya ayah?”
Si ayah memberikan sebuah buku dan berkata”pelajarilah mereka!supaya kamu berjaya nanti.INSYA ALLAH kamu juga boleh menjadi muslimah sejati dan wanita yang solehah kelak,malah semua wanita boleh”
Si anak pun segera mengambil buku tersebut lalu terlihatlah sebaris perkataan berbunyi ISTERI RASULULLAH.
“Apabila seorang perempuan itu solat lima waktu ,puasa di bulan ramadhan ,menjaga kehormatannya dan mentaati suaminya,maka masuklah ia ke dalam syurga dari pintu-pintu yang ia kehendakinya”(riwayat Al Bazzar)
SUMBER : RAKANMASJID
Ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW juga berjaya menyempurnakan budi pekerti kaum lelaki. Ini membawa keuntungan kepada kaum wanita kerana mereka mendapat kebebasan dalam kawalan dan perlindungan keselamatan oleh kaum lelaki. Iaitu dengan mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW menjadikan bapa atau suami mereka berbuat baik dan bertanggungjawab ke atas keluarganya. Demikian juga dengan kedatangan Rasulullah SAW telah menjadikan anak-anak tidak lupa untuk berbakti kepada ibu mereka, cthnya seperti Uwais Al-Qarni.
Salah satu tanda kasih Baginda SAW terhadap kaum wanita ialah dengan berpesan kepada kaum lelaki agar berbuat baik kepada wanita, khususnya ahli keluarga mereka. Rasulullah SAW sendiri menjadikan diri dan keluarga baginda suri teladan kepada kaum lelaki untuk bagaimana berbuat baik dan memuliakan kaum wanita.
Rasulullah SAW bersabda,
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang paling baik akhlaknya, dan yang berbuat baik kepada ahli keluarganya.” (Riwayat Abu Daud dan Tirmizi)
Lagi sabda Rasulullah SAW,
“Sebaik-baik kamu adalah yang terbaik terhadap keluarganya; dan aku adalah yang terbaik dari kamu terhadap keluargaku. Orang yang memuliakan kaum wanita adalah orang yang mulia, dan orang yang menghina kaum wanita adalah orang yang tidak tahu budi.” (Riwayat Abu ‘Asakir)
Tapi betul ke wanita solehah itu lebih baik daripada bidadari syurga?
Daripada Umm Salamah, isteri Nabi SAW, katanya(di dalam sebuah hadis yang panjang):
Aku berkata, “Wahai Rasulullah! Adakah wanita di dunia lebih baik atau bidadari?”
Baginda menjawab, “Wanita di dunia lebih baik daripada bidadari sebagaimana yang zahir lebih baik daripada yang batin.”
Aku berkata, “Wahai Rasulullah! Bagaimanakah itu?”
Baginda menjawab, “Dengan solat, puasa dan ibadat mereka kepada Allah, Allah akan memakaikan muka-muka mereka dengan cahaya dan jasad mereka dengan sutera yang berwarna putih,berpakaian hijau dan berperhiasan kuning….(hingga akhir hadis)” (riwayat al-Tabrani)
Terkejut bila membaca hadis ni dan ingin berkongsi bersama rakan-rakan lain. Sungguh tinggi darjat wanita solehah, sehingga dikatakan lebih baik daripada bidadari syurga. Semoga hadis ini menjadi inspirasi bagi kita semua dalam memperbaiki diri agar menjadi lebih baik daripada bidadari syurga. InsyaAllah..
Tapi, bagaimana yang dikatakan wanita solehah itu?
Ikuti kisah berikut, semoga kita sama-sama beroleh pengajaran.
Seorang gadis kecil bertanya ayahnya “ayah ceritakanlah padaku perihal muslimah sejati?”
Si ayah pun menjawab “anakku,seorang muslimah sejati bukan dilihat dari kecantikan dan keayuan wajahnya semata-mata.wajahnya hanyalah satu peranan yang amat kecil,tetapi muslimah sejati dilihat dari kecantikan dan ketulusan hatinya yang tersembunyi.itulah yang terbaik”
Si ayah terus menyambung
“muslimah sejati juga tidak dilihat dari bentuk tubuh badannya yang mempersona,tetapi dilihat dari sejauh mana ia menutupi bentuk tubuhnya yang mempersona itu.muslimah sejati bukanlah dilihat dari sebanyak mana kebaikan yang diberikannya ,tetapi dari keikhlasan ketika ia memberikan segala kebaikan itu.muslimah sejati bukanlah dilihat dari seberapa indah lantunan suaranya tetapi dilihat dari apa yang sering mulutnya bicarakan.muslimah sejati bukan dilihat dari keahliannya berbahasa,tetapi dilihat dari bagaimana caranya ia berbicara dan berhujah kebenaran”
Berdasarkan ayat 31,surah An Nurr,Abdullah ibn abbas dan lain-lainya berpendapat.Seseorang wanita islam hanya boleh mendedahkan wajah,dua tapak tangan dan cincinnya di hadapan lelaki yang bukan mahram(As syeikh said hawa di dalam kitabnya Al Asas fit Tasir)
“Janganlah perempuan -perempuan itu terlalu lunak dalam berbicara sehingga menghairahkan orang yang ada perasaan dalam hatinya,tetapi ucapkanlah perkataan yang baik-baik”(surah Al Ahzab:32)
“lantas apa lagi ayah?”sahut puteri kecil terus ingin tahu.
“ketahuilah muslimah sejati bukan dilihat dari keberaniannya dalam berpakaian grand tetapi dilihat dari sejauh mana ia berani mempertahankan kehormatannya melalui apa yang dipakainya.
Muslimah sejati bukan dilihat dari kekhuwatirannya digoda orang di tepi jalanan tetapi dilihat dari kekhuwatirannya dirinyalah yang mengundang orang tergoda.muslimah sejati bukanlah dilihat dari seberapa banyak dan besarnya ujian yang ia jalani tetapi dilihat dari sejauh mana ia menghadapi ujian itu dengan penuh rasa redha dan kehambaan kepada TUHAN nya,dan ia sentiasa bersyukur dengan segala kurniaan yang diberi”
“dan ingatlah anakku muslimah sejati bukan dilihat dari sifat mesranya dalam bergaul tetapi dilihat dari sejauh mana ia mampu menjaga kehormatan dirinya dalam bergaul”
Setelah itu si anak bertanya”Siapakah yang memiliki criteria seperti itu ayah?Bolehkah saya menjadi sepertinya?mampu dan layakkah saya ayah?”
Si ayah memberikan sebuah buku dan berkata”pelajarilah mereka!supaya kamu berjaya nanti.INSYA ALLAH kamu juga boleh menjadi muslimah sejati dan wanita yang solehah kelak,malah semua wanita boleh”
Si anak pun segera mengambil buku tersebut lalu terlihatlah sebaris perkataan berbunyi ISTERI RASULULLAH.
“Apabila seorang perempuan itu solat lima waktu ,puasa di bulan ramadhan ,menjaga kehormatannya dan mentaati suaminya,maka masuklah ia ke dalam syurga dari pintu-pintu yang ia kehendakinya”(riwayat Al Bazzar)
SUMBER : RAKANMASJID
Sifat-sifat wanita ahli syurga
Siapakah wanita yang menjadi ahli Syurga? Apakah ciri-ciri atau sifat-sifat yang menjadi kunci bagi wanita memasuki syurga?
Sebuah hadis Nabi menyatakan: Daripada Anas, Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam bersabda yang bermaksud: "Apabila seorang perempuan mendirikan sembahyang lima waktu, berpuasa sebulan (Ramadhan), menjaga kehormatan dan taat kepada suami, dia akan disuruh memasuki syurga melalui mana-mana pintu yang dia sukai." (Hadis Riwayat Ahmad)
Menurut hadis di atas sekurang-kurangnya ia telah menggariskan empat dasar atau sifat utama yang menjadi teras bagi seorang wanita muslimah memasuki syurga, iaitu menunaikan kewajipannya kepada Allah dalam makna melaksanakan ibadah-ibadah yang diwajibkan ke atasnya seperti sembahyang, puasa, dan lain-lain ibadah wajib yang mampu dilaksanakan.
Sebuah hadis menyebutkan bahawa sembahyang adalah perkara pertama yang akan disoal di hari Kiamat.
Daripada Abu Hurairah Radhiallahu Anhu, Nabi Sallallahu Alahi Wasallam bersabda: "Sesungguhnya perkara yang pertama sekali dikira dari amalan hamba di hari kiamat ialah sembahyang; sekiranya sembahyang itu sempurna, maka beruntung dan berjayalah dia, dan sekiranya ia rosak, maka kecewa dan rugilah dia, kalau kewajipan fardhu masih kurang, Allah berfirman: Lihatlah adakah amalan-amalan sunat untuk menyempurnakan kekurangan tersebut. Demikianlah seterusnya dengan amalan yang lain" (Hadis riwayat at-Tirmizi)
Disamping menunaikan kewajipan kepada Allah, menunaikan hak dan kewajipan kepada suami juga merupakan hal yang tidak boleh diabaikan oleh seorang wanita.
Tertunainya hak dan tanggungjawab suami barulah akan turun keredhaan dan rahmat Allah kepadanya. Menjaga kehormatan diri juga merupakan hal yang digariskan oleh hadis di atas. Antara hal-hal yang boleh diketegorikan dalam konteks menjaga kehormatan itu ialah mempunyai sifat pemalu, jika suaminya keluar dia akan menguruskan dan menjaga dirinya dan harta suaminya dengan amanah. Bila suaminya datang kepadanya dia akan menjaga mulut daripada menyebutkan perkataan yang tidak elok didengar.
Sebuah hadis Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam menyatakan bahawa: "Sesungguhnya sopan santun dan keimanan adalah saling berkaitan, jika salah satunya dikeluarkan, yang satu lagi juga akan hilang serentak." (Hadis Riwayat Baihaqi)
Maksud hadis ini ialah jika kesopanan atau sifat malu sudah hilang, iman juga akan hilang bersama-samanya. Betapa besarnya pengaruh antara kesopanan dan keimanan kepada diri seorang wanita itu, Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam menegaskan dengan sabda baginda: "Apabila sesesorang itu terlibat dengan penzinaan, ia bukan lagi seorang beriman, apabila seseorang itu mencuri ia bukan lagi seorang beriman, apabila seseorang itu meminum arak ia bukan lagi seorang beriman, apabila seseorang itu menyelewing setelah diberi amanah oleh orang lain ia bukan lagi seorang beriman, dan apabila seseorang diantara kamu menipu ia bukan lagi seorang beriman, oleh itu berjaga-jagalah!"
Taat kepada suami merupakan satu lagi sifat wanita yang digambarkan oleh hadis yang dipaparkan di awal makalah ini. Taat kepada suami adalah tanggungjawab isteri yang wajib di sempurnakan. Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Imam Bazzar Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam bersabda: "Kamu sampaikan kepada perempuan yang kamu jumpa, bahawa taat kepada suami, dan mengakui hak-hak suami, sama pahalanya dengan berperang dan bertempur dengan musuh-musuh Islam di medan pertempuran, tetapi sedikit sangat daripada isteri-isteri yang menyempurnakan hak-hak suami mereka." (Hadis riwayat Al Imam Bazzar)
Isteri adalah pusat dan sumber kebahagiaan dan ketenteraman di dalam sebuah rumahtangga. Ia perlu mempunyai sifat-sifat sabar dan perhatian yang sepenuhnya kepada suami dan juga anak-anak.
Sikap inilah yang boleh mewujudkan suasana yang tenang, aman dan damai dalam rumahtangga. Dalam hal ini, para isteri sayugialah akan sentiasa bersikap baik kepada suami.
Saidina Abu Bakar Radhiallahu Anhu meriwayatkan bahawa Rasullullah Sallallahu Alaihi Wasallam pernah bersabda: "Seorang wanita yang menyakiti hati suami dengan lidahnya, dia mendatangkan celaan dan kemurkaan Allah, para malaikat dan umat manusia."
Selain itu, Saidina Ali Radhiallahu Anhu meriwayatkan sebuah hadis mengenai setiap isteri yang tidak menghormati status suaminya. "Wanita yang berkata kepada suaminya yang tidak melihat apa-apa kebaikan pada suaminya, Allah menghapuskan segala perbuatan baiknya selama 70 tahun, walaupun dia berpuasa selama itu siang hari dan bersembahyang pada malamnya." (Hadis Riwayat Imam Majah dan An-Nasai)
Berdasarkan huraian ringkas di atas, para wanita semestinyalah mengamalkan sikap taat dan bertakwa kepada Allah, bertanggungjawab kepada suami dan menjaga kehormatan dirinya. Semoga dengan itu, akan mudahlah mereka mendapat rahmat dan keredhaan Allah. Rahmat dan redha Allah itulah yang akan menjamin kebahagian hidupnya di dunia dan di akhirat.
posted by kasih_kekasih at 8:46 PM | 29 comments
Sebuah hadis Nabi menyatakan: Daripada Anas, Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam bersabda yang bermaksud: "Apabila seorang perempuan mendirikan sembahyang lima waktu, berpuasa sebulan (Ramadhan), menjaga kehormatan dan taat kepada suami, dia akan disuruh memasuki syurga melalui mana-mana pintu yang dia sukai." (Hadis Riwayat Ahmad)
Menurut hadis di atas sekurang-kurangnya ia telah menggariskan empat dasar atau sifat utama yang menjadi teras bagi seorang wanita muslimah memasuki syurga, iaitu menunaikan kewajipannya kepada Allah dalam makna melaksanakan ibadah-ibadah yang diwajibkan ke atasnya seperti sembahyang, puasa, dan lain-lain ibadah wajib yang mampu dilaksanakan.
Sebuah hadis menyebutkan bahawa sembahyang adalah perkara pertama yang akan disoal di hari Kiamat.
Daripada Abu Hurairah Radhiallahu Anhu, Nabi Sallallahu Alahi Wasallam bersabda: "Sesungguhnya perkara yang pertama sekali dikira dari amalan hamba di hari kiamat ialah sembahyang; sekiranya sembahyang itu sempurna, maka beruntung dan berjayalah dia, dan sekiranya ia rosak, maka kecewa dan rugilah dia, kalau kewajipan fardhu masih kurang, Allah berfirman: Lihatlah adakah amalan-amalan sunat untuk menyempurnakan kekurangan tersebut. Demikianlah seterusnya dengan amalan yang lain" (Hadis riwayat at-Tirmizi)
Disamping menunaikan kewajipan kepada Allah, menunaikan hak dan kewajipan kepada suami juga merupakan hal yang tidak boleh diabaikan oleh seorang wanita.
Tertunainya hak dan tanggungjawab suami barulah akan turun keredhaan dan rahmat Allah kepadanya. Menjaga kehormatan diri juga merupakan hal yang digariskan oleh hadis di atas. Antara hal-hal yang boleh diketegorikan dalam konteks menjaga kehormatan itu ialah mempunyai sifat pemalu, jika suaminya keluar dia akan menguruskan dan menjaga dirinya dan harta suaminya dengan amanah. Bila suaminya datang kepadanya dia akan menjaga mulut daripada menyebutkan perkataan yang tidak elok didengar.
Sebuah hadis Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam menyatakan bahawa: "Sesungguhnya sopan santun dan keimanan adalah saling berkaitan, jika salah satunya dikeluarkan, yang satu lagi juga akan hilang serentak." (Hadis Riwayat Baihaqi)
Maksud hadis ini ialah jika kesopanan atau sifat malu sudah hilang, iman juga akan hilang bersama-samanya. Betapa besarnya pengaruh antara kesopanan dan keimanan kepada diri seorang wanita itu, Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam menegaskan dengan sabda baginda: "Apabila sesesorang itu terlibat dengan penzinaan, ia bukan lagi seorang beriman, apabila seseorang itu mencuri ia bukan lagi seorang beriman, apabila seseorang itu meminum arak ia bukan lagi seorang beriman, apabila seseorang itu menyelewing setelah diberi amanah oleh orang lain ia bukan lagi seorang beriman, dan apabila seseorang diantara kamu menipu ia bukan lagi seorang beriman, oleh itu berjaga-jagalah!"
Taat kepada suami merupakan satu lagi sifat wanita yang digambarkan oleh hadis yang dipaparkan di awal makalah ini. Taat kepada suami adalah tanggungjawab isteri yang wajib di sempurnakan. Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Imam Bazzar Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam bersabda: "Kamu sampaikan kepada perempuan yang kamu jumpa, bahawa taat kepada suami, dan mengakui hak-hak suami, sama pahalanya dengan berperang dan bertempur dengan musuh-musuh Islam di medan pertempuran, tetapi sedikit sangat daripada isteri-isteri yang menyempurnakan hak-hak suami mereka." (Hadis riwayat Al Imam Bazzar)
Isteri adalah pusat dan sumber kebahagiaan dan ketenteraman di dalam sebuah rumahtangga. Ia perlu mempunyai sifat-sifat sabar dan perhatian yang sepenuhnya kepada suami dan juga anak-anak.
Sikap inilah yang boleh mewujudkan suasana yang tenang, aman dan damai dalam rumahtangga. Dalam hal ini, para isteri sayugialah akan sentiasa bersikap baik kepada suami.
Saidina Abu Bakar Radhiallahu Anhu meriwayatkan bahawa Rasullullah Sallallahu Alaihi Wasallam pernah bersabda: "Seorang wanita yang menyakiti hati suami dengan lidahnya, dia mendatangkan celaan dan kemurkaan Allah, para malaikat dan umat manusia."
Selain itu, Saidina Ali Radhiallahu Anhu meriwayatkan sebuah hadis mengenai setiap isteri yang tidak menghormati status suaminya. "Wanita yang berkata kepada suaminya yang tidak melihat apa-apa kebaikan pada suaminya, Allah menghapuskan segala perbuatan baiknya selama 70 tahun, walaupun dia berpuasa selama itu siang hari dan bersembahyang pada malamnya." (Hadis Riwayat Imam Majah dan An-Nasai)
Berdasarkan huraian ringkas di atas, para wanita semestinyalah mengamalkan sikap taat dan bertakwa kepada Allah, bertanggungjawab kepada suami dan menjaga kehormatan dirinya. Semoga dengan itu, akan mudahlah mereka mendapat rahmat dan keredhaan Allah. Rahmat dan redha Allah itulah yang akan menjamin kebahagian hidupnya di dunia dan di akhirat.
posted by kasih_kekasih at 8:46 PM | 29 comments
Ciri ciri wanita solehah
Tidak banyak syarat yang dikenakan oleh Islam untuk seseorang wanita menerima gelaran solehah, dan seterusnya menerima pahala syurga yang penuh kenikmatan dari Allah s.w.t.
Mereka hanya perlu memenuhi 2 syarat iaitu :
1. Taat kepada Allah dan RasulNya
2. Taat kepada suami
Perincian dari dua syarat di atas adalah sebagai berikut :
1. Taat kepada Allah dan RasulNya
Bagaimana yang dikatakan taat kepada Allah s.w.t. ?
- Mencintai Allah s.w.t. dan Rasulullah s.a.w. melebihi dari segala-galanya.
- Wajib menutup aurat
- Tidak berhias dan berperangai seperti wanita jahiliah
- Tidak bermusafir atau bersama dengan lelaki dewasa kecuali ada mahram bersamanya
- Sering membantu lelaki dalam perkara kebenaran, kebajikan dan taqwa
- Berbuat baik kepada ibu & bapa
- Sentiasa bersedekah baik dalam keadaan susah ataupun senang
- Tidak berkhalwat dengan lelaki dewasa
- Bersikap baik terhadap tetangga
2. Taat kepada suami
- Memelihara kewajipan terhadap suami
- Sentiasa menyenangkan suami
- Menjaga kehormatan diri dan harta suaminya selama suami tiada di rumah
- Tidak bermasam muka di hadapan suami
- Tidak menolak ajakan suami untuk tidur
- Tidak keluar tanpa izin suami
- Tidak meninggikan suara melebihi suara suami
- Tidak membantah suaminya dalam kebenaran
- Tidak menerima tamu yang dibenci suaminya
- Sentiasa memelihara diri, kebersihan & kecantikannya serta rumah tangga
FAKTOR YANG MERENDAHKAN MARTABAT WANITA
Sebenarnya puncak rendahnya martabat wanita adalah dari faktor dalaman. Bukanlah faktor luaran atau yang berbentuk material sebagaimana yang digembar-gemburkan oleh para pejuang hak-hak palsu wanita.
Faktor-faktor tersebut ialah:
1) Lupa mengingat Allah
Kerana terlalu sibuk dengan tugas dan kegiatan luar atau memelihara anak-anak, maka tidak hairanlah jika banyak wanita yang tidak menyedari bahawa dirinya telah lalai dari mengingat Allah. Dan saat kelalaian ini pada hakikatnya merupakan saat yang paling berbahaya bagi diri mereka, di mana syaitan akan mengarahkan hawa nafsu agar memainkan peranannya.
Firman Allah s.w.t. di dalam surah al-Jathiah, ayat 23: ertinya:
” Maka sudahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmunya. Dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya.”
Sabda Rasulullah s.a.w.: ertinya:
“Tidak sempurna iman seseorang dari kamu, sehingga dia merasa cenderung kepada apa yang telah aku sampaikan.” (Riwayat Tarmizi)
Mengingati Allah s.w.t. bukan saja dengan berzikir, tetapi termasuklah menghadiri majlis-majlis ilmu.
2) Mudah tertipu dengan keindahan dunia.
Keindahan dunia dan kemewahannya memang banyak menjebak wanita ke perangkapnya. Bukan itu saja, malahan syaitan dengan mudah memperalatkannya untuk menarik kaum lelaki agar sama-sama bergelumang dengan dosa dan noda. Tidak sedikit yang sanggup durhaka kepada Allah s.w.t. hanya kerana kenikmatan dunia yang terlalu sedikit.
Firman Allah s.w.t. di dalam surah al-An’am: ertinya:
” Dan tidaklah penghidupan dunia ini melainkan permainan dan kelalaian dan sesungguhnya negeri akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa, oleh kerana itu tidakkah kamu berfikir.”
3) Mudah terpedaya dengan syahwat.
4) Lemah iman.
5) Bersikap suka menunjuk-nunjuk.
Dunia adalah perhiasan, perhiasan dunia yang terbaik adalah Wanita yang solehah
SUMBER : NURJEEHAN.WORDPREES.COM
TOLONG2 BACA BAGI YANG BERGELAR WANITA!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!------------->Langkah2 Syaitan Menelanjangi Wanita....
.by Ukhti Azie Mawar Berduri on Saturday, October 2, 2010 at 9:38am.
Qi-Lah-LB menulis "Ditulis Oleh : Qi-Lah-LB
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Syaitan dalam menggoda manusia memiliki berbagai cara strategi, dan yang sering dipakai adalah dengan memanfaatkan hawa nafsu, yang memang memiliki kecenderungan mengajak kepada keburukan (ammaratun bis su'). Syaitan seakan mengetahui kecenderungan nafsu kita, dia terus berusaha agar manusia keluar dari garis yang telah ditentukan Allah, termasuk melepaskan hijab atau pakaian muslimah.
Berikut adalah cara bertahap:
I. MENGHILANGKAN DEFINISI HIJAB!
Dalam tahap ini syaitan membisikkan kepada para wanita, bahawa pakaian apapun termasuk hijab (penutup) itu tidak ada kaitannya dengan agamaia hanya sekadar pakaian atau gaya hiasan bagi para wanita. Jadi tidak ada pakaian syar'i, pakaian, dengan apa pun bentuk dan namanya tetap pakaian.
Sehingga akibatnya, ketika zaman telah berubah, atau kebudayaan manusia telah berganti, maka tidak ada masalah pakaian ikut ganti juga. Demikian pula ketika seseorang berpindah dari suatu negeri ke negeri yang lain, maka harus menyesuaikan diri dengan pakaian penduduknya, apapun yang mereka pakai. Berbeza halnya jika seorang wanita berkeyakinan, bahawa hijab adalah pakaian syar'i (identiti keislaman), dan memakainya adalah ibadah bukan sekadar gaya ( fesyen ). Biarpun hidup bila saja dan di mana saja, maka hijab syar'i tetap dipertahankan.
Apabila seorang wanita masih bertahan dengan prinsip hijabnya, maka syaitan beralih dengan strategi yang lebih halus. Caranya?
Pertama, Membuka Bahagian Tangan
Telapak tangan mungkin sudah kebiasaannya terbuka, maka syaitan membisikkan kepada para wanita agar ada sedikit peningkatan model yakni membuka bahagian hasta (siku hingga telapak tangan). "Ah tidak apa-apa, kan masih pakai jilbab dan pakai baju panjang? Begitu bisikan syaitan. Dan benar si wanita akhirnya memakai pakaian model baru yang menampakkan tangannya, dan ternyata para lelaki melihatnya juga seperti biasa saja. Maka syaitan berbisik," Tu.. tidak apa-apa kan?
Kedua, Membuka Leher dan Dada
Setelah menampakkan tangan menjadi kebiasaan, maka datanglah syaitan untuk membisikkan perkara baru lagi. "Kini buka tangan sudah menjadi lumrah, maka perlu ada peningkatan model pakaian yang lebih maju lagi, yakni terbuka bahagian atas dada kamu." Tapi jangan sebut sebagai pakaian terbuka, hanya sekadar sedikit untuk mendapatkan hawa, agar tidak panas. Cubalah! Orang pasti tidak akan peduli, sebab hanya sebahagian kecil sahaja yang terbuka.
Maka dipakailah pakaian fesyen terbaru yang terbuka bahagian leher dan dadanya dari yang fesyen setengah lingkaran hingga yang fesyen bentuk huruf "V" yang tentu menjadikan lebih terlihat lagi bahagian sensitif lagi dari dadanya.
Ketiga, Berpakaian Tapi Telanjang
Syaitan berbisik lagi, "Pakaian mu hanya gitu-gitu saja, yak "cool" cari fesyen atau bahan lain yang lebih bagus! Tapi apa ya? Si wanita berfikir. "Banyak fesyen dan kain yang agak tipis, lalu bentuknya dibuat yang agak ketat biar lebih sedap/cantik dipandang," syaitan memberi idea baru.
Maka tergodalah si wanita, di carilah fesyenpakaian yang ketat dan kain yang tipis bahkan transparent. "Mungkin tak ada masalah, kan potongan pakaiannya masih panjang, hanya bahan dan fesyennya saja yang agak berbeza, biar nampak lebih feminin," begitu dia menokok-nambah. Walhasil pakaian tersebut akhirnya membudaya di kalangan wanita muslimah, makin hari makin bertambah ketat dan transparent, maka jadilah mereka wanita yang disebut oleh Nabi sebagai wanita kasiyat 'ariyat (berpakaian tetapi telanjang).
Keempat, Agak di Buka Sedikit
Setelah para wanita muslimah mengenakan pakaian yang ketat, maka syaitan datang lagi. Dan sebagaimana biasanya dia menawarkan idea baru yang sepertinya "cool" dan "vogue", yakni dibisiki wanita itu, "Pakaian seperti ini membuat susah berjalan atau duduk, soalnya sempit, apa tak sebaiknya di belah hingga lutut atau mendekati paha?" Dengan itu kamu akan lebih selesa, lebih kelihatan lincah dan energik." Lalu dicubalah idea baru itu, dan memang benar dengan dibelah mulai dari bahagian bawah hingga lutut atau mendekati paha ternyata membuat lebih selesa dan leluasa, terutama ketika akan duduk atau naik kenderaan. "Yah.... tersingkap sedikit tak apa-apa lah, yang penting enjoy," katanya.
Inilah tahapan awal syaitan merosak kaum wanita, hingga tahap ini pakaian masih tetap utuh dan panjang, hanya fesyen, corak, potongan dan bahan saja yang dibuat berbeza dengan hijab syar'i yang sebenarnya. Maka kini mulailah syaitan pada tahap berikutnya.
>II. TERBUKA SEDIKIT-DEMI SEDIKIT!<
Kini syaitan melangkah lagi, dengan tipu daya lain yang lebih "power", tujuannya agar para wanita menampakkan bahagian aurat tubuhnya.
Pertama, Membuka Telapak Kaki dan Tumit
Syaitan Berbisik kepada para wanita, "Baju panjang benar-benar tidak selesa, kalau hanya dengan membelah sedikit bahagiannya masih kurang leluasa, lebih elok kalau dipotong sahaja hingga atas mata kaki." Ini baru agak longgar. "Oh...... ada yang yang terlupa, kalau kamu pakai baju sedemikian, maka jilbab yang besar tidak sepadan lagi, sekarang kamu cari jilbab yang kecil agar lebih serasi dan sepadan, ala....... orang tetap menamakannya dengan jilbab."
Maka para wanita yang terpengaruh dengan bisikan ini terburu-buru mencari fesyen pakaian yang dimaksudkan. Tak ketinggalan kasut tumit tinggi, yang kalau untuk berjalan, dapat menarik perhatian orang.
Kedua, Membuka Seperempat Hingga Separuh Betis
Terbuka telapak kaki telah biasa ia lakukan, dan ternyata orang yang melihat juga tidak begitu ambil peduli. Maka syaitan kembali berbisik, "Ternyata kebanyakan manusia menyukai apa yang kamu lakukan, buktinya mereka tidak ada reaksi apa-apa, kecuali hanya beberapa orang. Kalau langkah kakimu masih kurang leluasa, maka cubalah kamu cari fesyen lain yang lebih menarik, bukankah kini banyak skirt separuh betis dijual di pasaran? Tidak usah terlalu terdedah, hanya terlihat kira-kira sepuluh centimetre saja." Nanti kalau sudah biasa, baru kamu cari fesyen baru yang terbuka hingga separuh betis."
Benar-benar bisikan syaitan dan hawa nafsu telah menjadi penasihat peribadinya, sehingga apa yang saja yang dibisikkan syaitan dalam jiwanya dia turutkan. Maka terbiasalah dia memakai pakaian yang terlihat separuh betisnya kemana saja dia pergi.
Ketiga, Terbuka Seluruh Betis
Kini di mata si wanita, zaman benar-benar telah berubah, syaitan telah berhasil membalikkan pandangan jernihnya. Terkadang si wanita berfikir, apakah ini tidak menyelisihi para wanita di masa Nabi dahulu. Namun bisikan syaitan dan hawa nafsu menyahut, "Ah jelas tidak, kan sekarang zaman sudah berubah, kalau zaman dulu para lelaki mengangkat pakaiannya hingga setengah betis, maka wanitanya harus menyelisihi dengan menjulurkannya hingga menutup telapak kaki, tapi kini lain, sekarang banyak lelaki yang menurunkan pakaiannya hingga bawah mata kaki, maka wanitanya harus menyelisihi mereka iaitu dengan mengangkatnya hingga setengah betis atau kalau perlu lebih ke atas lagi, sehingga nampak seluruh betisnya."
Tetapi? apakah itu tidak menjadi fitnah bagi kaum lelaki," bersungut. "Fitnah? Ah...... itu kan zaman dulu, di masa itu kaum lelaki tidak suka kalau wanita menampakkan auratnya, sehingga wanita-wanita mereka lebih banyak di rumah dan pakaian mereka sangat tertutup. Tapi sekarang sudah berbeza, kini kaum lelaki kalau melihat bahagian tubuh wanita yang terbuka, malah senang dan mengatakan ooh atau wow, bukankah ini bererti sudah tidak ada lagi fitnah, kerana sama- sama suka? Lihat saja fesyen pakaian di sana-sini, dari yang di pasar malam hingga yang berjenama di pusat membeli belah, semuanya memperagakan fesyen yang dirancang khusus untuk wanita maju di zaman ini. Kalau kamu tidak mengikutinya, akan menjadi wanita yang ketinggalan zaman."
Demikianlah, maka pakaian yang menampakkan seluruh betis akhirnya menjadi kebiasaan, apalagi ramai yang memakainya dan sedikit sekali orang yang mempersoalkannya. Kini tibalah saatnya syaitan melancarkan tahap terakhir dari tipu dayannya untuk melucuti hijab wanita.
III. SERBA MINI
Setelah pakaian yang menampakkan betis menjadi pakaian sehari- harian dan dirasa biasa-biasa saja, maka datanglah bisikan syaitan yang lain. "Pakaian memerlukan variasi, jangan yang itu-itu saja, sekarang ini fesyen skirt mini, dan agar sepadan, rambut kepala harus terbuka, sehingga benar-benar kelihatan indah."
Maka akhirnya skirt mini yang menampakkan bahagian bawah paha dia pakai, bajunya pun bervariasi, ada yang terbuka hingga lengan tangan, terbuka bahagian dada sekaligus bahagian punggungnya dan berbagai fesyen lain yang serba pendek dan mini. Koleksi pakaiannya sangat beraneka ragam, ada pakaian untuk berpesta, bersosial, pakaian kerja, pakaian resmi, pakaian malam, petang, musim panas, musim sejuk dan lain-lain, tak ketinggalan seluar pendek separuh paha pun dia miliki, fesyen dan warna rambut juga ikut bervariasi, semuanya telah dicuba. Begitulah sesuatu yang sepertinya mustahil untuk dilakukan, ternyata kalau sudah dihiasi oleh syaitan, maka segalanya menjadi serba mungkin dan diterima oleh manusia.
Hingga suatu ketika, muncul idea untuk mandi di kolam renang terbuka atau mandi di pantai, di mana semua wanitanya sama, hanya dua bahagian paling ketara saja yang tersisa untuk ditutupi, kemaluan dan buah dada. Mereka semua mengenakan pakaian yang sering disebut dengan "bikini". Kerana semuanya begitu, maka harus ikut begitu, dan na'udzubillah bisikan syaitan berhasil, tujuannya tercapai, "Menelanjangi Kaum Wanita."
Selanjutnya terserah kamu wahai wanita, kalian semua sama, telanjang di hadapan lelaki lain, di tempat umum. Aku berlepas diri kalau nanti kelak kalian sama-sama di neraka. Aku hanya menunjukkan jalan, engkau sendiri yang melakukan itu semua, maka tanggung sendiri semua dosamu" Syaitan tak ingin ambil risiko.
Penutup
Demikian halus, cara yang digunakan syaitan, sehingga manusia terjerumus dalam dosa tanpa terasa. Maka hendaklah kita semua, terutama orang tua jika melihat gejala menyimpang pada anak-anak gadis dan para wanita kita sekecil apapun, segera secepatnya diambil tindakan. Jangan biarkan berlarut-larutan, kerana kalau dibiarkan dan telah menjadi kebiasaan, maka sakan menjadi sukar bagi kita untuk mengatasinya. Membiarkan mereka membuka aurat bererti merelakan mereka mendapatkan laknat Allah, kasihanilah mereka, selamatkan para wanita muslimah, jangan jerumuskan mereka ke dalam kebinasaan yang menyengsarakan, baik di dunia mahupun di akhirat.
Wallahu a'lam bisshawab.
Sumber idea dan buah fikiran: Kitab "At ta'ari asy syaithani", Adnan ath-Thursyah "
Qi-Lah-LB menulis "Ditulis Oleh : Qi-Lah-LB
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Syaitan dalam menggoda manusia memiliki berbagai cara strategi, dan yang sering dipakai adalah dengan memanfaatkan hawa nafsu, yang memang memiliki kecenderungan mengajak kepada keburukan (ammaratun bis su'). Syaitan seakan mengetahui kecenderungan nafsu kita, dia terus berusaha agar manusia keluar dari garis yang telah ditentukan Allah, termasuk melepaskan hijab atau pakaian muslimah.
Berikut adalah cara bertahap:
I. MENGHILANGKAN DEFINISI HIJAB!
Dalam tahap ini syaitan membisikkan kepada para wanita, bahawa pakaian apapun termasuk hijab (penutup) itu tidak ada kaitannya dengan agamaia hanya sekadar pakaian atau gaya hiasan bagi para wanita. Jadi tidak ada pakaian syar'i, pakaian, dengan apa pun bentuk dan namanya tetap pakaian.
Sehingga akibatnya, ketika zaman telah berubah, atau kebudayaan manusia telah berganti, maka tidak ada masalah pakaian ikut ganti juga. Demikian pula ketika seseorang berpindah dari suatu negeri ke negeri yang lain, maka harus menyesuaikan diri dengan pakaian penduduknya, apapun yang mereka pakai. Berbeza halnya jika seorang wanita berkeyakinan, bahawa hijab adalah pakaian syar'i (identiti keislaman), dan memakainya adalah ibadah bukan sekadar gaya ( fesyen ). Biarpun hidup bila saja dan di mana saja, maka hijab syar'i tetap dipertahankan.
Apabila seorang wanita masih bertahan dengan prinsip hijabnya, maka syaitan beralih dengan strategi yang lebih halus. Caranya?
Pertama, Membuka Bahagian Tangan
Telapak tangan mungkin sudah kebiasaannya terbuka, maka syaitan membisikkan kepada para wanita agar ada sedikit peningkatan model yakni membuka bahagian hasta (siku hingga telapak tangan). "Ah tidak apa-apa, kan masih pakai jilbab dan pakai baju panjang? Begitu bisikan syaitan. Dan benar si wanita akhirnya memakai pakaian model baru yang menampakkan tangannya, dan ternyata para lelaki melihatnya juga seperti biasa saja. Maka syaitan berbisik," Tu.. tidak apa-apa kan?
Kedua, Membuka Leher dan Dada
Setelah menampakkan tangan menjadi kebiasaan, maka datanglah syaitan untuk membisikkan perkara baru lagi. "Kini buka tangan sudah menjadi lumrah, maka perlu ada peningkatan model pakaian yang lebih maju lagi, yakni terbuka bahagian atas dada kamu." Tapi jangan sebut sebagai pakaian terbuka, hanya sekadar sedikit untuk mendapatkan hawa, agar tidak panas. Cubalah! Orang pasti tidak akan peduli, sebab hanya sebahagian kecil sahaja yang terbuka.
Maka dipakailah pakaian fesyen terbaru yang terbuka bahagian leher dan dadanya dari yang fesyen setengah lingkaran hingga yang fesyen bentuk huruf "V" yang tentu menjadikan lebih terlihat lagi bahagian sensitif lagi dari dadanya.
Ketiga, Berpakaian Tapi Telanjang
Syaitan berbisik lagi, "Pakaian mu hanya gitu-gitu saja, yak "cool" cari fesyen atau bahan lain yang lebih bagus! Tapi apa ya? Si wanita berfikir. "Banyak fesyen dan kain yang agak tipis, lalu bentuknya dibuat yang agak ketat biar lebih sedap/cantik dipandang," syaitan memberi idea baru.
Maka tergodalah si wanita, di carilah fesyenpakaian yang ketat dan kain yang tipis bahkan transparent. "Mungkin tak ada masalah, kan potongan pakaiannya masih panjang, hanya bahan dan fesyennya saja yang agak berbeza, biar nampak lebih feminin," begitu dia menokok-nambah. Walhasil pakaian tersebut akhirnya membudaya di kalangan wanita muslimah, makin hari makin bertambah ketat dan transparent, maka jadilah mereka wanita yang disebut oleh Nabi sebagai wanita kasiyat 'ariyat (berpakaian tetapi telanjang).
Keempat, Agak di Buka Sedikit
Setelah para wanita muslimah mengenakan pakaian yang ketat, maka syaitan datang lagi. Dan sebagaimana biasanya dia menawarkan idea baru yang sepertinya "cool" dan "vogue", yakni dibisiki wanita itu, "Pakaian seperti ini membuat susah berjalan atau duduk, soalnya sempit, apa tak sebaiknya di belah hingga lutut atau mendekati paha?" Dengan itu kamu akan lebih selesa, lebih kelihatan lincah dan energik." Lalu dicubalah idea baru itu, dan memang benar dengan dibelah mulai dari bahagian bawah hingga lutut atau mendekati paha ternyata membuat lebih selesa dan leluasa, terutama ketika akan duduk atau naik kenderaan. "Yah.... tersingkap sedikit tak apa-apa lah, yang penting enjoy," katanya.
Inilah tahapan awal syaitan merosak kaum wanita, hingga tahap ini pakaian masih tetap utuh dan panjang, hanya fesyen, corak, potongan dan bahan saja yang dibuat berbeza dengan hijab syar'i yang sebenarnya. Maka kini mulailah syaitan pada tahap berikutnya.
>II. TERBUKA SEDIKIT-DEMI SEDIKIT!<
Kini syaitan melangkah lagi, dengan tipu daya lain yang lebih "power", tujuannya agar para wanita menampakkan bahagian aurat tubuhnya.
Pertama, Membuka Telapak Kaki dan Tumit
Syaitan Berbisik kepada para wanita, "Baju panjang benar-benar tidak selesa, kalau hanya dengan membelah sedikit bahagiannya masih kurang leluasa, lebih elok kalau dipotong sahaja hingga atas mata kaki." Ini baru agak longgar. "Oh...... ada yang yang terlupa, kalau kamu pakai baju sedemikian, maka jilbab yang besar tidak sepadan lagi, sekarang kamu cari jilbab yang kecil agar lebih serasi dan sepadan, ala....... orang tetap menamakannya dengan jilbab."
Maka para wanita yang terpengaruh dengan bisikan ini terburu-buru mencari fesyen pakaian yang dimaksudkan. Tak ketinggalan kasut tumit tinggi, yang kalau untuk berjalan, dapat menarik perhatian orang.
Kedua, Membuka Seperempat Hingga Separuh Betis
Terbuka telapak kaki telah biasa ia lakukan, dan ternyata orang yang melihat juga tidak begitu ambil peduli. Maka syaitan kembali berbisik, "Ternyata kebanyakan manusia menyukai apa yang kamu lakukan, buktinya mereka tidak ada reaksi apa-apa, kecuali hanya beberapa orang. Kalau langkah kakimu masih kurang leluasa, maka cubalah kamu cari fesyen lain yang lebih menarik, bukankah kini banyak skirt separuh betis dijual di pasaran? Tidak usah terlalu terdedah, hanya terlihat kira-kira sepuluh centimetre saja." Nanti kalau sudah biasa, baru kamu cari fesyen baru yang terbuka hingga separuh betis."
Benar-benar bisikan syaitan dan hawa nafsu telah menjadi penasihat peribadinya, sehingga apa yang saja yang dibisikkan syaitan dalam jiwanya dia turutkan. Maka terbiasalah dia memakai pakaian yang terlihat separuh betisnya kemana saja dia pergi.
Ketiga, Terbuka Seluruh Betis
Kini di mata si wanita, zaman benar-benar telah berubah, syaitan telah berhasil membalikkan pandangan jernihnya. Terkadang si wanita berfikir, apakah ini tidak menyelisihi para wanita di masa Nabi dahulu. Namun bisikan syaitan dan hawa nafsu menyahut, "Ah jelas tidak, kan sekarang zaman sudah berubah, kalau zaman dulu para lelaki mengangkat pakaiannya hingga setengah betis, maka wanitanya harus menyelisihi dengan menjulurkannya hingga menutup telapak kaki, tapi kini lain, sekarang banyak lelaki yang menurunkan pakaiannya hingga bawah mata kaki, maka wanitanya harus menyelisihi mereka iaitu dengan mengangkatnya hingga setengah betis atau kalau perlu lebih ke atas lagi, sehingga nampak seluruh betisnya."
Tetapi? apakah itu tidak menjadi fitnah bagi kaum lelaki," bersungut. "Fitnah? Ah...... itu kan zaman dulu, di masa itu kaum lelaki tidak suka kalau wanita menampakkan auratnya, sehingga wanita-wanita mereka lebih banyak di rumah dan pakaian mereka sangat tertutup. Tapi sekarang sudah berbeza, kini kaum lelaki kalau melihat bahagian tubuh wanita yang terbuka, malah senang dan mengatakan ooh atau wow, bukankah ini bererti sudah tidak ada lagi fitnah, kerana sama- sama suka? Lihat saja fesyen pakaian di sana-sini, dari yang di pasar malam hingga yang berjenama di pusat membeli belah, semuanya memperagakan fesyen yang dirancang khusus untuk wanita maju di zaman ini. Kalau kamu tidak mengikutinya, akan menjadi wanita yang ketinggalan zaman."
Demikianlah, maka pakaian yang menampakkan seluruh betis akhirnya menjadi kebiasaan, apalagi ramai yang memakainya dan sedikit sekali orang yang mempersoalkannya. Kini tibalah saatnya syaitan melancarkan tahap terakhir dari tipu dayannya untuk melucuti hijab wanita.
III. SERBA MINI
Setelah pakaian yang menampakkan betis menjadi pakaian sehari- harian dan dirasa biasa-biasa saja, maka datanglah bisikan syaitan yang lain. "Pakaian memerlukan variasi, jangan yang itu-itu saja, sekarang ini fesyen skirt mini, dan agar sepadan, rambut kepala harus terbuka, sehingga benar-benar kelihatan indah."
Maka akhirnya skirt mini yang menampakkan bahagian bawah paha dia pakai, bajunya pun bervariasi, ada yang terbuka hingga lengan tangan, terbuka bahagian dada sekaligus bahagian punggungnya dan berbagai fesyen lain yang serba pendek dan mini. Koleksi pakaiannya sangat beraneka ragam, ada pakaian untuk berpesta, bersosial, pakaian kerja, pakaian resmi, pakaian malam, petang, musim panas, musim sejuk dan lain-lain, tak ketinggalan seluar pendek separuh paha pun dia miliki, fesyen dan warna rambut juga ikut bervariasi, semuanya telah dicuba. Begitulah sesuatu yang sepertinya mustahil untuk dilakukan, ternyata kalau sudah dihiasi oleh syaitan, maka segalanya menjadi serba mungkin dan diterima oleh manusia.
Hingga suatu ketika, muncul idea untuk mandi di kolam renang terbuka atau mandi di pantai, di mana semua wanitanya sama, hanya dua bahagian paling ketara saja yang tersisa untuk ditutupi, kemaluan dan buah dada. Mereka semua mengenakan pakaian yang sering disebut dengan "bikini". Kerana semuanya begitu, maka harus ikut begitu, dan na'udzubillah bisikan syaitan berhasil, tujuannya tercapai, "Menelanjangi Kaum Wanita."
Selanjutnya terserah kamu wahai wanita, kalian semua sama, telanjang di hadapan lelaki lain, di tempat umum. Aku berlepas diri kalau nanti kelak kalian sama-sama di neraka. Aku hanya menunjukkan jalan, engkau sendiri yang melakukan itu semua, maka tanggung sendiri semua dosamu" Syaitan tak ingin ambil risiko.
Penutup
Demikian halus, cara yang digunakan syaitan, sehingga manusia terjerumus dalam dosa tanpa terasa. Maka hendaklah kita semua, terutama orang tua jika melihat gejala menyimpang pada anak-anak gadis dan para wanita kita sekecil apapun, segera secepatnya diambil tindakan. Jangan biarkan berlarut-larutan, kerana kalau dibiarkan dan telah menjadi kebiasaan, maka sakan menjadi sukar bagi kita untuk mengatasinya. Membiarkan mereka membuka aurat bererti merelakan mereka mendapatkan laknat Allah, kasihanilah mereka, selamatkan para wanita muslimah, jangan jerumuskan mereka ke dalam kebinasaan yang menyengsarakan, baik di dunia mahupun di akhirat.
Wallahu a'lam bisshawab.
Sumber idea dan buah fikiran: Kitab "At ta'ari asy syaithani", Adnan ath-Thursyah "
IFF: Ulama muda 'pertahan' Rosmah, selar pembangkang
Ulama muda Umno Fathul Bari Mat Jahya berkata pendekatan pembangkang mengecam tindakan Datin Seri Rosmah Mansor menaungi Festival Busana Islam (IFF) - yang mencetuskan kontroversi - tersasar daripada konsep agama sebagai nasihat.
Fathul Bari berkata, pembangkang sengaja membesar-besarkan isu itu sambil meletakkan sepenuhnya kesalahan atas bahu Rosmah tanpa menyiasat terlebih dahulu perkara itu.
"Sepatutnya bantahan itu ditujukan kepada penganjur sedangkan beliau (Rosmah) penaung semata-mata," katanya.
Semalam, sekurang-kurangnya empat perhimpunan aman anjuran Dewan Pemuda PAS diadakan di tiga negeri sebagai membantah tindakan Rosmah yang didakwa menghina syariat Islam dan Rasulullah dalam penganjuran festival itu di Monte Carlo 9 Ogos lalu.
Demontrasi itu berlangsung di masjid-masjid di Pahang, Kuala Terangganu dan dua masjid di Pulau Pinang.
Berucap pertama kali di perhimpunan agung Umno hari ini, Fathul Bari berkata, manusia sentiasa dituntut meneliti terlebih dahulu sama ada sesuatu kesilapan itu dilakukan dengan sengaja atau pun tidak.
"Tanpa diteliti hal tersebut, mereka terus menyerang dan menghukum. Adakah ini sikap orang Islam yang mengakui membawa hukum Allah. Sedangkan jelas perbuatan seperti ini tersasar dari Islam yang mengajar etika menasihati seseorang," kata Fahtul Bari.
"Kalau mereka ikhlas (menasihati) mengapa tidak tarik tangannya, bersendirian tanya dengannya lebih dahulu (perkara sebenar)," katanya.
Memetik pendapat seorang tokoh terkenal mazhab Shafie, Fahtul Bari berkata, pemerintah patut didoakan dengan kebaikan dan bukannya dengan maki hamum dan caci maki.
Menurut anak bekas mufti Perlis itu lagi, ini kerana Islam meletakkan adab dan etika tertentu untuk menegur seseorang.
Bercakap kepada Malaysiakini selepas itu, beliau bagaimanapun menegaskan tidak bersetuju 100 peratus program seperti itu dikaitkan dengan Islam.
"Saya cuma tekankan tadi soal adap menasihati pemimpin," jelasnya
Dalil Kebolehan Mencium Makam Rasulullah Atau Orang-orang Saleh Dari Kitab Wafa' al Wafa (Menohok Ajaran Sesat Wahabi)
Wafa al Wafa Bi Akhbar Dar al Musthafa
Karya Imam as Samhudi (W 911 H)
Al Izz bin al Jama’ah berkata: “Dalam kitab al Ilal dan kitab Su’alat Abdullan bin Ahmad bin Hanbal; (Kitab berisi pertanyaan-pertanyaa yang ditanyakan oleh Abdullah kepada ayahnya sendiri; yaitu Imam Ahmad bin Hanbal), sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Ali bin as Shuf dari Abdullah, bahwa Abdullah berkata: Saya telah bertanya kepada ayahku tentang orang yang mengusap mimbar Rasulullah untuk tujuan mendapatkan berkah, menciuminya, lalu melakukan hal yang sama terhadap makam Rasulullah supaya mendapatkan pahala dari Allah; ia (Imam Ahmad bin Hanbal) menjawab: Tidak masalah (boleh)”.
As Subki (Imam Taqiyyuddin Ali bin Abdil Kafi as Subki) dalam risalah bantahannya terhadap Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa larangan mengusap makam Rasulullah bukan perkara yang telah disepakati para ulama. Telah meriwayatkan Abul Husain Yahya bin al Husain ---- dengan sanadnya -----, berkata: Ketika Marwan bin al Hakam (salah seorang khalifah Bani Umayyah) mendatangi makam Rasulullah ia mendapati seseorang tengah duduk di hadapan makam tersebut. Marwan memagang tengkuk orang itu, berkata: Apakah sadar apa yang engkau lakukan ini? Orang itu berbalik menghadap, menjawab: Iya, (saya sadar) saya tidak mendatangi (berhadapan) sebongkah batu dan tembok, saya mendatangi Rasulullah. (saya mendengar Rasulullah bersabda): “Janganlah kalian tangisi jika agama ini dipimpin oleh ahlinya, tapi tangisilah jika agama ini dipimpin oleh orang yang bukan ahlinya”. (artinya; engkau wahai Marwan bukan seorang yang ahli dalam memimpin agama ini). Orang tersebut ternyata adalah sahabat Rasulullah; yaitu Abu Ayyub al Anshari.
Kemudian sahabat Bilal bin Rubah ketika datang dari Syam (sekarang Lebanon, Siria, Yordani, dan Palestina) ke Madinah untuk tujuan ziarah ke makam Rasulullah maka ia langsung mendatangi makam, menangis di hadapannya, dan membolak-balikan wajahnya di atas makam tersebut. Sanad riwayat ini baik.
Setelah Rasulullah dimakamkan maka datanglah Fatimah (putri Rasulullah), ia berdiri di hadapan makam, lalu mengambil segenggam tanah dari makam tersebut, ia letakan pada kedua matanya, ia menangis lalu berkata:
Apa yang akan diraih oleh orang yang mencium tanah Muhammad; adalah bahwa ia tidak akan penah mencium sepanjang masanya sesuatu yang lebih berharga dari pada tanah tersebut.
Telah ditimpakan kepadaku berbagai musibah (termasuk wafatnya Rasulullah); yang musibah-musibah jika tersebut ditimpakan pada siang maka ia seluruh siang akan menjadi malam (artinya musibah tersebut sangat berat).
Al Khathib bin Hamalah menyebutkan bahwa sahabat Abdullah bin Umar bin khattab telah meletakan tangan kanannya di makam mulia Rasulullah. Lalu Bilal bin Rubah juga telah meletakan kedua pipinya di atas makam Rasulullah. al Khathib juga telah menyebutkan riwayat dari kitab Su’alat Abdullah bin Ahmad (sebagaimana yang telah kita sebutkan di atas). Ia (al Khathib) berkata: Tidak diragukan lagi bahwa tenggelam dalam rasa cinta menjadikan itu (mengusap makam) perkara yang boleh. Tujuan dari pada itu semua adalah untuk penghormatan dan memuliakan. Sungguh derajat manusia itu bertingkat, sebagaimana dahulu di masa Rasulullah masih hidup manusia itu bertingkat (berbeda-beda); ada sebagian mereka ketika melihat Rasulullah mereka tidak dapat menahan dirinya (karena cinta) maka langsung “memburu” Rasulullah, ada sebagian lainnya yang “kalem (berhati-hati; tidak grasa-grusu)” maka mereka dapat menahan dirinya. Yang jelas semua itu adalah baik”.
Al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani berkata: “Sebagian ulama dalam mengambil kesimpulan/intisari (istinbath) tentang mengapa disyari’atkan mencium hajar aswad adalah dengan dengan dasar kebolehan mencium segala sesuatu yang berhak untuk dimuliakan; baik manusia atau lainya. Adapun tentang anjuran mencium tangan manusia (yang mulia) penjelasannnya telah lalu bahwa termasuk bentuk adab. Sementara anjuran terhadap selain manusia adalah dengan dasar (di antaranya) riwayat bahwa Imam Ahmad ditanya tentang mencium mimbar Rasulullah dan makamnya; beliau memandang itu bukan masalah (artinya boleh)”.
Sementara kaum Wahabi berkata bahwa orang yang ziarah ke makam para wali Allah adalah orang-orang musyrik (dalam istilah buruk mereka "Quburiyyun")... terlebih lagi yang mencium makam mereka!!!!
Lebih parah lagi, "imam besar tanpa tanding" mereka; Ibnu Taimiyah, mengatakan bahwa perjalanan ziarah ke makam Rasulullah untuk tujuan ziarah adalah perjalanan maksiat; tidak boleh mengqasar shalat dalam perjalanan tersebut.... nau'dzu billah!!!!
heh... wahabi khabits...!!! Lihat; sahabat Abdullah bin Umar bin Khattab meletakan tangan di atas tanah makam Rasulullah....!!! lihat; sahabat Bilal bin Rubah meletakan ke dua pipinya di atas tanah makam Rasulullah...!!!! apakah kalian akan mengatakan dua sahabat mulia ini orang-orang musyrik??????
?????????????????????????????????????????????????????????????????????????
Karya Imam as Samhudi (W 911 H)
Al Izz bin al Jama’ah berkata: “Dalam kitab al Ilal dan kitab Su’alat Abdullan bin Ahmad bin Hanbal; (Kitab berisi pertanyaan-pertanyaa yang ditanyakan oleh Abdullah kepada ayahnya sendiri; yaitu Imam Ahmad bin Hanbal), sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Ali bin as Shuf dari Abdullah, bahwa Abdullah berkata: Saya telah bertanya kepada ayahku tentang orang yang mengusap mimbar Rasulullah untuk tujuan mendapatkan berkah, menciuminya, lalu melakukan hal yang sama terhadap makam Rasulullah supaya mendapatkan pahala dari Allah; ia (Imam Ahmad bin Hanbal) menjawab: Tidak masalah (boleh)”.
As Subki (Imam Taqiyyuddin Ali bin Abdil Kafi as Subki) dalam risalah bantahannya terhadap Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa larangan mengusap makam Rasulullah bukan perkara yang telah disepakati para ulama. Telah meriwayatkan Abul Husain Yahya bin al Husain ---- dengan sanadnya -----, berkata: Ketika Marwan bin al Hakam (salah seorang khalifah Bani Umayyah) mendatangi makam Rasulullah ia mendapati seseorang tengah duduk di hadapan makam tersebut. Marwan memagang tengkuk orang itu, berkata: Apakah sadar apa yang engkau lakukan ini? Orang itu berbalik menghadap, menjawab: Iya, (saya sadar) saya tidak mendatangi (berhadapan) sebongkah batu dan tembok, saya mendatangi Rasulullah. (saya mendengar Rasulullah bersabda): “Janganlah kalian tangisi jika agama ini dipimpin oleh ahlinya, tapi tangisilah jika agama ini dipimpin oleh orang yang bukan ahlinya”. (artinya; engkau wahai Marwan bukan seorang yang ahli dalam memimpin agama ini). Orang tersebut ternyata adalah sahabat Rasulullah; yaitu Abu Ayyub al Anshari.
Kemudian sahabat Bilal bin Rubah ketika datang dari Syam (sekarang Lebanon, Siria, Yordani, dan Palestina) ke Madinah untuk tujuan ziarah ke makam Rasulullah maka ia langsung mendatangi makam, menangis di hadapannya, dan membolak-balikan wajahnya di atas makam tersebut. Sanad riwayat ini baik.
Setelah Rasulullah dimakamkan maka datanglah Fatimah (putri Rasulullah), ia berdiri di hadapan makam, lalu mengambil segenggam tanah dari makam tersebut, ia letakan pada kedua matanya, ia menangis lalu berkata:
Apa yang akan diraih oleh orang yang mencium tanah Muhammad; adalah bahwa ia tidak akan penah mencium sepanjang masanya sesuatu yang lebih berharga dari pada tanah tersebut.
Telah ditimpakan kepadaku berbagai musibah (termasuk wafatnya Rasulullah); yang musibah-musibah jika tersebut ditimpakan pada siang maka ia seluruh siang akan menjadi malam (artinya musibah tersebut sangat berat).
Al Khathib bin Hamalah menyebutkan bahwa sahabat Abdullah bin Umar bin khattab telah meletakan tangan kanannya di makam mulia Rasulullah. Lalu Bilal bin Rubah juga telah meletakan kedua pipinya di atas makam Rasulullah. al Khathib juga telah menyebutkan riwayat dari kitab Su’alat Abdullah bin Ahmad (sebagaimana yang telah kita sebutkan di atas). Ia (al Khathib) berkata: Tidak diragukan lagi bahwa tenggelam dalam rasa cinta menjadikan itu (mengusap makam) perkara yang boleh. Tujuan dari pada itu semua adalah untuk penghormatan dan memuliakan. Sungguh derajat manusia itu bertingkat, sebagaimana dahulu di masa Rasulullah masih hidup manusia itu bertingkat (berbeda-beda); ada sebagian mereka ketika melihat Rasulullah mereka tidak dapat menahan dirinya (karena cinta) maka langsung “memburu” Rasulullah, ada sebagian lainnya yang “kalem (berhati-hati; tidak grasa-grusu)” maka mereka dapat menahan dirinya. Yang jelas semua itu adalah baik”.
Al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani berkata: “Sebagian ulama dalam mengambil kesimpulan/intisari (istinbath) tentang mengapa disyari’atkan mencium hajar aswad adalah dengan dengan dasar kebolehan mencium segala sesuatu yang berhak untuk dimuliakan; baik manusia atau lainya. Adapun tentang anjuran mencium tangan manusia (yang mulia) penjelasannnya telah lalu bahwa termasuk bentuk adab. Sementara anjuran terhadap selain manusia adalah dengan dasar (di antaranya) riwayat bahwa Imam Ahmad ditanya tentang mencium mimbar Rasulullah dan makamnya; beliau memandang itu bukan masalah (artinya boleh)”.
Sementara kaum Wahabi berkata bahwa orang yang ziarah ke makam para wali Allah adalah orang-orang musyrik (dalam istilah buruk mereka "Quburiyyun")... terlebih lagi yang mencium makam mereka!!!!
Lebih parah lagi, "imam besar tanpa tanding" mereka; Ibnu Taimiyah, mengatakan bahwa perjalanan ziarah ke makam Rasulullah untuk tujuan ziarah adalah perjalanan maksiat; tidak boleh mengqasar shalat dalam perjalanan tersebut.... nau'dzu billah!!!!
heh... wahabi khabits...!!! Lihat; sahabat Abdullah bin Umar bin Khattab meletakan tangan di atas tanah makam Rasulullah....!!! lihat; sahabat Bilal bin Rubah meletakan ke dua pipinya di atas tanah makam Rasulullah...!!!! apakah kalian akan mengatakan dua sahabat mulia ini orang-orang musyrik??????
?????????????????????????????????????????????????????????????????????????
Ajaran Sesat Yang Secara Dusta Disandarkan Kepada al Imam as Sayyid Abd Al-Qadir al-Jilani ((( Sangat Penting )))
Dalam tulisan penulis sengaja mengetengahkan hal-hal urgen terkait dengan cerita-cerita dusta yang berkembang di sebagian masyarakat kita yang dinisbatkan kepada sebagian wali Allah. Kandungan cerita-cerita ini adalah sesuatu yang tidak layak untuk dinisbatkan kepada mereka. Adalah salah besar apa yang dipahami oleh sebagian orang bahwa yang disebut wali Allah adalah seorang yang memiliki keanehan-keanehan atau keajaiban-keajaiban sekalipun itu semua bertentangan dengan timbangan syari’at.
1. Dalam sebuah kitab berjudul al-Fuyûdlât ar-Rabbâniyyah Fi Ma’âtsir ath-Tharîqah al-Qâdiriyyah yang ditulis oleh Isma’il al-Qadiri al-Kailani dimuat dua bait syair dan dinisbatkan secara dusta kepada Syaikh Abd al-Qadir. Bait pertama berbunyi:
كُلّ قُطْبٍ يَطُوْفُ بِالْبَيْتِ سَبْعًا # وَأنَا اْلبَيْتُ طَائِفٌ بِخِيَامِيْ
“Setiap wali Quthub melaksanakan tawaf di ka’bah tujuh kali putaran, adapun bagi saya justru ka’bah tersebut tawaf mengelilingi kemahku”.
Artinya, menurut penulis bait syair ini, ka’bah meninggalkan Mekah dan pergi ke Irak untuk melakukan tawaf di kemah Syaikh Abd al-Qadir. Ini jelas merupakan kedustaan, karena Allah menetapkan ka’bah pada tempatnya di Mekah untuk selalu dikelilingi dalam tawaf oleh seluruh kaum muslimin tanpa terkecuali, baik di waktu siang maupun malam. Rasulullah sendiri, pembawa syari’at dan makhluk Allah yang lebih tinggi derajatnya dari siapapun melakukan tawaf dengan mengelilingi ka’bah, bukan ka’bah mengelilingi Rasulullah.
Bait syair ke dua berbunyi:
لَوْ أنِّي ألْقَيْتُ سِرِّيْ عَلَى لَظَى # لَأُطْفِئَتِ النّيْرَانُ مِنْ عُظْمِ بُرْهَانِي
“Jika aku letakan rahasiahku di atas kobaran api neraka maka api neraka tersebut akan padam karena keagungan rahasiahku”.
Dalam bait kedua ini jelas berisikan penentangan terhadap teks-teks syari’at yang telah menetapkan bahwa surga dan neraka tidak akan pernah punah selamanya. Seorang muslim yang berakidah benar, bahkan seorang awam sekalipun berkeyakinan bahwa neraka tidak akan pernah padam selamanya. Bagaimana mungkin seorang alim besar seperti al-Jilani mengucapkan semacam bait syair di atas?![1].
2. Kedustaan lain yang juga dikutip dalam kitab al-Fuyûdlât ar-Rabbâniyyah di atas dan dinisbatkan kepada Syaikh Abd al-Qadir adalah apa yang disebut dengan al-Ghautsiyyah. Disebutkan dalam kitab tersebut seakan Allah mengajak berbicara kepada Syaikh Abd al-Qadir dengan mengatakan “Ya Ghauts al-A’zham (Wahai penolong yang agung)…! Akan terjadi perkara ini dan itu…!”. Dalam bagian lain disebutkan bahwa Allah berkata kepadanya “Ya Ghauts al-A’zham… (Wahai penolong yang agung) makanan orang-orang fakir (kaum sufi) adalah makanan-Ku, dan minuman mereka adalah minuman-Ku”. Dalam kitab tersebut lafazh “Ya Ghauts al-A’zham” berulang-ulang disebutkan.
Dalam menyikapi hal ini al Imam Abu al-Huda ash-Shayyadi, salah seorang khalifah terkemuka dalam tarekat ar-Rifa’iyyah, berkata:
“Telah dinisbatkan kepada wali yang agung; Abu Shâlih Muhyiddin as-Sayyid al-Syaikh Abd al-Qadir al-Jailani --semoga Allah meridlainya-- beberapa pernyataan dusta yang bukan dari ucapannya. Kalimat-kalimat tersebut tidak dinukil dengan sanad yang benar darinya. Seperti kalimat dusta yang mereka sebut dengan “al-Ghautsiyyah”. Sesungguhnya beliau --semoga rahmat Allah selalu tercurah padanya-- jauh dari kalimat-kalimat tersebut dan terbebas darinya”[2].
3. Kebohongan-kebohongan yang dinisbatkan kepada Syaikh Abd al-Qadir sengaja disisipkan oleh kaum Musyabbihah yang mengaku madzhab Hanbali ke dalam kitab karya beliau sendiri; al-Ghunyah. Supaya dianggap bahwa akidah madzhab Hanbali adalah akidah tasybîh, seperti akidah yang mereka yakini. Juga supaya dianggap bahwa Syaikh Abd al-Qadir berakidah tasybîh seperti mereka, karena Syaikh Abd al-Qadir dalam fiqih mengikuti madzhab Hanbali. Di antara kedustaan tersebut adalah bahwa Allah bersemayam di langit[3]. Keyakinan semacam ini jelas menyalahi akidah Ahlussunnah yang telah menetapkan bahwa Allah adan tanpa tempat dan tanpa arah.
Apa yang disisipkan kaum Musyabbihah dalam kitab al-Ghunyah ini jelas merupakan kedustaan. Seorang awam dari kaum muslimin yang berakidah lurus tidak akan berkeyakinan sesat semacam ini, terlebih Syaikh Abd al-Qadir yang merupakan pemuka kaum sufi dan salah seorang ulama terkemuka. Beliau bukan seorang yang bodoh yang tidak mengenal sifat-sifat wajib pada Allah; yang salah satunya Mukhâlafah Li al-hawâdits.
Allah berfirman:
وَلِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ (النجم: 31)
“Dan bagi Allah segala sesuatu yang ada di langit-langit dan di bumi”. (QS. Al-Najm: 31)
Ayat ini memberikan penjelasan kepada kita bahwa langit dengan segala isinya serta bumi dengan segala isinya adalah makhluk Allah. Maka bagaimana mungkin Allah membutuhkan kepada makhluk-Nya tersebut?! Langit dan bumi adalah makhluk Allah, keduanya memiliki permulaan, artinya ada dari tidak ada. Sementara wujud Allah azali; tidak memiliki permulaan dan Abadi; tidak memiliki penghabisan. Artinya mustahil bagi Allah yang sebelum menciptakan langit dan bumi serta tidak membutuhkan kepada keduanya kemudian setelah menciptakan keduanya berubah menjadi membutuhkan kepada keduanya!! Kaum Musyabbihah pasti tidak akan bisa menjawab bila dikatakan kepada mereka kelak apa bila nanti langit dan bumi punah, adakah Allah masih membutuhkan tempat? Lantas di mana? Dan jika kemudian berubah tidak membutuhkan, bukankah perubahan adalah tanda yang paling jelas dari sesuatu yang baharu (makhluk)?! Inilah di antara tanda-tanda kesesatan orang-orang Musyabbihah.
Kaum Musyabbihah, dalam kitab al-Ghunyah di atas juga menyisipkan kesesatan lain terhadap Syaikh’Abd al-Qâdir. Dalam kitab tersebut mereka menuliskan bahwa huruf-huruf al-Qur’an adalah qadîm; tidak memiliki permulaan[4]. Pada bagian lain mereka juga menuliskan bahwa Allah mengeluarkan suara yang mirip dengan suara halilintar[5]. Tulisan ini jelas bukan keyakinan Syaikh Abd al-Qadir yang notabene seorang sunni. Dalam akidah Ahlussunnah telah ditetapkan bahwa tidak ada suatu apapun yang qadîm selain Allah. Huruf-huruf, suara dan bahasa jelas merupakan makhluk Allah. Dengan demikian maka sifat kalam Allah bukan berupa huruf, suara maupun bahasa.
Adapun al-Qur’an; kitab berisikan tulisan atau huruf-huruf dalam bahasa arab Arab, disebut kalam Allah bukan berarti Allah mengeluarkan kalimat-kalimat tersebut. Tapi al-Qur’an yang sudah berbentuk kitab tersebut adalah sebagai ungkapan (‘Ibârah) dari sifat kalam Allah atau dari al-Kalâm al-Dzâti. Al-Qur’an dibawa malaikat Jibrîl dari Allah bukan berarti Jibrîl berhadap-hadapan dengan Allah, dan Allah mengeluarkan huruf-huruf atau suara-suara yang kemudian dibawakan Jibrîl kepada Rasulullah. Karena bila Allah mengeluarkan huruf, suara dan bahasa maka tak ubahnya seperti manusia. Yang benar ialah bahwa malaikat Jibrîl diperintah oleh Allah untuk mengambil bacaan-bacaan al-Qur’an tersebut dari al-Lauh al-Mahfûzh yang telah tertulis demikian adanya dan kemudian dibawakannya kepada Rasulullah. Dalil bagi hal ini adalah firman Allah:
إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ (الحاقة: 40)
“Sesungguhnya ia benar-benar bacaan utusan yang mulia” (QS. Al-Haqqah: 40)
Yang dimaksud dengan ayat ini tidak lain adalah malaikat Jibrîl, sebagaimana telah disepakati para ahli tafsir. Artinya al-Qur’an yang sekarang kita baca dan tersusun dari huruf-huruf adalah sesuatu yang dibacakan malaikat Jibrîl kepada Rasulullah[6].
Di antara yang dapat membatalkan apa yang dinisbatkan kaum Musyabbihah kepada Syaikh Abd al-Qadir di atas adalah sebuah kisah yang benar adanya dari beliau sendiri. Suatu ketika, Syaikh Abd al-Qadir dalam khlawatnya didatangi Iblis dalam bentuk cahaya yang indah. Iblis berkata: Wahai hambaku, wahai Abd al-Qâdir, aku adalah tuhanmu, aku halalkan bagimu segala sesuatu yang telah aku diharamkan dan aku gugurkan darimu segala sesuatu yang telah aku wajibkan. Maka berbuatlah sekehendakmu karena aku telah megampuni segala dosamu baik yang telah lalu maupun yang akan datang…!!. Syaikh Abd al-Qadir tanpa ragu kemudian menjawab: Terlaknat wahai engkau Iblis…!!. Dalam pada ini Syaikh Abd al-Qadir tahu bahwa yang berbicara tersebut adalah Iblis. Karena Allah bukan cahaya atau sinar, Allah ada tanpa tempat, Allah tidak berkata-kata dengan suara dan huruf, dan Allah tidak akan menghalalkan sesuatu yang diharamkannya[7].
Asy-Syibli, dalam menerangkan makna ma’rifat berkata: “Dialah Allah yang Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia Allah ada sebelum adanya segala benda dan huruf-huruf. Dzat Allah bukan benda dan kalam-Nya bukan huruf-huruf”.[8]
4. Cerita-cerita yang dinisbatkan kepada Syaikh Abd al-Qadir yang dimuat dalam kitab Bahjah al-Asrâr Wa Mâ’din al-Anwâr adalah kedustaan-kedustaan belaka. Kitab ini ditulis oleh ‘Ali asy-Syathnufi al-Mishri dengan rangkaian-rangkaian sanad yang tidak benar, sebagaimana penilaian sanad ini dinyatakan oleh Imam Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitab ad-Durar al-Kâminah[9]. ‘Ali asy-Syathnufi sengaja membuat rangkaian-rangkain sanad palsu tersebut untuk menjual cerita-cerita hingga laku di khalayak kaum muslimin[10].
Di antara kedustaan yang dinisbatkan kepada Syaikh Abd al-Qadir dalam kitab Bahjah al-Asrâr di atas adalah pernyataan “Telapak kakiku ini berada di atas leher seluruh wali Allah”. Pernyataan semacam ini jelas bersebrangan dengan sifat-sifat para wali Allah yang dikenal sebagai kaum yang sangat tawadlu dan mengutamakan al-khumûl serta menghindari kesenangan-kesenangan duniawi. Syaikh Sirajuddin al-Makhzûmi dalam kitab Shihâh al-Akhbâr Fi Nasab al-Sâdâh al-Fâthimiyyah al-Akhyâr menyatakan bahwa pernyataan di atas jelas-jelas sebuah kedustaan yang dinisbatkan kepada Syaikh Abd al-Qadir. Dalam kitab tersebut, Syaikh Sirajuddin juga menyebutkan siapa orang yang sengaja membuat penisbatan pernyataan itu kepada al-Jailani[11].
Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda di hadapan beberapa orang sahabatnya:
إنّ التّوَاضُعَ أفْضَلُ الْعِبَادَةِ (رَوَاهُ ابْنُ حَجَر فِي الآمَالِي)
“Sesungguhnya sikap tawadlu adalah ibadah yang paling utama”. (HR. Ibn Hajar dalam al-Âmâli al-Mishriyyah).
Rasulullah mengucapkan hadits ini di hadapan para sahabatnya bukan berarti mereka orang-orang yang tidak tawadlu. Kebanyakan para sahabat, terlebih para sahabat terkemuka beliau (Kibâr al-Shahâbah) adalah orang-orang yang tawadlu. Hadits hendak ini memberikan penjelasan kepada kita bahwa sikap tawadlu adalah sikap yang sangat terpuji. Sementara kebalikannya, yaitu sikap takabur, sombong dan riya’ adalah sifat-sifat tercela. Sikap tawadlu inilah yang selalu diteladani seluruh para wali Allah, termasuk oleh Syaikh Abd al-Qadir. Bahkan dalam beberapa kesempatan Syaikh Abd al-Qadir menyatakan bahwa derajat ketaqwaan dan kewalian tidak lain salah satunya diraih dengan sifat tawadlu dan lapang dada (Salâmah al-Shadr). Artinya, perkataan “Telapak kakiku ini berada di atas leher seluruh wali Allah” jelas memberikan pemahaman kesombongan. Kalimat semacam ini bagaiman mungkin dinyatakan Syaikh Abd al-Qadir yang menjunjung sifat-sifat tawadlu’?!
al Imam Abu al-Huda ash-Shayyadi berkata:
“Adapun apa yang tertulis dalam kitab Bahjah al-Asrâr karya asy-Syathnufi tentang manâqib Syaikh Abd al-Qadir yang memuat hikayat-hikayat dan riwayat-riwayat maudlû’ (palsu), hal ini telah dinilai oleh para pemuka sufi sendiri. Di antara mereka ada yang menilai bahwa asy-Syathnufi sengaja membuat kedustaan-kedustaan tersebut dengan tujuan-tujuan pribadi. Penilaian ini di antaranya dari Ibn Rajab al-Hanbali dalam Thabaqât al-Hanâbilah dalam penulisan biografi Syaikh Abd al-Qadir. Sebagian sufi lain mengatakan bahwa asy-Syathnufi adalah seorang pembuat cerita-cerita dusta. Mereka menyatakan bahwa asy-Syathnufi tidak tahu apa-apa, ia selalu mengambil cerita-cerita apapun, baik yang benar maupun yang tidak benar”[12].
Selanjutnya Syaikh ash-Shayyadi berkata:
“Adapun yang ia tulis dalam Bahjah al-Asrâr dengan rangkaian sanad yang dinisbatakan kepada Syaikh Abd al-Qadir tentang kata-kata “telapak kakiku ini berada di atas leher seluruh wali Allah”, para ulama telah berselisih pendapat padanya. Pendapat al-Hâfizh Ibn Rajab al-Hanbali, al-Imâm al-‘Izz al-Fârutsi asy-Syafi’i, adz-Dzahabi, al-Taqy al-Wasithi, Ibn Katsîr dan mayoritas ulama terkemuka lainnya mengingkari kata-kata tersebut dan menafikannya sebagai pernyataan Syaikh Abd al-Qadir. Mereka mengatakan bahwa kata-kata tersebut adalah di antara kedustaan-kedustaan yang dibuat al-Syathnufi, di nama hal tersebut dirangkai dengan sanad yang tidak bisa dijadikan sandaran”[13].
Masih dalam kitab Bahjah al-Asrâr, di dalamnya juga tertulis: “Ketahuilah oleh kalian sesungguhnya amal ibadah kalian tidak masuk ke dalam bumi tapi naik ke langit, dengan dalil firman Allah: “Ilayhi Yash’ad al-Kalim al-Thayyib Wa al-‘Amal al-Shâlih Yarfa’uh…”, maka Tuhan kita berada di arah atas, Dia bersemayam di atas ‘arsy…”. Tulisan ini tanpa kita ragukan adalah karya orang-orang Musyabbihah-Mujassimah. Merekalah yang merusak madzhab Hanbali dengan keyakinan sesat semacam ini. Kaum Musyabbihah dan Mujassimah tersebut tidak hanya mengotori madzhab Hanbali tapi juga memalsukan perkataan-perkataan para ulama Hanâbilah seperti Syaikh Abd al-Qadir yang notabene seorang sunni bermadzhab Hanbali. Dalam pada ini asy-Sya’rani mengatakan bahwa apa yang tertulis dalam Bahjah al-Asrâr tersebut adalah sisipan dan kepalsuan dari tangan-tangan orang yang tidak bertanggung jawab. Adakah seorang wali Allah, seorang yang ‘arif dan alim berkeyakinan semacam ini?![14].
5. Pernyataan beberapa orang yang menisbatkan dirinya kepada tarekat al-Qadiriyyah mengatakan bahwa seorang mursyid akan terpelihara dari segala kesalahan. Karenanya setiap ucapan dan tingkah laku seorang mursyid hendaklah menjadi panutan tanpa harus dibantah sedikitpun. Dalam pada ini sebagian mereka dalam menggambarkan Syaikh Abd al-Qadir membuat sya’ir berbunyi:
إنّ لِشَيْخِيْ تَسْعَةً وَتِسْعِيْنَ اسْمًا # كَسُمَى ذِي الْجَلاَلِ فِي اسْتِجَابِ الدّعَاءِ
“Sesungguhnya Syaikhku memiliki 99 nama, seperti nama Allah “Dzu al-Jalal” dalam mengabulkan setiap doa”.
Artinya menurut penulis bait syair ini Syaikh Abd al-Qadir memiliki 99 nama seperti 99 nama Allah yang salah satunya mengabulkan doa-doa para hamba. Kandungan bait ini jelas berisikan tasybîh; penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya dan benar-benar merupakan kesesatan dan kekufuran.
Syaikh Abd al-Qadir dan para wali Allah lainnya tidak akan mengatakan bahwa seorang wali Allah atau seorang mursyid selalu terpelihara dari kesalahan. Ini dapat kita lihat dari pernyataan beliau sendiri dalam kitab Âdâb al-Murîd:
إذَا عَلِمَ الْمُرِيْدُ مِنْ الشّيْخِ خَطَأً فَلْيُنَبِّهْهُ، فَإنْ رَجَعَ فَذَاكَ الأمْرُ وَإلاّ فَلْيَتْرُكْ خَطَأَهُ وَلْيَتْبَعِ الشّرْعَ
“Jika seorang murid mengetahui suatu kesalahan dari Syaikhnya maka ingatkanlah ia. Jika Syaikhnya tersebut kembali dari kesalahannya maka itulah yang diharapkan -ia dapat tetap bersamanya-. Namun bila Syaikh-nya tersebut tidak mau kembali maka tinggalkanlah kesalahannya dan ikutilah syara’”.
Simak pula perkataan Imam Ahmad ar-Rifa’i al-Kabir:
سَلِّمْ لِلْقَوْمِ أحْوَالُهُمْ مَا لَمْ يُخَالِفُوا الشّرْعَ فَإنْ خَالَفُوا الشّرْعَ فَكُنْ مَعَ الشّرْع
“Jangan engkau hirauhkan kaum sufi terhadap keadaan apapun yang ada pada diri mereka selama mereka tidak menyalahi syara’, namun jika mereka menyalahi syara’ maka ikutilah syara’ -jangan mengikuti mereka-”.
Dari beberapa pernyataan para ulama di atas dapat dipahami bahwa tidak seorang manusiapun yang dapat terbebas dari kesalahan dalam urusan agama, baik kesalahan kecil maupun besar. Inilah yang dimaksud dengan hadits nabi:
مَا مِنْكُمْ مِنْ أحَدٍ إلاّ يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ وَيُتْرَكْ غَيْرَ رَسُوْلِ اللهِ
“Tidak seorangpun dari kalian, kecuali setiap ucapannya ada kemungkinan benar dan ada kemungkinan salah, selain Rasulullah; selalu benar”.
Dari pemahaman hadits ini dapat diambil kesimpulan bahwa seluruh manusia, dari mulai para sahabat nabi hingga mereka yang hidup di masa sekarang ini, tidak dapat menghindarkan diri dari kemungkinan berbuat kesalahan dalam urusan agama. Kecuali Rasulullah, ia dijaga oleh Allah dari kemungkinan kesalahan tersebut. Contoh paling kongkrit, yang hal ini dijadikan alasan kuat oleh para ulama, adalah bahwa beberapa sahabat Rasulullah yang telah diberi kabar gembira akan masuk surga, jatuh dalam kesalahan. Namun hal ini tidak menafikan keutaman dan derajat mereka. Para sahabat tersebut adalah tokoh-tokoh tertinggi dalam derajat kewalian, artinya jauh lebih utama dari para wali Allah yang datang di kemudian hari.
Seperti sahabat Umar ibn al-Khaththab, seorang sahabat nabi yang dinyatakan oleh nabi sendiri selalu mendapat ilham dan memiliki firasat yang sangat kuat (nabi menyebutnya dengan muhaddats)[15]. Suatu hari ia berkata di hadapan para sahabat lain: “Wahai sekalian manusia, janganlah kalian membuat harga yang terlalu mahal dalam urusan mas kawin, jika datang kepadaku berita seseorang yang melebihkan mas kawinnya di atas 400 dirham maka aku akan mengambilnya dan aku letakan di bait al-mâl (kas negara)”. Tiba tiba seorang perempuan berkata: “Wahai Amîrul Mu’minîn engkau tidak berhak melakukan itu. Allah berfirman: “Dan bila kalian telah memberikan mas kawin kepada mereka, maka janganlah kalian ambil darinya sedikitpun” QS. Al-Nisa’: 20. Kemudian sahabat Umar naik kembali ke mimbar, seraya berkata di hadapan kaum muslimin: “Wahai manusia aku serahkan kepada kalian tentang harga-harga mas kawin kalian, perempuan ini benar dalam pendapatnya dan Umar telah salah”.
Demikian pula yang terjadi di kalangan para ulama. Kemungkinan kesalahan dalam memberikan fatwa adalah keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Dan bila salah seorang dari mereka terjatuh dalam kesalahan, maka klaim salah dari ulama yang lebih kuat pendapatnya adalah hal yang biasa terjadi. Karenanya, Imam al-Haramain dalam beberapa kitabnya seringkali menulis: “Ayahku berkata demikian, dan ini salah!!”. Padahal ayah beliau, bernama Abdullah ibn Yusuf yang dikenal dengan sebutan Imam al-Juwaini, adalah seorang ulama terkemuka di kalangan madzhab Syafi’i. Bahkan, karena sangat agungnya keilmuan Imam al-Juwaini, sebagian ulama berkata jika setelah nabi Muhammad ada lagi seorang nabi maka al-Juwaini inilah yang berhak atas kenabian tersebut.
Dengan demikian pernyataan sebagain pengikut tarekat bahwa seorang mursyid selalu terpelihara dari segala kesalahan adalah sebuah kesesatan belaka. Pernyataan mereka ini jelas tanpa didasarkan kepada ilmu agama. Seperti sebagian mereka yang berkata bahwa seorang syeikh atau mursid mengetahui segala sesuatu yang diperbuat oleh muridnya, sekalipun mursid tersebut sedang di tempat tidurnya. Sebagian lainnya berkata bahwa seorang mursid mengetahui hal-hal yang gaib dan mengetahui segala sesuatu yang terlintas di dalam benak setiap muridnya. Na’udzu Billâh.
6. Sebagian pengikut tarekat al-Qadiriyyah, juga beberapa pengikut tarekat lainnya beranggapan bahwa bergabung dalam komunitas tarekat adalah suatu kewajiban. Pernyataan semacam ini jelas merupakan kesesatan. Ini sama juga dengan mewajibkan suatu perkara yang tidak wajib dalam Islam.
Benar, para ulama menyatakan bahwa tarekat adalah suatu yang baik. Walapun ia merupakan bid’ah atau sesuatu yang baharu; karena tidak pernah ada pada masa Rasulullah dan masa sahabatnya, namun ia merupakan bid’ah hasanah atau bid’ah yang baik. Tujuan utama dari dirintisnya tarekat oleh para ulama sufi dan orang-orang saleh terdahulu adalah untuk mendorong meningkatkan nilai takwa kepada Allah. Para ulama empat madzhab sepakat bahwa bid’ah atau sesuatu yang baharu yang tidak ada di masa Rasulullah dan para sahabatnya terbagi kepada dua bagian.
Pertama; Bid’ah hasanah atau bid’ah yang baik, yaitu seuatu yang baharu yang sejalan dengan tuntunan al-Qur’an dan sunnah. Kedua; Bid’ah sayyi’ah atau bid’ah yang bersebrangan dengan tuntunan al-Qur’an dan sunnah. Dalil yang menguatkan adanya pembagian bid’ah kepada dua bagian ini adalah sabda Rasulullah:
مَنْ سَنَّ فِي اْلإسْلاَمِ سُنّةً حَسَنَةً فَلَهُ أجْرُهَا وَأجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أنْ يَنْقُصَ مِنْ أجُوْرِهِمْ شَىءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الإسْلاَمِ سُنّةً سَيّئَةً فَعَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ مِنْ بَعْدِهِ بِهَا مِنْ غَيْرِ أنْ يَنْقُصَ مِنْ أوْزَارِهِمْ شَىءٌ (رَوَاهُ مُسْلِم).
“Barang siapa merintis dalam Islam akan suatu yang baik, maka bagi orang tersebut pahala dari apa yang ia perbuat dan pahala dari orang-orang yang mengikutinya sesudahnya, dengan tanpa berkurang sedikitpun dari pahala orang-orang tersebut. Dan barang siapa merintis dalam Islam sesuatu yang buruk, maka bagi orang tersebut dosa dari apa yang ia perbuat dan dosa dari orang-orang yang mengikutinya sesudahnya, dengan tanpa berkurang sedikitpun dari dosa orang-orang tersebut” (HR. Muslim dalam Shahih-nya).
Contoh dari bid’ah hasanah sangat banyak, seperti; pembuatan titik-titik pada huruf huruf al-Qur’an dan harakat i’râb-nya, merayakan peringatan maulid nabi Muhammad, membuat mihrab-mihrab masjid dan lainnya. Termasuk dalam bid’ah hasanah ini adalah tarekat-tarekat yang dirintis oleh para wali Allah dan orang-orang saleh.
Dengan demikian kita tidak meragukan bahwa tarekat-tarekat seperti al-Qadiriyyah, an-Naqsyabandiyyah, ar-Rifa’iyyah, as-Suhrawardiyyah, al-Jistiyyah, as-Sa’diyyah, asy-Syadziliyyah, al-Badawiyyah, ad-Dasuqiyyah, al-Maulawiyyah dan berbagai tarekat lainnya, tujuan dirintisnya adalah sesuatu yang baik dan masuk dalam pengertian bid’ah hasanah. Mereka yang merintis tarekat-tarekat tersebut adalah orang-orang saleh, ahli ilmu dan amal yang konsisten dalam menjalankan syari’at Rasulullah. Bila kemudian di belakang hari tarekat-tarekat tersebut dimasuki kesesatan-kesesatan maka hal itu tidak merusak asal kebolehan tarekat itu sendiri, hanya saja tentu yang harus dipermasalahkan sekaligus disingkirkan adalah penyimpangan-penyimpanganya, bukan tarekatnya.
Bergabung dengan salah satu tarekat yang ada bukan suatu kewajiban. Sebagian mereka yang mewajibkannya adalah pernyataan tanpa dasar. Pada hakekatnya, komitmen yang dituntut dari setiap orang muslim adalah agar selalu bertakwa, berpegang teguh dengan ajaran-ajaran Islam, yaitu dengan mengerjakan segala yang diwajibkan dan menjauhi segala yang dilarang. Sementara itu, tarekat yang berisikan bacaan-bacaan dzikir dengan ditambah janji atau berbaiat kepada seorang mursyid untuk memegang teguh syari’at Islam tujuan utamanya adalah meningkatkan kualitas takwa. Artinya, tanpa bergabung dengan tarekat atau tidak, komitmen awal yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya kepada setiap hamba muslim adalah agar selalu menjaga nilai takwa dan meningkatkan kualitasnya dalam berbagai keadaan dan tempat. Kemudian bila dinyatakan bergabung dengan tarekat merupakan kewajiban, berarti sekian banyak orang dari sebelum bermunculannya tarekat-tarekat tersebut adalah orang-orang yang berdosa. Jelas, klaim semacam ini tanpa dasar.
Di dalam beberapa kitab tulisan para ulama pengikut tarekat al-Naqsyabandiyyah dan para ulama lainnya telah dijelaskan bahwa bergabung dengan tarekat bukan merupakan kewajiban. Di antaranya dalam kitab al-Sa’âdah al-Abadiyyah Fimâ Jâ’a Bihi an-Naqsyabandiyyah karya Syaikh Abd al-Majid Ibn Muhammad al-Khani al-Khalidi an-Naqsyabandi dan kitab al-Hadîqah an-Nadiyyah Wa al-Bahjah al-Khâlidiyyah karya Syaikh al-‘Allâmah Muhammad Ibn Sulaiman al-Baghdadi al-Hanafi; salah seorang khalifah tarekat an-Naqsyabandiyyah. Dalam kitab yang terakhir disebut dinyatakan bahwa Ibn Hajar menyebutkan dalam kumpulan fatwa-fatwa besarnya beberapa gambaran dari tatacara mengambilan janji oleh para Syaikh dari tangan seorang yang bertaubat, serta disebutkan pula bahwa mengambil janji di hadapan seorang mursyid atau di atas tangan seorang Syaikh yang saleh adalah sesuatu yang baik dan dicintai[16].
********************** (( catatan kaki )) ************************
[1] Kandungan bait pertama juga dikutip dalam beberapa kitab, seperti Raudl al-Rayyâhîn. Lihat bantahan penisbatan dua bait syait ini dalam karya al Imam al-Habasyi, al-Tahdzîr al-Syar’i…, h. 24-25
(Faedah): Di antara kesesatan Ibn Taimiyah yang menjadi sorotan para ulama di masanya hingga sekarang dan di anggap telah menyalahi ijma’ adalah pernyataannya bahwa neraka akan punah. Pendapat Ibn Taimiyah ini selain ia ungkapkan dalam karyanya sendiri (Lihat karya Ibn Taimiyah berjudul ar-Radd ‘Alâ Man Qâl Bi Fanâ’ al-Jannah Wa an-Nâr, h. 67), demikian pula dikutip oleh muridnya sendiri, yaitu Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah dalam karyanya berjudul Hâdî al-Arwâh Ilâ Bilâd al-Afrâ, h, h. 579 dan 582, dan diikutinya.
Yang sangat mengherankan, kaum Wahhabiyyah merasa bangga dengan keyakinan batil Ibn Taimiyah ini, bahkan sebagian dari mereka menulis sebuah buku dengan judul al-Qaul al-Mukhtâr Li Bayân Fanâ’ an-Nâr. Lihat Mathba’ah Safir Cet. 1, Riyadl th. 1412 H. Artinya, menurut kaum Wahhabiyyah, sebagaimana hal ini ajaran Ibn Taimiyah, bahwa seluruh orang kafir dan orang musyrik akan keluar dari neraka, maka orang-orang semacam Abu Lahab, Abu Jahal, Musailamah al-Kadzdzab yang mengaku nabi setelah Rasulullah wafat, Fir’aun yang mengaku tuhan, orang-orang Yahudi yang membunuh para nabi Allah, serta orang-orang kafir lainnya, mereka semua akan keluar dari neraka. Kita katakan; Lalu di manakah kemudian tempat orang-orang kafir tersebut?! Apakah mereka pindah masuk ke surga?! Na’ûdzu Billâh. Sementara di akhirat tidak ada tempat ke tiga selain surga dan neraka! Apa yang diyakini Ibn Taimiyah dan orang-orang Wahhabiyyah ini adalah jelas telah menyalahi sesuatu yang Ma’lûm Min ad-Dîn Bi adl-Dlarûrah, dan itu merupakan kesesatan nyata.
Cukup untuk mengetahui kesesatan keyakinan Ibn Taimiyah tentang ini adalah risalah yang telah ditulis oleh seorang ulama besar yang hidup semasa dengan Ibn Taimiyah sendiri, yaitu Syaikh al-Islâm al-Hâfizh al-Lughawi al-Mufassir al-Mujtahid, seorang ulama agung di masanya yang telah mencapi derajat mujtahid mutlak; al-Imâm Taqiyyuddin as-Subki. Beliau telah menulis berbagai risalah dalam bantahan kepada Ibn Taimiyah, di antaranya al-I’tibâr Bi Baqâ’ al-Jannah Wa al-Nâr, al-Durrah al-Mudliyyah Fi al-Radd ‘Alâ Ibn Taimiyah, dan lainnya. Lebih komprehensif tentang kajian kesesatan Ibn Taimiyah lihat al-Hâfizh al-Habasyi, al-Maqâlât as-Sunniyyah Fi Kasyf Dlalâlât Ibn Taimiyah, Dar al-Masyari’, Bairut.
[2] Lihat al Imam al-Habasyi, al-Tahdzîr al-Syar’i…, h. 24, mengutip dari Abu al-Huda ash-Shayyadi, ath-Tharîqah ar-Rifa’iyyah, h. 58-59
[3] al Imam al-Jilani, al-Gunyah…, h. 94 dan 97
[4] Ibid, h. 103
[5] Ibid.
[6] Perdebatan tentang kalam Allah atau al-Qur’an di antara beberapa firqah dalam Islam telah menyita banyak perhatian. Dalam satu pendapat bahkan disebutkan bahwa asal penamaan ilmu tauhid menjadi ilmu kalam merujuk kepada masalah kalam Allah. Secara garis besar, dalam masalah kalam Allah ini terbagi kepada tiga kelompok. Dua kelompok ekstrim sama sesatnya; 180 derajat saling bertentangan. Dan satu kelompok moderat yang haq, di tangah-tengah antara keduanya, ialah Ahlussunnah wal Jama’ah. Dua kelompok ekstrim tersebut, pertama; kaum Mu’tazilah, berpendapat bahwa Allah tidak memiliki sifat-sifat termasuk sifat Kalam. Mereka berkesimpulan bahwa al-Qur’an makhluk. Kelompok ekstrim kedua; Musyabbihah, berpendapat bahwa huruf-huruf yang tersusun dalam kitab al-Qur’an adalah qadîm. Mereka berkesimpulan bahwa Allah mengeluarkan huruf-huruf dan bahasa. Keyakinan kedua ini adalah keyakinan yang ambil kaum Wahhabiyyah sekarang.
Adapun menurut pendapat Ahlussunnah, al-Qur’an atau kalam Allah memiliki dua pemaknaan. Jika yang dimaksud dengan al-Qur’an adalah al-Kalâm al-Dzâti atau sifat Kalam Allah maka ia bukan berupa huruf, suara dan bukan bahasa. Dalam pengertian ini jelas ia sesuatu yang qadîm. Tapi jika yang dimaksud al-Qur’an adalah yang lafazh-lafazh yang diturunkan, dibawa malaikat Jibrîl, tersusun dari huruf-huruf, tertulis di atas lembaran-lembaran dengan tinta dan dibaca dengan lidah, maka jelas ia sesuatu yang baharu (hâdits). Al-Qur’an dalam pengertian terakhir ini adalah merupakan ungkapan (‘Ibarah) dari al-Kalâm al-Dzâti. Kesimpulannya tidak boleh diucapkan: “al-Qur’an makhluk”, karena al-Qur’an bukan buatan malaikat Jibrîl atau Nabi Muhammad. Juga dikhawatirkan bagi orang mendengar ucapan tersebut berkesimpulan bahwa al-Qur’an benar-benar makhluk, padahal al-Qur’an memiliki dua pemaknaan sebagaimana penjelasan di atas. Penjelasan lebih luas lihat kitab-kitab Ahlussunnah dalam pembahasan terkait. Seperti al-Habasyi, dalam kitabnya Idlhâr al-‘Aqîdah as-Sunniyyah Bi Syarh al-‘Aqîdah ath-Thahâwiyyah, h. 84-123 dan kitab ad-Durrah al-Bahiyyah, h. 40-42, juga dalam kitabnya al-MaThalib al-Wafiyyah Bi Syarh al-‘Akidah an-Nasafiyyah, h. 72-79, al-Baijuri dalam Tuhfah al-Murîd Syarh Jauhar al-Tauhîd, h. 55-56, al-Ghazali dalam al-Arba’în Fi Ushûl al-Dîn, h. 17, dan dalam banyak kitab lainnya
[7] Lihat asy-Sya’rani, ath-Thabaqât…, j. 1, h. 218
[8] Al-Qusyairi, ar-Risâlah…, h. 41
[9] Lihat al-Asqalani, ad-Durar al-Kâminah, j. 4, h. 216. Beliau mengatakan bahwa sanad yang ditulis al-Syathnufi dalam Bahjah al-Asrâr adalah sanad yang tidak benar dari Syaikh Abd al-Qadir.
[10] al Imam al-Habasyi dengan tegas membongkar cerita-cerita palsu yang dinisbatkan kepada Syaikh Abd al-Qâdir tersebut. Lihat al-Habasyi, al-Tahdzîr al-Syar’i…, h. 22
[11] Lihat al Imam al-Habasyi, al-Tahdzîr al-Syar’i…, h. 25, mengutip dari Shihâh al-Akhbâr Fi Nasab as-Sâdah al-Fâthimiyyah al-Akhyâr, h. 128
[12] Lihat al Imam al-Habasyi, al-Tahdzîr al-Syar’i…, h. 26, mengutip dari Abu al-Huda ash-Shayyadi, ath-Tharîqah ar-Rifa’iyyah, h. 59
[13] Ibid.
[14] Lihat asy-Sya’rani, al-Yawâqît…, j. 1, h. 66. Makna firman Allah QS. Fathir: 10 di atas tidak menunjukkan bahwa Allah berada di arah atas. Sebab bila ayat mutasyâbihât ini diambil makna zhahirnya maka akan bertentangan dengan ayat mutasyâbihât yang lain yang zhahirnya memberikan pemahaman seakan-akan Allah bertempat di bumi, seperti pada firman Allah QS. Al-Baqarah: 115, QS. Al-Hadid: 4, dan lainnya. Adapun makna yang benar dari firman Allah di atas ialah bahwa al-Kalim al-Thayyib (kalimat-kalimat yang baik); seperti Lâ Ilâha IllAllah naik ke tempat yang dimuliakan Allah, yaitu langit. -Artinya langit adalah tempat kemuliaan dan rahmat Allah, karena dari langit turun rizki-rizki bagi para hamba-Nya-. Dan makna “Wa al-‘Amal al-Shâlih Yarfa’uh” artinya setiap amalan yang saleh diterimanya. Lihat al-Habasyi, al-Shirât…, h. 47
[15] Di antara riwayat mashur menceritakan kekuatan firasat Umar sekaligus sebagai karamah beliau adalah kisah tentang salah seorang panglima perangnya yang bernama Sariyah ibn Zunaim, yang dikirim ke daerah Nahawand. Ketika tentara kaum muslimin yang di pimpin Sariyah ini terdesak dari serangan kaum kafir, pada saat yang sama Umar ibn al-Khaththab sedang menyempaikan khutbah di Madinah, tiba-tiba Umar berteriak dengan keras: “Wahai Sariyah, berlindunglah ke gunung… berlindunglah ke gunung…!!”. Setelah beberapa hari kemudian Sariyah dengan pasukannya pulang dalam keadaan selamat. Mereka bercerita bahwa saat mereka terdesak dari serangan kaum kafir, mereka mendengar teriakan Umar untuk berlindung di gunung-gunung. Hadits shahih riwayat al-Asqalani dalam al-Ishâbah Fî Tamyîz al-Shahâbah, j. 2, h. 3. Lihat pula biografi Umar ibn al-Khaththab dalam Hilyah al-Auliyâ’, karya Abu Nu’aim, j. 1, h. 38
[16] Lebih luas lihat al-Habasyi, Tahdzîr…, h. 146. Lihat pula at-Tasyarruf…, h. 151-153
al 'Arif Billah al 'Allamah asy Syaikh 'Utsman Sirajuddin Mursyid ath Thariqah an Naqsyabandiyyah al 'Aliyyah (Rahimahullah ta'ala)
1. Dalam sebuah kitab berjudul al-Fuyûdlât ar-Rabbâniyyah Fi Ma’âtsir ath-Tharîqah al-Qâdiriyyah yang ditulis oleh Isma’il al-Qadiri al-Kailani dimuat dua bait syair dan dinisbatkan secara dusta kepada Syaikh Abd al-Qadir. Bait pertama berbunyi:
كُلّ قُطْبٍ يَطُوْفُ بِالْبَيْتِ سَبْعًا # وَأنَا اْلبَيْتُ طَائِفٌ بِخِيَامِيْ
“Setiap wali Quthub melaksanakan tawaf di ka’bah tujuh kali putaran, adapun bagi saya justru ka’bah tersebut tawaf mengelilingi kemahku”.
Artinya, menurut penulis bait syair ini, ka’bah meninggalkan Mekah dan pergi ke Irak untuk melakukan tawaf di kemah Syaikh Abd al-Qadir. Ini jelas merupakan kedustaan, karena Allah menetapkan ka’bah pada tempatnya di Mekah untuk selalu dikelilingi dalam tawaf oleh seluruh kaum muslimin tanpa terkecuali, baik di waktu siang maupun malam. Rasulullah sendiri, pembawa syari’at dan makhluk Allah yang lebih tinggi derajatnya dari siapapun melakukan tawaf dengan mengelilingi ka’bah, bukan ka’bah mengelilingi Rasulullah.
Bait syair ke dua berbunyi:
لَوْ أنِّي ألْقَيْتُ سِرِّيْ عَلَى لَظَى # لَأُطْفِئَتِ النّيْرَانُ مِنْ عُظْمِ بُرْهَانِي
“Jika aku letakan rahasiahku di atas kobaran api neraka maka api neraka tersebut akan padam karena keagungan rahasiahku”.
Dalam bait kedua ini jelas berisikan penentangan terhadap teks-teks syari’at yang telah menetapkan bahwa surga dan neraka tidak akan pernah punah selamanya. Seorang muslim yang berakidah benar, bahkan seorang awam sekalipun berkeyakinan bahwa neraka tidak akan pernah padam selamanya. Bagaimana mungkin seorang alim besar seperti al-Jilani mengucapkan semacam bait syair di atas?![1].
2. Kedustaan lain yang juga dikutip dalam kitab al-Fuyûdlât ar-Rabbâniyyah di atas dan dinisbatkan kepada Syaikh Abd al-Qadir adalah apa yang disebut dengan al-Ghautsiyyah. Disebutkan dalam kitab tersebut seakan Allah mengajak berbicara kepada Syaikh Abd al-Qadir dengan mengatakan “Ya Ghauts al-A’zham (Wahai penolong yang agung)…! Akan terjadi perkara ini dan itu…!”. Dalam bagian lain disebutkan bahwa Allah berkata kepadanya “Ya Ghauts al-A’zham… (Wahai penolong yang agung) makanan orang-orang fakir (kaum sufi) adalah makanan-Ku, dan minuman mereka adalah minuman-Ku”. Dalam kitab tersebut lafazh “Ya Ghauts al-A’zham” berulang-ulang disebutkan.
Dalam menyikapi hal ini al Imam Abu al-Huda ash-Shayyadi, salah seorang khalifah terkemuka dalam tarekat ar-Rifa’iyyah, berkata:
“Telah dinisbatkan kepada wali yang agung; Abu Shâlih Muhyiddin as-Sayyid al-Syaikh Abd al-Qadir al-Jailani --semoga Allah meridlainya-- beberapa pernyataan dusta yang bukan dari ucapannya. Kalimat-kalimat tersebut tidak dinukil dengan sanad yang benar darinya. Seperti kalimat dusta yang mereka sebut dengan “al-Ghautsiyyah”. Sesungguhnya beliau --semoga rahmat Allah selalu tercurah padanya-- jauh dari kalimat-kalimat tersebut dan terbebas darinya”[2].
3. Kebohongan-kebohongan yang dinisbatkan kepada Syaikh Abd al-Qadir sengaja disisipkan oleh kaum Musyabbihah yang mengaku madzhab Hanbali ke dalam kitab karya beliau sendiri; al-Ghunyah. Supaya dianggap bahwa akidah madzhab Hanbali adalah akidah tasybîh, seperti akidah yang mereka yakini. Juga supaya dianggap bahwa Syaikh Abd al-Qadir berakidah tasybîh seperti mereka, karena Syaikh Abd al-Qadir dalam fiqih mengikuti madzhab Hanbali. Di antara kedustaan tersebut adalah bahwa Allah bersemayam di langit[3]. Keyakinan semacam ini jelas menyalahi akidah Ahlussunnah yang telah menetapkan bahwa Allah adan tanpa tempat dan tanpa arah.
Apa yang disisipkan kaum Musyabbihah dalam kitab al-Ghunyah ini jelas merupakan kedustaan. Seorang awam dari kaum muslimin yang berakidah lurus tidak akan berkeyakinan sesat semacam ini, terlebih Syaikh Abd al-Qadir yang merupakan pemuka kaum sufi dan salah seorang ulama terkemuka. Beliau bukan seorang yang bodoh yang tidak mengenal sifat-sifat wajib pada Allah; yang salah satunya Mukhâlafah Li al-hawâdits.
Allah berfirman:
وَلِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ (النجم: 31)
“Dan bagi Allah segala sesuatu yang ada di langit-langit dan di bumi”. (QS. Al-Najm: 31)
Ayat ini memberikan penjelasan kepada kita bahwa langit dengan segala isinya serta bumi dengan segala isinya adalah makhluk Allah. Maka bagaimana mungkin Allah membutuhkan kepada makhluk-Nya tersebut?! Langit dan bumi adalah makhluk Allah, keduanya memiliki permulaan, artinya ada dari tidak ada. Sementara wujud Allah azali; tidak memiliki permulaan dan Abadi; tidak memiliki penghabisan. Artinya mustahil bagi Allah yang sebelum menciptakan langit dan bumi serta tidak membutuhkan kepada keduanya kemudian setelah menciptakan keduanya berubah menjadi membutuhkan kepada keduanya!! Kaum Musyabbihah pasti tidak akan bisa menjawab bila dikatakan kepada mereka kelak apa bila nanti langit dan bumi punah, adakah Allah masih membutuhkan tempat? Lantas di mana? Dan jika kemudian berubah tidak membutuhkan, bukankah perubahan adalah tanda yang paling jelas dari sesuatu yang baharu (makhluk)?! Inilah di antara tanda-tanda kesesatan orang-orang Musyabbihah.
Kaum Musyabbihah, dalam kitab al-Ghunyah di atas juga menyisipkan kesesatan lain terhadap Syaikh’Abd al-Qâdir. Dalam kitab tersebut mereka menuliskan bahwa huruf-huruf al-Qur’an adalah qadîm; tidak memiliki permulaan[4]. Pada bagian lain mereka juga menuliskan bahwa Allah mengeluarkan suara yang mirip dengan suara halilintar[5]. Tulisan ini jelas bukan keyakinan Syaikh Abd al-Qadir yang notabene seorang sunni. Dalam akidah Ahlussunnah telah ditetapkan bahwa tidak ada suatu apapun yang qadîm selain Allah. Huruf-huruf, suara dan bahasa jelas merupakan makhluk Allah. Dengan demikian maka sifat kalam Allah bukan berupa huruf, suara maupun bahasa.
Adapun al-Qur’an; kitab berisikan tulisan atau huruf-huruf dalam bahasa arab Arab, disebut kalam Allah bukan berarti Allah mengeluarkan kalimat-kalimat tersebut. Tapi al-Qur’an yang sudah berbentuk kitab tersebut adalah sebagai ungkapan (‘Ibârah) dari sifat kalam Allah atau dari al-Kalâm al-Dzâti. Al-Qur’an dibawa malaikat Jibrîl dari Allah bukan berarti Jibrîl berhadap-hadapan dengan Allah, dan Allah mengeluarkan huruf-huruf atau suara-suara yang kemudian dibawakan Jibrîl kepada Rasulullah. Karena bila Allah mengeluarkan huruf, suara dan bahasa maka tak ubahnya seperti manusia. Yang benar ialah bahwa malaikat Jibrîl diperintah oleh Allah untuk mengambil bacaan-bacaan al-Qur’an tersebut dari al-Lauh al-Mahfûzh yang telah tertulis demikian adanya dan kemudian dibawakannya kepada Rasulullah. Dalil bagi hal ini adalah firman Allah:
إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ (الحاقة: 40)
“Sesungguhnya ia benar-benar bacaan utusan yang mulia” (QS. Al-Haqqah: 40)
Yang dimaksud dengan ayat ini tidak lain adalah malaikat Jibrîl, sebagaimana telah disepakati para ahli tafsir. Artinya al-Qur’an yang sekarang kita baca dan tersusun dari huruf-huruf adalah sesuatu yang dibacakan malaikat Jibrîl kepada Rasulullah[6].
Di antara yang dapat membatalkan apa yang dinisbatkan kaum Musyabbihah kepada Syaikh Abd al-Qadir di atas adalah sebuah kisah yang benar adanya dari beliau sendiri. Suatu ketika, Syaikh Abd al-Qadir dalam khlawatnya didatangi Iblis dalam bentuk cahaya yang indah. Iblis berkata: Wahai hambaku, wahai Abd al-Qâdir, aku adalah tuhanmu, aku halalkan bagimu segala sesuatu yang telah aku diharamkan dan aku gugurkan darimu segala sesuatu yang telah aku wajibkan. Maka berbuatlah sekehendakmu karena aku telah megampuni segala dosamu baik yang telah lalu maupun yang akan datang…!!. Syaikh Abd al-Qadir tanpa ragu kemudian menjawab: Terlaknat wahai engkau Iblis…!!. Dalam pada ini Syaikh Abd al-Qadir tahu bahwa yang berbicara tersebut adalah Iblis. Karena Allah bukan cahaya atau sinar, Allah ada tanpa tempat, Allah tidak berkata-kata dengan suara dan huruf, dan Allah tidak akan menghalalkan sesuatu yang diharamkannya[7].
Asy-Syibli, dalam menerangkan makna ma’rifat berkata: “Dialah Allah yang Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia Allah ada sebelum adanya segala benda dan huruf-huruf. Dzat Allah bukan benda dan kalam-Nya bukan huruf-huruf”.[8]
4. Cerita-cerita yang dinisbatkan kepada Syaikh Abd al-Qadir yang dimuat dalam kitab Bahjah al-Asrâr Wa Mâ’din al-Anwâr adalah kedustaan-kedustaan belaka. Kitab ini ditulis oleh ‘Ali asy-Syathnufi al-Mishri dengan rangkaian-rangkaian sanad yang tidak benar, sebagaimana penilaian sanad ini dinyatakan oleh Imam Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitab ad-Durar al-Kâminah[9]. ‘Ali asy-Syathnufi sengaja membuat rangkaian-rangkain sanad palsu tersebut untuk menjual cerita-cerita hingga laku di khalayak kaum muslimin[10].
Di antara kedustaan yang dinisbatkan kepada Syaikh Abd al-Qadir dalam kitab Bahjah al-Asrâr di atas adalah pernyataan “Telapak kakiku ini berada di atas leher seluruh wali Allah”. Pernyataan semacam ini jelas bersebrangan dengan sifat-sifat para wali Allah yang dikenal sebagai kaum yang sangat tawadlu dan mengutamakan al-khumûl serta menghindari kesenangan-kesenangan duniawi. Syaikh Sirajuddin al-Makhzûmi dalam kitab Shihâh al-Akhbâr Fi Nasab al-Sâdâh al-Fâthimiyyah al-Akhyâr menyatakan bahwa pernyataan di atas jelas-jelas sebuah kedustaan yang dinisbatkan kepada Syaikh Abd al-Qadir. Dalam kitab tersebut, Syaikh Sirajuddin juga menyebutkan siapa orang yang sengaja membuat penisbatan pernyataan itu kepada al-Jailani[11].
Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda di hadapan beberapa orang sahabatnya:
إنّ التّوَاضُعَ أفْضَلُ الْعِبَادَةِ (رَوَاهُ ابْنُ حَجَر فِي الآمَالِي)
“Sesungguhnya sikap tawadlu adalah ibadah yang paling utama”. (HR. Ibn Hajar dalam al-Âmâli al-Mishriyyah).
Rasulullah mengucapkan hadits ini di hadapan para sahabatnya bukan berarti mereka orang-orang yang tidak tawadlu. Kebanyakan para sahabat, terlebih para sahabat terkemuka beliau (Kibâr al-Shahâbah) adalah orang-orang yang tawadlu. Hadits hendak ini memberikan penjelasan kepada kita bahwa sikap tawadlu adalah sikap yang sangat terpuji. Sementara kebalikannya, yaitu sikap takabur, sombong dan riya’ adalah sifat-sifat tercela. Sikap tawadlu inilah yang selalu diteladani seluruh para wali Allah, termasuk oleh Syaikh Abd al-Qadir. Bahkan dalam beberapa kesempatan Syaikh Abd al-Qadir menyatakan bahwa derajat ketaqwaan dan kewalian tidak lain salah satunya diraih dengan sifat tawadlu dan lapang dada (Salâmah al-Shadr). Artinya, perkataan “Telapak kakiku ini berada di atas leher seluruh wali Allah” jelas memberikan pemahaman kesombongan. Kalimat semacam ini bagaiman mungkin dinyatakan Syaikh Abd al-Qadir yang menjunjung sifat-sifat tawadlu’?!
al Imam Abu al-Huda ash-Shayyadi berkata:
“Adapun apa yang tertulis dalam kitab Bahjah al-Asrâr karya asy-Syathnufi tentang manâqib Syaikh Abd al-Qadir yang memuat hikayat-hikayat dan riwayat-riwayat maudlû’ (palsu), hal ini telah dinilai oleh para pemuka sufi sendiri. Di antara mereka ada yang menilai bahwa asy-Syathnufi sengaja membuat kedustaan-kedustaan tersebut dengan tujuan-tujuan pribadi. Penilaian ini di antaranya dari Ibn Rajab al-Hanbali dalam Thabaqât al-Hanâbilah dalam penulisan biografi Syaikh Abd al-Qadir. Sebagian sufi lain mengatakan bahwa asy-Syathnufi adalah seorang pembuat cerita-cerita dusta. Mereka menyatakan bahwa asy-Syathnufi tidak tahu apa-apa, ia selalu mengambil cerita-cerita apapun, baik yang benar maupun yang tidak benar”[12].
Selanjutnya Syaikh ash-Shayyadi berkata:
“Adapun yang ia tulis dalam Bahjah al-Asrâr dengan rangkaian sanad yang dinisbatakan kepada Syaikh Abd al-Qadir tentang kata-kata “telapak kakiku ini berada di atas leher seluruh wali Allah”, para ulama telah berselisih pendapat padanya. Pendapat al-Hâfizh Ibn Rajab al-Hanbali, al-Imâm al-‘Izz al-Fârutsi asy-Syafi’i, adz-Dzahabi, al-Taqy al-Wasithi, Ibn Katsîr dan mayoritas ulama terkemuka lainnya mengingkari kata-kata tersebut dan menafikannya sebagai pernyataan Syaikh Abd al-Qadir. Mereka mengatakan bahwa kata-kata tersebut adalah di antara kedustaan-kedustaan yang dibuat al-Syathnufi, di nama hal tersebut dirangkai dengan sanad yang tidak bisa dijadikan sandaran”[13].
Masih dalam kitab Bahjah al-Asrâr, di dalamnya juga tertulis: “Ketahuilah oleh kalian sesungguhnya amal ibadah kalian tidak masuk ke dalam bumi tapi naik ke langit, dengan dalil firman Allah: “Ilayhi Yash’ad al-Kalim al-Thayyib Wa al-‘Amal al-Shâlih Yarfa’uh…”, maka Tuhan kita berada di arah atas, Dia bersemayam di atas ‘arsy…”. Tulisan ini tanpa kita ragukan adalah karya orang-orang Musyabbihah-Mujassimah. Merekalah yang merusak madzhab Hanbali dengan keyakinan sesat semacam ini. Kaum Musyabbihah dan Mujassimah tersebut tidak hanya mengotori madzhab Hanbali tapi juga memalsukan perkataan-perkataan para ulama Hanâbilah seperti Syaikh Abd al-Qadir yang notabene seorang sunni bermadzhab Hanbali. Dalam pada ini asy-Sya’rani mengatakan bahwa apa yang tertulis dalam Bahjah al-Asrâr tersebut adalah sisipan dan kepalsuan dari tangan-tangan orang yang tidak bertanggung jawab. Adakah seorang wali Allah, seorang yang ‘arif dan alim berkeyakinan semacam ini?![14].
5. Pernyataan beberapa orang yang menisbatkan dirinya kepada tarekat al-Qadiriyyah mengatakan bahwa seorang mursyid akan terpelihara dari segala kesalahan. Karenanya setiap ucapan dan tingkah laku seorang mursyid hendaklah menjadi panutan tanpa harus dibantah sedikitpun. Dalam pada ini sebagian mereka dalam menggambarkan Syaikh Abd al-Qadir membuat sya’ir berbunyi:
إنّ لِشَيْخِيْ تَسْعَةً وَتِسْعِيْنَ اسْمًا # كَسُمَى ذِي الْجَلاَلِ فِي اسْتِجَابِ الدّعَاءِ
“Sesungguhnya Syaikhku memiliki 99 nama, seperti nama Allah “Dzu al-Jalal” dalam mengabulkan setiap doa”.
Artinya menurut penulis bait syair ini Syaikh Abd al-Qadir memiliki 99 nama seperti 99 nama Allah yang salah satunya mengabulkan doa-doa para hamba. Kandungan bait ini jelas berisikan tasybîh; penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya dan benar-benar merupakan kesesatan dan kekufuran.
Syaikh Abd al-Qadir dan para wali Allah lainnya tidak akan mengatakan bahwa seorang wali Allah atau seorang mursyid selalu terpelihara dari kesalahan. Ini dapat kita lihat dari pernyataan beliau sendiri dalam kitab Âdâb al-Murîd:
إذَا عَلِمَ الْمُرِيْدُ مِنْ الشّيْخِ خَطَأً فَلْيُنَبِّهْهُ، فَإنْ رَجَعَ فَذَاكَ الأمْرُ وَإلاّ فَلْيَتْرُكْ خَطَأَهُ وَلْيَتْبَعِ الشّرْعَ
“Jika seorang murid mengetahui suatu kesalahan dari Syaikhnya maka ingatkanlah ia. Jika Syaikhnya tersebut kembali dari kesalahannya maka itulah yang diharapkan -ia dapat tetap bersamanya-. Namun bila Syaikh-nya tersebut tidak mau kembali maka tinggalkanlah kesalahannya dan ikutilah syara’”.
Simak pula perkataan Imam Ahmad ar-Rifa’i al-Kabir:
سَلِّمْ لِلْقَوْمِ أحْوَالُهُمْ مَا لَمْ يُخَالِفُوا الشّرْعَ فَإنْ خَالَفُوا الشّرْعَ فَكُنْ مَعَ الشّرْع
“Jangan engkau hirauhkan kaum sufi terhadap keadaan apapun yang ada pada diri mereka selama mereka tidak menyalahi syara’, namun jika mereka menyalahi syara’ maka ikutilah syara’ -jangan mengikuti mereka-”.
Dari beberapa pernyataan para ulama di atas dapat dipahami bahwa tidak seorang manusiapun yang dapat terbebas dari kesalahan dalam urusan agama, baik kesalahan kecil maupun besar. Inilah yang dimaksud dengan hadits nabi:
مَا مِنْكُمْ مِنْ أحَدٍ إلاّ يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ وَيُتْرَكْ غَيْرَ رَسُوْلِ اللهِ
“Tidak seorangpun dari kalian, kecuali setiap ucapannya ada kemungkinan benar dan ada kemungkinan salah, selain Rasulullah; selalu benar”.
Dari pemahaman hadits ini dapat diambil kesimpulan bahwa seluruh manusia, dari mulai para sahabat nabi hingga mereka yang hidup di masa sekarang ini, tidak dapat menghindarkan diri dari kemungkinan berbuat kesalahan dalam urusan agama. Kecuali Rasulullah, ia dijaga oleh Allah dari kemungkinan kesalahan tersebut. Contoh paling kongkrit, yang hal ini dijadikan alasan kuat oleh para ulama, adalah bahwa beberapa sahabat Rasulullah yang telah diberi kabar gembira akan masuk surga, jatuh dalam kesalahan. Namun hal ini tidak menafikan keutaman dan derajat mereka. Para sahabat tersebut adalah tokoh-tokoh tertinggi dalam derajat kewalian, artinya jauh lebih utama dari para wali Allah yang datang di kemudian hari.
Seperti sahabat Umar ibn al-Khaththab, seorang sahabat nabi yang dinyatakan oleh nabi sendiri selalu mendapat ilham dan memiliki firasat yang sangat kuat (nabi menyebutnya dengan muhaddats)[15]. Suatu hari ia berkata di hadapan para sahabat lain: “Wahai sekalian manusia, janganlah kalian membuat harga yang terlalu mahal dalam urusan mas kawin, jika datang kepadaku berita seseorang yang melebihkan mas kawinnya di atas 400 dirham maka aku akan mengambilnya dan aku letakan di bait al-mâl (kas negara)”. Tiba tiba seorang perempuan berkata: “Wahai Amîrul Mu’minîn engkau tidak berhak melakukan itu. Allah berfirman: “Dan bila kalian telah memberikan mas kawin kepada mereka, maka janganlah kalian ambil darinya sedikitpun” QS. Al-Nisa’: 20. Kemudian sahabat Umar naik kembali ke mimbar, seraya berkata di hadapan kaum muslimin: “Wahai manusia aku serahkan kepada kalian tentang harga-harga mas kawin kalian, perempuan ini benar dalam pendapatnya dan Umar telah salah”.
Demikian pula yang terjadi di kalangan para ulama. Kemungkinan kesalahan dalam memberikan fatwa adalah keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Dan bila salah seorang dari mereka terjatuh dalam kesalahan, maka klaim salah dari ulama yang lebih kuat pendapatnya adalah hal yang biasa terjadi. Karenanya, Imam al-Haramain dalam beberapa kitabnya seringkali menulis: “Ayahku berkata demikian, dan ini salah!!”. Padahal ayah beliau, bernama Abdullah ibn Yusuf yang dikenal dengan sebutan Imam al-Juwaini, adalah seorang ulama terkemuka di kalangan madzhab Syafi’i. Bahkan, karena sangat agungnya keilmuan Imam al-Juwaini, sebagian ulama berkata jika setelah nabi Muhammad ada lagi seorang nabi maka al-Juwaini inilah yang berhak atas kenabian tersebut.
Dengan demikian pernyataan sebagain pengikut tarekat bahwa seorang mursyid selalu terpelihara dari segala kesalahan adalah sebuah kesesatan belaka. Pernyataan mereka ini jelas tanpa didasarkan kepada ilmu agama. Seperti sebagian mereka yang berkata bahwa seorang syeikh atau mursid mengetahui segala sesuatu yang diperbuat oleh muridnya, sekalipun mursid tersebut sedang di tempat tidurnya. Sebagian lainnya berkata bahwa seorang mursid mengetahui hal-hal yang gaib dan mengetahui segala sesuatu yang terlintas di dalam benak setiap muridnya. Na’udzu Billâh.
6. Sebagian pengikut tarekat al-Qadiriyyah, juga beberapa pengikut tarekat lainnya beranggapan bahwa bergabung dalam komunitas tarekat adalah suatu kewajiban. Pernyataan semacam ini jelas merupakan kesesatan. Ini sama juga dengan mewajibkan suatu perkara yang tidak wajib dalam Islam.
Benar, para ulama menyatakan bahwa tarekat adalah suatu yang baik. Walapun ia merupakan bid’ah atau sesuatu yang baharu; karena tidak pernah ada pada masa Rasulullah dan masa sahabatnya, namun ia merupakan bid’ah hasanah atau bid’ah yang baik. Tujuan utama dari dirintisnya tarekat oleh para ulama sufi dan orang-orang saleh terdahulu adalah untuk mendorong meningkatkan nilai takwa kepada Allah. Para ulama empat madzhab sepakat bahwa bid’ah atau sesuatu yang baharu yang tidak ada di masa Rasulullah dan para sahabatnya terbagi kepada dua bagian.
Pertama; Bid’ah hasanah atau bid’ah yang baik, yaitu seuatu yang baharu yang sejalan dengan tuntunan al-Qur’an dan sunnah. Kedua; Bid’ah sayyi’ah atau bid’ah yang bersebrangan dengan tuntunan al-Qur’an dan sunnah. Dalil yang menguatkan adanya pembagian bid’ah kepada dua bagian ini adalah sabda Rasulullah:
مَنْ سَنَّ فِي اْلإسْلاَمِ سُنّةً حَسَنَةً فَلَهُ أجْرُهَا وَأجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أنْ يَنْقُصَ مِنْ أجُوْرِهِمْ شَىءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الإسْلاَمِ سُنّةً سَيّئَةً فَعَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ مِنْ بَعْدِهِ بِهَا مِنْ غَيْرِ أنْ يَنْقُصَ مِنْ أوْزَارِهِمْ شَىءٌ (رَوَاهُ مُسْلِم).
“Barang siapa merintis dalam Islam akan suatu yang baik, maka bagi orang tersebut pahala dari apa yang ia perbuat dan pahala dari orang-orang yang mengikutinya sesudahnya, dengan tanpa berkurang sedikitpun dari pahala orang-orang tersebut. Dan barang siapa merintis dalam Islam sesuatu yang buruk, maka bagi orang tersebut dosa dari apa yang ia perbuat dan dosa dari orang-orang yang mengikutinya sesudahnya, dengan tanpa berkurang sedikitpun dari dosa orang-orang tersebut” (HR. Muslim dalam Shahih-nya).
Contoh dari bid’ah hasanah sangat banyak, seperti; pembuatan titik-titik pada huruf huruf al-Qur’an dan harakat i’râb-nya, merayakan peringatan maulid nabi Muhammad, membuat mihrab-mihrab masjid dan lainnya. Termasuk dalam bid’ah hasanah ini adalah tarekat-tarekat yang dirintis oleh para wali Allah dan orang-orang saleh.
Dengan demikian kita tidak meragukan bahwa tarekat-tarekat seperti al-Qadiriyyah, an-Naqsyabandiyyah, ar-Rifa’iyyah, as-Suhrawardiyyah, al-Jistiyyah, as-Sa’diyyah, asy-Syadziliyyah, al-Badawiyyah, ad-Dasuqiyyah, al-Maulawiyyah dan berbagai tarekat lainnya, tujuan dirintisnya adalah sesuatu yang baik dan masuk dalam pengertian bid’ah hasanah. Mereka yang merintis tarekat-tarekat tersebut adalah orang-orang saleh, ahli ilmu dan amal yang konsisten dalam menjalankan syari’at Rasulullah. Bila kemudian di belakang hari tarekat-tarekat tersebut dimasuki kesesatan-kesesatan maka hal itu tidak merusak asal kebolehan tarekat itu sendiri, hanya saja tentu yang harus dipermasalahkan sekaligus disingkirkan adalah penyimpangan-penyimpanganya, bukan tarekatnya.
Bergabung dengan salah satu tarekat yang ada bukan suatu kewajiban. Sebagian mereka yang mewajibkannya adalah pernyataan tanpa dasar. Pada hakekatnya, komitmen yang dituntut dari setiap orang muslim adalah agar selalu bertakwa, berpegang teguh dengan ajaran-ajaran Islam, yaitu dengan mengerjakan segala yang diwajibkan dan menjauhi segala yang dilarang. Sementara itu, tarekat yang berisikan bacaan-bacaan dzikir dengan ditambah janji atau berbaiat kepada seorang mursyid untuk memegang teguh syari’at Islam tujuan utamanya adalah meningkatkan kualitas takwa. Artinya, tanpa bergabung dengan tarekat atau tidak, komitmen awal yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya kepada setiap hamba muslim adalah agar selalu menjaga nilai takwa dan meningkatkan kualitasnya dalam berbagai keadaan dan tempat. Kemudian bila dinyatakan bergabung dengan tarekat merupakan kewajiban, berarti sekian banyak orang dari sebelum bermunculannya tarekat-tarekat tersebut adalah orang-orang yang berdosa. Jelas, klaim semacam ini tanpa dasar.
Di dalam beberapa kitab tulisan para ulama pengikut tarekat al-Naqsyabandiyyah dan para ulama lainnya telah dijelaskan bahwa bergabung dengan tarekat bukan merupakan kewajiban. Di antaranya dalam kitab al-Sa’âdah al-Abadiyyah Fimâ Jâ’a Bihi an-Naqsyabandiyyah karya Syaikh Abd al-Majid Ibn Muhammad al-Khani al-Khalidi an-Naqsyabandi dan kitab al-Hadîqah an-Nadiyyah Wa al-Bahjah al-Khâlidiyyah karya Syaikh al-‘Allâmah Muhammad Ibn Sulaiman al-Baghdadi al-Hanafi; salah seorang khalifah tarekat an-Naqsyabandiyyah. Dalam kitab yang terakhir disebut dinyatakan bahwa Ibn Hajar menyebutkan dalam kumpulan fatwa-fatwa besarnya beberapa gambaran dari tatacara mengambilan janji oleh para Syaikh dari tangan seorang yang bertaubat, serta disebutkan pula bahwa mengambil janji di hadapan seorang mursyid atau di atas tangan seorang Syaikh yang saleh adalah sesuatu yang baik dan dicintai[16].
********************** (( catatan kaki )) ************************
[1] Kandungan bait pertama juga dikutip dalam beberapa kitab, seperti Raudl al-Rayyâhîn. Lihat bantahan penisbatan dua bait syait ini dalam karya al Imam al-Habasyi, al-Tahdzîr al-Syar’i…, h. 24-25
(Faedah): Di antara kesesatan Ibn Taimiyah yang menjadi sorotan para ulama di masanya hingga sekarang dan di anggap telah menyalahi ijma’ adalah pernyataannya bahwa neraka akan punah. Pendapat Ibn Taimiyah ini selain ia ungkapkan dalam karyanya sendiri (Lihat karya Ibn Taimiyah berjudul ar-Radd ‘Alâ Man Qâl Bi Fanâ’ al-Jannah Wa an-Nâr, h. 67), demikian pula dikutip oleh muridnya sendiri, yaitu Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah dalam karyanya berjudul Hâdî al-Arwâh Ilâ Bilâd al-Afrâ, h, h. 579 dan 582, dan diikutinya.
Yang sangat mengherankan, kaum Wahhabiyyah merasa bangga dengan keyakinan batil Ibn Taimiyah ini, bahkan sebagian dari mereka menulis sebuah buku dengan judul al-Qaul al-Mukhtâr Li Bayân Fanâ’ an-Nâr. Lihat Mathba’ah Safir Cet. 1, Riyadl th. 1412 H. Artinya, menurut kaum Wahhabiyyah, sebagaimana hal ini ajaran Ibn Taimiyah, bahwa seluruh orang kafir dan orang musyrik akan keluar dari neraka, maka orang-orang semacam Abu Lahab, Abu Jahal, Musailamah al-Kadzdzab yang mengaku nabi setelah Rasulullah wafat, Fir’aun yang mengaku tuhan, orang-orang Yahudi yang membunuh para nabi Allah, serta orang-orang kafir lainnya, mereka semua akan keluar dari neraka. Kita katakan; Lalu di manakah kemudian tempat orang-orang kafir tersebut?! Apakah mereka pindah masuk ke surga?! Na’ûdzu Billâh. Sementara di akhirat tidak ada tempat ke tiga selain surga dan neraka! Apa yang diyakini Ibn Taimiyah dan orang-orang Wahhabiyyah ini adalah jelas telah menyalahi sesuatu yang Ma’lûm Min ad-Dîn Bi adl-Dlarûrah, dan itu merupakan kesesatan nyata.
Cukup untuk mengetahui kesesatan keyakinan Ibn Taimiyah tentang ini adalah risalah yang telah ditulis oleh seorang ulama besar yang hidup semasa dengan Ibn Taimiyah sendiri, yaitu Syaikh al-Islâm al-Hâfizh al-Lughawi al-Mufassir al-Mujtahid, seorang ulama agung di masanya yang telah mencapi derajat mujtahid mutlak; al-Imâm Taqiyyuddin as-Subki. Beliau telah menulis berbagai risalah dalam bantahan kepada Ibn Taimiyah, di antaranya al-I’tibâr Bi Baqâ’ al-Jannah Wa al-Nâr, al-Durrah al-Mudliyyah Fi al-Radd ‘Alâ Ibn Taimiyah, dan lainnya. Lebih komprehensif tentang kajian kesesatan Ibn Taimiyah lihat al-Hâfizh al-Habasyi, al-Maqâlât as-Sunniyyah Fi Kasyf Dlalâlât Ibn Taimiyah, Dar al-Masyari’, Bairut.
[2] Lihat al Imam al-Habasyi, al-Tahdzîr al-Syar’i…, h. 24, mengutip dari Abu al-Huda ash-Shayyadi, ath-Tharîqah ar-Rifa’iyyah, h. 58-59
[3] al Imam al-Jilani, al-Gunyah…, h. 94 dan 97
[4] Ibid, h. 103
[5] Ibid.
[6] Perdebatan tentang kalam Allah atau al-Qur’an di antara beberapa firqah dalam Islam telah menyita banyak perhatian. Dalam satu pendapat bahkan disebutkan bahwa asal penamaan ilmu tauhid menjadi ilmu kalam merujuk kepada masalah kalam Allah. Secara garis besar, dalam masalah kalam Allah ini terbagi kepada tiga kelompok. Dua kelompok ekstrim sama sesatnya; 180 derajat saling bertentangan. Dan satu kelompok moderat yang haq, di tangah-tengah antara keduanya, ialah Ahlussunnah wal Jama’ah. Dua kelompok ekstrim tersebut, pertama; kaum Mu’tazilah, berpendapat bahwa Allah tidak memiliki sifat-sifat termasuk sifat Kalam. Mereka berkesimpulan bahwa al-Qur’an makhluk. Kelompok ekstrim kedua; Musyabbihah, berpendapat bahwa huruf-huruf yang tersusun dalam kitab al-Qur’an adalah qadîm. Mereka berkesimpulan bahwa Allah mengeluarkan huruf-huruf dan bahasa. Keyakinan kedua ini adalah keyakinan yang ambil kaum Wahhabiyyah sekarang.
Adapun menurut pendapat Ahlussunnah, al-Qur’an atau kalam Allah memiliki dua pemaknaan. Jika yang dimaksud dengan al-Qur’an adalah al-Kalâm al-Dzâti atau sifat Kalam Allah maka ia bukan berupa huruf, suara dan bukan bahasa. Dalam pengertian ini jelas ia sesuatu yang qadîm. Tapi jika yang dimaksud al-Qur’an adalah yang lafazh-lafazh yang diturunkan, dibawa malaikat Jibrîl, tersusun dari huruf-huruf, tertulis di atas lembaran-lembaran dengan tinta dan dibaca dengan lidah, maka jelas ia sesuatu yang baharu (hâdits). Al-Qur’an dalam pengertian terakhir ini adalah merupakan ungkapan (‘Ibarah) dari al-Kalâm al-Dzâti. Kesimpulannya tidak boleh diucapkan: “al-Qur’an makhluk”, karena al-Qur’an bukan buatan malaikat Jibrîl atau Nabi Muhammad. Juga dikhawatirkan bagi orang mendengar ucapan tersebut berkesimpulan bahwa al-Qur’an benar-benar makhluk, padahal al-Qur’an memiliki dua pemaknaan sebagaimana penjelasan di atas. Penjelasan lebih luas lihat kitab-kitab Ahlussunnah dalam pembahasan terkait. Seperti al-Habasyi, dalam kitabnya Idlhâr al-‘Aqîdah as-Sunniyyah Bi Syarh al-‘Aqîdah ath-Thahâwiyyah, h. 84-123 dan kitab ad-Durrah al-Bahiyyah, h. 40-42, juga dalam kitabnya al-MaThalib al-Wafiyyah Bi Syarh al-‘Akidah an-Nasafiyyah, h. 72-79, al-Baijuri dalam Tuhfah al-Murîd Syarh Jauhar al-Tauhîd, h. 55-56, al-Ghazali dalam al-Arba’în Fi Ushûl al-Dîn, h. 17, dan dalam banyak kitab lainnya
[7] Lihat asy-Sya’rani, ath-Thabaqât…, j. 1, h. 218
[8] Al-Qusyairi, ar-Risâlah…, h. 41
[9] Lihat al-Asqalani, ad-Durar al-Kâminah, j. 4, h. 216. Beliau mengatakan bahwa sanad yang ditulis al-Syathnufi dalam Bahjah al-Asrâr adalah sanad yang tidak benar dari Syaikh Abd al-Qadir.
[10] al Imam al-Habasyi dengan tegas membongkar cerita-cerita palsu yang dinisbatkan kepada Syaikh Abd al-Qâdir tersebut. Lihat al-Habasyi, al-Tahdzîr al-Syar’i…, h. 22
[11] Lihat al Imam al-Habasyi, al-Tahdzîr al-Syar’i…, h. 25, mengutip dari Shihâh al-Akhbâr Fi Nasab as-Sâdah al-Fâthimiyyah al-Akhyâr, h. 128
[12] Lihat al Imam al-Habasyi, al-Tahdzîr al-Syar’i…, h. 26, mengutip dari Abu al-Huda ash-Shayyadi, ath-Tharîqah ar-Rifa’iyyah, h. 59
[13] Ibid.
[14] Lihat asy-Sya’rani, al-Yawâqît…, j. 1, h. 66. Makna firman Allah QS. Fathir: 10 di atas tidak menunjukkan bahwa Allah berada di arah atas. Sebab bila ayat mutasyâbihât ini diambil makna zhahirnya maka akan bertentangan dengan ayat mutasyâbihât yang lain yang zhahirnya memberikan pemahaman seakan-akan Allah bertempat di bumi, seperti pada firman Allah QS. Al-Baqarah: 115, QS. Al-Hadid: 4, dan lainnya. Adapun makna yang benar dari firman Allah di atas ialah bahwa al-Kalim al-Thayyib (kalimat-kalimat yang baik); seperti Lâ Ilâha IllAllah naik ke tempat yang dimuliakan Allah, yaitu langit. -Artinya langit adalah tempat kemuliaan dan rahmat Allah, karena dari langit turun rizki-rizki bagi para hamba-Nya-. Dan makna “Wa al-‘Amal al-Shâlih Yarfa’uh” artinya setiap amalan yang saleh diterimanya. Lihat al-Habasyi, al-Shirât…, h. 47
[15] Di antara riwayat mashur menceritakan kekuatan firasat Umar sekaligus sebagai karamah beliau adalah kisah tentang salah seorang panglima perangnya yang bernama Sariyah ibn Zunaim, yang dikirim ke daerah Nahawand. Ketika tentara kaum muslimin yang di pimpin Sariyah ini terdesak dari serangan kaum kafir, pada saat yang sama Umar ibn al-Khaththab sedang menyempaikan khutbah di Madinah, tiba-tiba Umar berteriak dengan keras: “Wahai Sariyah, berlindunglah ke gunung… berlindunglah ke gunung…!!”. Setelah beberapa hari kemudian Sariyah dengan pasukannya pulang dalam keadaan selamat. Mereka bercerita bahwa saat mereka terdesak dari serangan kaum kafir, mereka mendengar teriakan Umar untuk berlindung di gunung-gunung. Hadits shahih riwayat al-Asqalani dalam al-Ishâbah Fî Tamyîz al-Shahâbah, j. 2, h. 3. Lihat pula biografi Umar ibn al-Khaththab dalam Hilyah al-Auliyâ’, karya Abu Nu’aim, j. 1, h. 38
[16] Lebih luas lihat al-Habasyi, Tahdzîr…, h. 146. Lihat pula at-Tasyarruf…, h. 151-153
al 'Arif Billah al 'Allamah asy Syaikh 'Utsman Sirajuddin Mursyid ath Thariqah an Naqsyabandiyyah al 'Aliyyah (Rahimahullah ta'ala)