Ingat Kematian

Ditulis oleh administrator

Thursday, 27 March 2008

Suatu ketika Nabi Muhammad saw mendapati beberapa orang

mengobrol melantur di masjid.

Lalu, Nabi Muhammad saw bersabda:

“Kiranyanya kalian mengingati mati, perkara yang

memutus kelezatan-kelezatan dunia, niscaya kalian jauhi

perbuatan mengobrol melantur seperti ini.

Banyakkan kalian kenangkan datangnya kematian.

Sebab, sesungguhnya liang kubur menyongsong kematian

insan dengan ucapan sambutan: ‘Aku ini pondokan

penantian. Aku ini ruangan insan sendirian terpencilkan.

Aku ini bilik ratapan dan sesalan. Aku ini liang kegelapan.

Aku ini ruangan bawah tanah, sarang belatungbelatung’.”

Sabda Nabi Muhammad saw:

“Bila seorang mukmin dikubur, alam kubur

menyambutnya, ‘Selamat datang. Sungguh engkau ini

insan terkasih yang berjalan di atasku dan kini telah

datang padaku, memasuki kekuasaanku dan aku berkuasa

atasmu. Kini lihat perlakuanmu padamu.’ Seketika itu alam

kubur meluas laksana cakrawala dan bukakan pintu surga

bagi mukmin itu.’

Bila seorang kafir dikubur, alam kubur menyahut,

‘Sungguh kau ini manusia termurkai berjalan di atasku

dan kini datang padaku, memasuki kekuasaanku dan aku

berkuasa atasmu. Kini lihat apa yang kuperbuat padamu.’

Seketika alam kubur, dengan ruangnya, menyempit

dan menghimpit orang kafir hingga tulang rusuknya

menggemeretak patah. Lalu Kuasa Allah datangkan tujuh

puluh ular berbisa. Bisa ular itu, seekor saja, bila jatuh

setetes menimpa bumi niscaya bumi selama-lamanya

tidak dapat ditanami sesuatu. Tujuh puluh ular itu tiada

henti mematukkan racun, meliliti tubuh dan mencekiknya

hingga tiba hari penghitungan amal.”

Sabda Nabi Muhammad saw:

“Sungguh bagi mukmin, alam kubur itu bagian dari

pertamanan surga namun bagi orang kafir alam kubur itu

bagian dari liang, jurang, neraka.”

*****

Abu Bakar Al Islami riwayatkan, ketika Rasulullah saw

menjelaskan gambaran dan kesengsaraan neraka, Utsman

bin Affan tak tampak menangis. Utsman juga tidak

menangisi beratnya huru-hara hari kiamat. Tetapi tatkala

Rasulullah saw sampaikan perlakuan alam kubur, Utsman

langsung menangis tersedu-sedu, saking takutnya.

Ditanyakanlah padanya, “Ya Amirul Mukminin.

Saat disampaikan berita sengsara neraka engkau tidak

menangis. Diberitakan beratnya hari kiamat engkau tidak

menangis. Namun saat disingkapkan perlakuan alam

kubur, kenapa engkau menangis?”

Utsman bin Affan berkata, “Sungguh, bila mana aku

berada di neraka, aku bersama banyak orang. Demikian

juga pada hari kiamat, aku bersama banyak orang. Namun

semasa di alam kubur betapa sengsaranya didera siksa,

di sana aku hanya seorang diri tidak ada seorang pun teman.

Sesungguhnya kunci alam kubur dibawa malaikat Israfil,

sedang malaikat Israfil baru buka pintu kubur jika hari

kiamat telah tiba saat sangkakala ia tiupkan.”

Utsman bin Affan lalu berwasiat, “Barangsiapa hatihati

menjalani kehidupan, dunia terasa penjara, alam kubur

nanti serasa surga baginya. Barangsiapa jadikan kehidupan

di dunia sebagai surga, alam kubur nanti terasa penjara

baginya. Barangsiapa hidup di dunia terasa dibelenggu,

datangnya maut bagai pembebas baginya. Barangsiapa

ridlo tinggalkan bagiannya di dunia, kelak di akhirat kelak

Allah akan mencukupinya.”

Ada kalimat hikmah. Sebaik-baik hidup di dunia adalah

meninggalkan keduniawian sebelum dunia tinggalkan

dirinya. Ridha kepada Allah sebelum bertemu dengan-

Nya. Serta persiapkan bekal kubur, amal, sebelum ia

masuk ke dalamnya.

*****

HASAN al Basri kisahkan, suatu hari ia lagi di beranda

pondoknya. Ada serombongan orang jalan mengiringkan

jenazah. Persis belakang jenazah itu seorang gadis, dengan

rambut kusut, berjalan sambil terus-menerus menangis

pilu. Hasan al Basri lalu turut serta iringkan jenazah

hingga ke makam.

Di makam tangis gadis kian menjadi, “Ayah. Tak

pernah kujumpai kepiluan hidup seperti hari ini.” Hasan

al Basri ringankan kesedihannya, “Wahai anak puteri.

Ayahmu juga belum pernah temui kepiluan macam ini.”

Hari berikutnya. Matahari baru saja mengintip.

Hasan al Basri duduk di serambi pondok. Ia dengar

suara tangis berlari. Hasan al Basri melongok ke luar.

Gadis yang kemarin memacu lari, menuju makam ayahnya.

Hasan al Basri waspada, “Sungguh, dalam diri anak ini tersisip

hikmah berfaedah. Aku mesti mengikuti, barangkali ia berucap

kalimat hikmah yang bermanfaat.”

Ia menyusul gadis kecil itu hingga tiba di makam.

Hasan al Basri berlindung di balik semak. Gadis itu

memeluk pusara ayahnya, “Wahai ayah. Bagaimana

tidurmu semalam, sendirian tiada teman dalam temaram

kegelapan? Ayah. Malam-malam dulu aku yang nyalakan

pelita penerang untukmu, siapa yang memberimu penerang

tadi malam? Ayah. Malam-malam dulu aku yang selalu

hamparkan alas tidurmu, siapa yang hamparkan alas tidurmu

semalam? Ayah. Malam-malam dulu aku yang seduhkan

minuman untukmu, siapa yang buatkan minum dirimu

semalam? Ayah. Malam-malam dulu aku yang temani

dirimu di rumah, siapa yang temanimu semalam? Ayah.

Malam-malam dulu aku yang selimutimu dari kedinginan,

siapa yang selimuti dimu semalam? Ayah. Malam-malam dulu

aku yang menatap penuh perhatian wajahmu, adakah

yang perhatikan wajahmu semalam? Ayah. Malam-malam

dulu aku yang selalu engkau seru, aku menyahut dan

menghampirimu, siapa yang menyahut panggilanmu semalam?

Ayah. Malam-malam dulu aku yang siapkan hidanganmu

bersantap, bila engkau lapar, siapa yang siapkan santapanmu

semalam?

Dari balik semak, Hasan al Basri mendengar setiap

ratapan gadis itu dengan haru tersentak.

Ia keluar dari semak lalu menghampiri gadis itu,

“Wahai putri shalihah. Janganlah engkau berkata-kata

demikian. Lebih baik bila engkau berkata, ‘Ayah. Hari

kemarin kami menghadapkanmu ke arah kiblat, apakah

kini ayah masih menghadap kiblat apa sudah berpaling ke arah

lain? Ayah. Kemarin hari kami mengkafanimu dengan

baik, apakah kini kain kafan masih lekati tubuhmu dengan

baik apa sudah terlepaskan darimu? Ayah. Kemarin kami

baringkan tubuhmu utuh di dalam ruang kubur, apakah

kini tubuhmu juga utuh seperti sedia kala, atau sudah dirubung

belatung dan cacing pembusuk?

Katakan juga wahai putri shalihah, ‘Ayah. Sungguh

para ulama telah katakan: tiap hamba pasti ditanyai

imannya. Sebagian mereka mampu menjawab dan ada

sebagian lain tidak mampu menjawab’. Tanyakan, ‘Adakah

ayah bisa menjawab atau tidak bisa jawab?’

Ayah. Sungguh para ulama telah katakan: ‘Alam kubur

diperluas bagi sebagian orang namun dipersempit bagi

sebagian yang lain’. Maka, adakah alam kubur ayah diperluas

atau dipersempit?

Ayah. Sungguh para ulama telah katakan: ‘Kain kafan

orang yang dikubur ada yang diganti kain dari surga, ada

pula yang diganti kain dari neraka’. Lalu, apakah kain kafan

ayah diganti dengan kain dari surga atau dari neraka?

Ayah. Sungguh para ulama mengatakan, ‘Alam kubur

adalah rangkaian dari pertamanan surga. Bisa juga jurang

neraka’. Lalu, apakah alam kubur ayah serupa pertamanan

surga atau serasa lubang jurang neraka?

Ayah. Sungguh para ulama telah katakan: ‘Alam kubur

merawat sebagian penghuninya bak orang tua mengasuh

anaknya, bisa juga memurkai serta mengimpit sebagian

penghuninya sampai tulang rusuknya hancur berpatahan’.

Maka, apakah kuburmu merawatmu atau mengimpitmu?

Ayah. Sungguh para ulama telah katakan: ‘Setiap orang

yang dikubur pasti merasai penyesalan. Sesal orang taqwa

karena merasa amal baik masih sedikit. Sesal pemaksiat

karena keburukan-keburukan hidupnya’. Maka, apakah

ayah menyesal karena sedikit amal baik atau karena kejelekankejelekan?

Ayah. Bukankah saat ini kupanggil-panggil engkau di

atas pusaramu, lalu mengapa aku tidak dengar jawabmu?

Ayah. Engkau telah pergi dan tak akan bertemu lagi

denganku sampai hari kiamat.’ Berdoalah, wahai puteri

berbakti, ‘Ya Allah. Pertemukanlah kami di hari kiamat’.”

Merenungi nasehat Hasan al Basri, hati gadis tergugah,

“Sungguh nasehatmu bagaimana aku ratapi kematian

ayahku telah membuka akalku. Nasehatmu benar-benar

telah sadarkanku dari keterbatasan ilmuku. Menggugah

diriku untuk mengenangi azab Allah.”

Gadis shalihah tinggalkan kuburan mengikuti Hasan

al Basri. Sepanjang jalan matanya berkaca-kaca tangis.

Menangis demi teringat dan takut kepada azab Allah.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan