Ad-Darimi al-Mujassim yang kita maksud di sini adalah Utsman ibn Sa’id as-Sajzi, wafat tahun 272 Hijriyah. Ad-Darimi yang kita maksud di sini berbeda dengan ad-Darimi penulis kitab as-Sunan (Sunan ad-Dârimi). Ad-Darimi yang ke dua ini bernama Abdullah ibn Abdul Rahman, wafat tahun 255 Hijriyah, salah seorang ahli Hadits terkemuka dan merupakan salah seorang guru dari Imam Muslim. Adapun Utsman ibn Sa’id ad-Darimi yang kita sebut pertama adalah seorang pendahulu dalam aqidah tajsîm, bahkan dapat dikatakan sebagai peletak awal dan perintis penyebaran aqidah buruk ini. Ia menulis sebuah buku berjudul Kitâb an-Naqdl, yang menurutnya buku ini ia tulis sebagai bantahan terhdap Bisyr al-Marisi. Padahal di dalamnya ia tuliskan banyak sekali aqidah tajsîm dan aqidah “berhala” (Watsaniyyah); persis seperti aqidah kaum Yahudi dan Nasrani yang berkeyakinan bahwa tuhan seperti manusia.
Mengungkapkan siapa sebenarnya ad-Darimi al-Mujassim ini sangat penting dan mendesak. Karena orang-orang Musyabbihah Mujassimah di masa sekarang ini, seperti Wahhabiyyah seringkali mengutip perkataan-perkataannya. Sementara pada saat yang sama sebagian orang di kalangan Ahlussunnah, yang terpelajar sekalipun terlebih lagi orang-orang awam banyak yang tidak mengetahui siapa sebenarnya ad-Darimi yang mereka jadikan sandaran tersebut. Banyak sekali yang tidak mengetahui perbedaan antara ad-Darimi al-Mujassim (Utsman ibn Sa’id) dan ad-Darimi penulis kitab as-Sunan (Imam Abdullah ibn Abdul Rahman), yang karenanya tidak sedikit orang-orang di kalangan Ahlussunnah terkecoh dengan sanggahan-sanggahan kaum Musyabbhihah yang mereka kutip dari ad-Darimi al-Mujassim ini.
Berikut ini kita kutip beberapa ungkapan aqidah tajsîm yang ditulis oleh ad-Darimi al-Mujassim dalam kitab an-Naqdl supaya kita dapat menghindari dan mewaspadainya. Karena sesungguhnya setiap orang dari kita dianjurkan untuk mengenal keburukan-keburukan untuk tujuan menghindari itu semua. Terlebih di masa akhir zaman seperti ini di mana aqidah tasybîh dan tajsîm semakin menyebar di tangah-tangah masyarakat kita.
Ad-Darimi al-Mujassim, dalam kitab karyanya tersebut menuliskan sebagai berikut:
“Sesungguhnya Allah al-Hayy al-Qayyûm (Yang maha hidup dan tidak membutuhkan kepada apapun dari makhluk-Nya) maha berbuat terhadap segala suatu apapun yang Dia kehendaki. Dia bergerak sesuai apa yang Dia kehendaki. Dia turun dan naik sesuai dengan apa yang Dia kehendaki. Meggenggam dan menebarkan, berdiri dan duduk sesuai dengan apa yang Dia kehendaki. Karena sesungguhnya tanda nyata perbedaan antara yang hidup dengan yang mati adalah adanya gerakan. Setiap yang hidup pasti ia bergerak, dan setiap yang mati pasti ia tidak bergerak” (Kitab An-Naqdl, h. 20).
Ungkapan ad-Darimi ini sangat jelas sebagai ungkapan tajsîm. Aqidah semacam ini tidak mungkin diterima oleh akal sehat. Karenanya, aqidah ini terbantahkan oleh argumen-argumen logis, tentu juga oleh dalil-dalil al-Qur’an dan Hadits, serta oleh pernyataan dan kesepakatan (Ijma’) para ulama kita. Kayakinan yang mengatakan bahwa Allah berdiri, duduk, dan bergerak tidak ubahnya persis seperti keyakinan kaum Hindu para penyembah sapi. Kemudian juga keyakinan bahwa Allah bersifat seperti sifat-sifat makhluk semacam itu tidak lain merupakan aqidah hulûl; yaitu keyakinan sesat mengatakan bahwa Allah bersatu dengan makhluk-Nya. Dan aqidah semacam ini telah disepakati oleh para ulama kita di kalangan Ahlussunnah sebagai aqidah kufur.
Pada bagian lain dalam Kitab an-Naqdl tersebut, ad-Darimi menuliskan sebagai berikut:
“Para musuh kita berkeyakinan bahwa Allah tidak memiliki bentuk (al-Hadd), tidak memiliki sisi penghabisan dan batasan (al-Ghâyah Wa an-Nihâyah). Ini adalah dasar keyakinan Jahm ibn Shafwan yang merupakan pondasi dan akar seluruh kesesatannya dan kerancuannya. Dan kesesatan semacam ini Shafwan adalah orang yang pertama kali membawanya, sebelumnya tidak pernah ada seorang-pun yang mengungkapkan kesesatan seperti ini” (Kitab An-Naqdl, h. 23).
Setelah menuliskan ungkapan ini, ad-Darimi kemudian membeberkan keyakinannya bahwa Allah memiliki bentuk dan batasan serta penghabisan. A’ûdzu Billâh. Padahal segala apapun yang memiliki bentuk pasti merupakan benda (Jism) dan memiliki arah. Sementara itu para ulama kita di kalangan Ahl al-Haq telah menetapkan konsensus (Ijma’) bahwa seorang yang berkeyakinan Allah sebagai benda maka orang tersebut bukan seorang muslim, sekalipun dirinya mengaku sebagai orang Islam. Lihat konsensus ini di antaranya telah dituliskan oleh Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam beberapa karyanya, seperti al-Farq Bayn al-Firaq, al-Asmâ’ Wa ash-Shifât dan at-Tabshirah al-Baghdâdiyyah.
Pada halaman lainnya, ad-Darimi al-Mujassim menuliskan sebagai berikut: “Allah berada jauh dari makhluk-Nya. Dia berada di atas arsy, dengan jarak antara arsy tersebut dengan langit yang tujuh lapis seperti jarak antara Dia sendiri dengan para makhluk-Nya yang berada di bumi” (Kitab An-Naqdl, h. 79).
Kemudian pada halaman lainnya, ia menuliskan: “Dan jika Allah benar-benar berkehandak bertempat di atas sayap seekor nyamuk maka dengan sifat kuasa-Nya dan keagungan sifat ketuhanan-Nya Dia mampu untuk melakukan itu, dengan demikian maka terlebih lagi untuk menetap di atas arsy (Artinya menurut dia benar-benar Allah bertempat di atas arsy)”. (Kitab An-Naqdl, h. 85).
Ungkapan ad-Darimi ini benar-benar membuat merinding bulu kuduk seorang ahli tauhid. Ia mengatakan jika Allah maha kuasa untuk bertempat pada sayap seekor nyamuk, maka lebih utama lagi untuk bertempat pada arsy. Ini murni merupakan aqidah tasybîh. Apakah dia tidak memiliki logika sehat?! Apakah dia tidak mengetahui hukum akal?! Apakah dia tidak bisa membedakan antara Wâjib ‘Aqly Mustahîl ‘Aqly dan Jâ’iz ‘Aqly?! Sudah pasti yang disembah oleh ad-Darimi al-Mujassim ini bukan Allah. Siapakah yang dia sembah?! Tidak lain yang ia sembah hanyalah khayalannya sendiri.
Kemudian pada halaman lainnya dalam Kitâb an-Nadl, ad-Darimi menuliskan sebagai berikut: “Dari mana kamu tahu bahwa puncak gunung tidak lebih dekat kepada Allah dari pada apa yang ada di bawahnya?! Dan dari mana kamu tahu bahwa puncak sebuah menara tidak lebih dekat kepada Allah dari pada apa yang ada di bawahnya?!”. (Kitab An-Naqdl, h.100).
Ungkapan ad-Darimi ini hendak menetapkan bahwa seorang yang berada di tempat tinggi lebih dekat jaraknya kepada Allah di banding yang berada di tempat rendah. Dengan demikian, sesuai pendangan ad-Darimi, mereka yang berada di atas pesawat dengan ketinggian ribuan kaki dari bumi lebih dekat kepada Allah. Na’ûdzu Billâh. Keyakinan ad-Darimi ini di kemudian hari diikuti oleh Ibn Taimiyah al-Harrani dan Ibn al-Qayyim, yang juga dijadikan dasar aqidah oleh para pengikutnya, yaitu kaum Wahhabiyyah di masa sekarang ini. Hasbunallâh.
Adapun seorang muslim ahli tauhid maka ia berkeyakinan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Segala tempat dan segala arah dalam pengertian jarak pada hakekatnya bagi Allah sama saja, artinya satu sama lainnya tidak lebih dekat atau lebih jauh dari Allah. Karena makna “dekat” kepada Allah bukan dalam pengertian jarak, demikian pula makna “jauh” dari Allah bukan dalam pengertian jarak. Tapi yang dimaksud “dekat” atau “jauh” dalam hal ini adalah sejauh mana ketaatan sorang hamba terhadap segala perintah Allah.
Dalam al-Qur’an Allah berfirman: “Wasjud Waqtarib” (QS. Al-‘Alaq: 19), artinya “Dan Sujudlah engkau -Wahai Muhammad- dan “mendekatlah”. Kemudian dalam Hadits riwayat an-Nasa-i, Rasulullah bersabda:
أقْرَبُ مَا يَكُوْنُ الْعَبْدُ مِنْ رَبّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ (رواه النسائي)
“Seorang hamba yang paling “dekat” kepada Tuhannya adalah saat ia dalam keadaan sujud”. (HR. An-Nasa-i)
Yang dimaksud “dekat” dalam ayat al-Qur’an dan Hadits ini bukan dalam makna zhahirnya. Dua teks syari’at tersebut artinya menurut ad-Darimi dan para pengikutnya, -sesuai aqidah mereka-, adalah dua teks yang tidak benar, karena menurut mereka yang berada pada posisi berdiri lebih dekat kepada Allah dari pada yang sedang dalam posisi sujud, dan yang berada di atas gunung lebih dekat kapada Allah dari pada mereka yang berada di bawahnya. Lalu mereka “buang” ke mana ayat al-Qur’an dan Hadits tersebut?! Hasbunallâh.
Di samping itu siapapun telah tahu bahwa bumi ini berbentuk bulat. Dengan demikian berarti menurut ad-Darimi dan para pengikutnya, seorang yang berada pada satu tempat yang tinggi dari bumi ini dengan yang berada pada 90 derajat pada tempat lain yang juga sama tinggi sama-sama dekat dengan Allah, kalau demikian lalu sebenarnya siapakah dari dua orang ini yang benar-benar pada posisi tinggi? Ataukah memang ad-Darimi dan para pengikutnya berkeyakinan bahwa Allah adalah benda bulat seperti bumi itu sendiri? Mereka tidak akan memiliki jawaban sehat bagi pertanyaan ini. Kita katakan: Tidak lain, itulah aqidah tasybîh yang telah disepakati ulama kita terhadap kesesatannya.
Pada halaman lainnya, ad-Darimi menggambarkan Hadits yang sama sekali tidak benar menyebutkan “’Athîth al-Arsy Min Tsiqalillâh...”. Ia mengatakan bahwa arsy menjadi sangat berat karena menyangga Allah yang berada di atasnya, seperti beratnya bebatuan dan besi. (Kitab An-Naqdl, h. 92, lihat pula h. 182).
Tulisan ad-Darimi ini benar-benar tidak akan menjadikan seorang ahli tauhid berdiam diri. Ini adalah pernyataan yang akan menjadi bahan tertawaan orang-orang yang tidak waras sebelum ditertawakan oleh orang-orang waras (Yadl-hak Minhu al-Majânîn Qabl al-‘Uqalâ’). Bagaimana mungkin seorang muslim akan berdiam diri jika Tuhannya disamakan dengan beratnya besi dan bebatuan?! Hadits ini sendiri adalah Hadits batil, sebagaimana telah dinyatakan oleh al-Hâfizh Ibn Asakir. Dengan demikian Hadits ini sama sekali tidak benar dan tidak tidak boleh dijadikan dalil dalam menetapkan masalah aqidah.
Pada halaman lainnya dalam kitabnya di atas ad-Darimi menuliskan: “Kita tidak menerima secara mutlak bahwa semua perbuatan itu baharu (makhluk). Karenanya, kita telah sepakat bahwa gerak (al-Harakah), turun (an-Nuzûl), berjalan (al-Masy), berjalan cepat (al-Harwalah), dan bertempat di atas arsy dan di atas langit itu semua adalah Qadim”. (Kitab An-Naqdl, h. 121).
Inilah keyakinan tasybîh ad-Darimi; keyakinan yang tidak ada bedanya dengan keyakinan para penyembah berhala. Keyakinan ini pula yang setiap jengkalnya dan setiap tapaknya diikuti oleh Ibn Taimiyah al-Mujassim dan muridnya; Ibn al-Qayyim al-Mujassim. Dua orang yang disebut terakhir ini, guru dan murid, memiliki keyakinan yang sama persis, yaitu aqidah tasybîh. Karena itu, keduanya memberikan wasiat kepada para pengikutnya untuk memegang teguh tulisan-tulisan ad-Darimi di atas. Dari sini semakin jelas siapakah sebenarnya Ibn Taimiyah, dan Ibn al-Qayyim serta para pengikutnya tersebut! Tidak lain mereka adalah Ahl at-Tasybîh.
Ungkapan-ungkapan lainnya yang ditulis oleh ad-Darimi di antaranya sebagai berikut: “Bagaimana mungkin orang semacam Bisyr akan memahami tauhid, padahal ia tidak tahu tempat tuhannya yang ia sembah (yang dimaksud Allah)?!”. (Kitab An-Naqdl, h. 4). Yang diserang oleh ad-Darimi dalam ungkapannya tersebut adalah musuhnya, yaitu Bisyr al-Marisi. Kitab an-Naqdl yang ditulis ad-Darimi ini secara keseluruhan adalah sebagai bantahan terhadap Bisyr. Dan ungkapan ad-Darimi tersebut di atas adalah untuk menetapkan bahwa Allah bertempat, yaitu berada di arsy dan di langit. Na’ûdzu Billâh.
Pada halaman lainnya, ad-Darimi menuliskan: “Allah memiliki bentuk dan ukuran, demikian pula tempat-Nya juga memiliki bentuk dan ukuran, yaitu bahwa Dia bertempat di atas arsy yang berada di atas langit-langit, dengan demikian maka Allah dan arsy keduanya memiliki bentuk dan ukuran”. (Kitab An-Naqdl, h. 23). Na’ûdzu Billâh.
Ad-Darimi juga menuliskan: “Setiap orang jauh lebih mengetahui tentang Allah dan tempat-Nya di banding kaum Jahmiyyah, dan Dia Allah sendiri yang telah menciptakan Adam dengan Tangan-Nya dengan cara menyentuhnya”. (Kitab An-Naqdl, h. 25). Na’ûdzu Billâh.
Juga menuliskan: “Jika Allah tidak memiliki dua tangan seperti yang engkau yakini, padahal dengan kedua tangan-Nya Dia telah menciptakan Adam dengan jalan menyentuhnya, maka berarti tidak boleh dikatakan bagi Allah “Bi Yadika al-Khayr...”. (Kitab An-Naqdl, h. 29). Na’ûdzu Billâh.
Juga menuliskan: “Makna takwil dari sabda Rasulullah “Innallâh Laysa Bi A’war...” artinya bahwa Dia Allah Maha melihat dengan kedua mata, karena melihat dengan kedua mata adalah kebalikan dari picak yang hanya melihat dengan sebelah mata saja (al-a’war)”. (Kitab An-Naqdl, h. 48). Na’ûdzu Billâh.
Juga menuliskan: “Sesungguhnya Allah benar-benar duduk di atas kursi, dan tidak tersisa (kosong) dari kursi tersebut kecuali seukuran empat jari saja”. (Kitab An-Naqdl, h. 74). Na’ûdzu Billâh.
Dan banyak lagi berbagai aqidah tasybîh lainnya yang dimuat dalam Kitab an-Naqdl ini. Adakah ini yang dinamakan tauhid?! Adakah orang semacam ad-Darimi dan para pengikutnya memahami dengan benar tentang firman Allah QS. Asy-Syura: 11 bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya?!
Pada halaman lainnya dalam Kitab an-Naqdl di atas, ad-Darimi juga menuliskan: “Apa yang diriwayatkan dari Rasulullah, bila tanpa adanya pengulangan, tidak lebih hanya sekitar 12.000 Hadits saja. Dengan demikian kebanyakan riwayat yang mereka ambil sumbernya berasal dari kaum zindiq...”. (Kitab An-Naqdl, h. 151).
Semoga kita terhindar dari keyakinan sesat kaum Musyabbihah yang di akhir zaman ini tengah gencar-gencarnya dipropagandakan oleh kaum Wahabi...!!!
Perhatikan generasi kita, jangan sampai ikut-ikutan berkeyakinan ajaran sesat Wahabi.....!!!
Tiada ulasan:
Catat Ulasan