oleh AQIDAH AHLUSSUNNAH: ALLAH ADA TANPA TEMPAT pada pada 11hb Januari 2011 pukul 12.58 ptg
(Post, 11/1/2011)
Bismillah, Wal Hamdu Lillah,
Wa Shallallahu Wa Sallama ‘Ala Rasulillah.
Pada dasarnya tonggak dasar Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam sudah berkembang dari semenjak masa sahabat Rasulullah. Bahkan menyebarkan ilmu tauhid ini merupakan konsentrasi dakwah seluruh sahabat Rasulullah, karenanya perkembangan ilmu tauhid saat itu justru lebih mapan dan lebih pesat di banding dengan periode-periode sesudahnya.
Bantahan-bantahan terhadap berbagai kelompok ahli bid’ah sudah berkembang di masa para sahabat. Misalkan, sahabat ‘Abdullah ibn ‘Abbas (w 68 H) dan sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar (w 74 H) yang telah memerangi faham Mu’tazilah. Atau dari kalangan Tabi’in, seperti Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-Aziz (w 101 H) dan al-Imam al-Hasan ibn al-Hanafiyah yang giat memerangi faham para ahli bid’ah tersebut. Bahkan Khalifah ‘Ali ibn Abi Thalib dengan argumen kuatnya telah memecahkan faham Khawarij dan faham kaum Dahriyyah; kaum yang mengatakan bahwa alam ini terjadi dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakan. Demikian pula beliau telah membungkam empat puluh orang dari kaum Yahudi yang mengatakan bahwa Tuhan adalah benda yang memiliki tubuh dan memiliki tempat. Di antara pernyataan sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib dalam masalah tauhid sebagai bantahan terhadap kaum Musyabbihah Mujassimah adalah “Barang siapa berkeyakinan bahwa Tuhan kita (Allah) memiliki bentuk maka ia tidak mengetahui Pencipta yang wajib disembah -artinya seorang yang kafir-”.
Kemudian Iyas ibn Mu’awiyah, yang sangat terkenal dengan kecerdesannya, juga telah memecahkan argumen-argumen kaum Qadariyyah (Mu’tazilah). Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz telah membungkam para pengikut Syauzdab; salah seorang pemuka kaum Khawarij. Dan bahkan beliau telah menulis beberapa risalah sebagai bantahan terhadap faham-faham Mu’tazilah. Kemudian al-Imam Rabi’ah ar-Ra’y (w 136 H), salah seorang guru al-Imam Malik Ibn Anas, dengan dalil yang sangat kuat telah membungkam Ghailan ibn Muslim, salah seorang pemuka kaum Qadariyyah. Kemudian al-Imam al-Hasan al-Bashri, salah seorang ulama besar dan terkemuka di kalangan tabi’in, juga telah menyibukan diri dalam bergelut dengan Ilmu Kalam ini.
Masalah:
Jika ada yang berkata: Sahabat ‘Abdullah ibn ‘Abbas telah berkata: “Berpikirlah kalian tentang makhluk, dan janganlah kalian berpikir tentang al-Khaliq (Allah)”. Bukankah ini artinya berpikir tentang Allah adalah sesuatu yang dilarang?!.
Jawab:
Yang dilarang dalam hal ini adalah berpikir tentang Allah, namun kita diperintahkan untuk berpikir tentang makhluk-Nya. Ini artinya bahwa kita diperintahkan untuk berpikir tentang kekuasaan-kekuasaan Allah baik yang terdapat di langit maupun yang terdapat di bumi, agar supaya hal itu semua dijadikan bukti akan adanya Allah sebagai penciptanya, dan bahwa Dia Allah tidak menyerupai makhluk-makhluk-Nya tersebut. Seorang yang tidak mengenal Allah; Tuhan yang ia sembahnya, bagaimana mungkin ia dapat mengamalkan atsar Shahih dari sahabat Ibn ‘Abbas di atas?! Kemudian dari pada itu al-Qur’an telah memerintahkan kepada kita untuk mempelajari dalil-dalil akal tentang kebenaran akidah Islam. Mempelajari dalil-dalil akal tentang adanya Allah, bahwa Dia maha mengetahui, maha kuasa, maha berkehendak, tidak menyerupai makhluk-Nya, dan berbagai perkara lainnya. Karenanya, tidak ada seorangpun dari ulama kita dari kalangan Ahlussunnah, baik ulama salaf maupun khalaf, yang mencaci Ilmu Kalam ini.
Adapun pernyataan yang dinisbatkan kepada al-Imam asy-Syafi’i: “Seorang manusia bila bertemu Allah (meninggal) dalam keadaam membawa banyak dosa selain dosa syirik maka hal ini jauh lebih baik baginya dari pada ia meninggal dengan membawa Ilmu Kalam”, statemen ini tidak benar adanya dari al-Imam Syafi’i. Tidak ada riwayat dengan sanad yang benar bahwa beliau telah barkata demikian. Adapun pernyataan yang benar dari ucapan beliau dengan sanadnya adalah:
لَأنْ يَلْقَى اللهَ العَبْدُ بِكُلّ ذَنْبٍ مَا سِوَى الشّرْكِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أنْ يَلْقَاهُ بشَىءٍ مِنْ الأهْوَاءِ
“Seorang manusia bila bertemu Allah (meninggal) dalam keadaan membawa banyak dosa selain dosa syirik maka hal ini jauh lebih baik baginya dari pada ia meninggal dengan membawa al-Ahwa’”.
Al-Ahwa’ adalah jamak dari al-Hawa. Artinya sesuatu yang diyakini oleh para ahli bid’ah yang berada di luar jalur para ulama Salaf. Artinya, al-Hawa di sini ialah keyakinan-kayakinan yang yakini oleh golongan-golongan sesat. Seperti keyakinan Khawarij, Mu’tazilah, Murji’ah, Najjariyyah dan berbagai kelompok lainnya yang telah disebutkan dalam hadits Nabi sebanyak tujuh puluh dua golongan. Dalam sebuah hadits mashur Rasulullah bersabda:
وَإنّ هذِه الِملّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِيْنَ، ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الجَنّةِ وَهِيَ الجَمَاعَة (رَواه أبُو دَاوُد)
“Dan sesungguhnya -umat- agama ini akan pecah kepada tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua di neraka, dan hanya satu di surga; dan dia adalah kelompok mayoritas”. (HR. Abu Dawud).
Dengan demikian yang dicaci oleh al-Imam asy-Syafi’i bukan mutlak keseluruhan Ilmu Kalam, tapi yang dimaksud adalah Ilmu Kalam tercela; yaitu yang digeluti oleh para ahli bid’ah di atas. Adapun Ilmu Kalam yang digeluti Ahlussunnah yang berdasar kepada al-Qur’an dan Sunnah maka ini adalah Ilmu Kalam terpuji, dan sama sekali tidak pernah dicaci oleh al-Imam asy-Syafi’i. Sebaliknya beliau adalah seorang yang sangat kompeten dan terkemuka dalam Ilmu Kalam ini. Karenannya argumen beliau telah mamatahkan pendapat Bisyr al-Marisi dan Hafsh al-Fard; dua orang di antara pemuka kaum Mu’tazilah yang mengatakan bahwa al-Qur’an makhluk dan bahwa Allah tidak memiliki sifat Kalam.
Al-Hafizh Ibn ‘Asakir dalam Tabyin Kadzib al-Muftari menuliskan sebagai berikut:
“Ilmu Kalam yang tercela adalah Ilmu Kalam yang digeluti oleh Ahl al-Ahwa’ dan yang diyakini oleh para ahli bid’ah. Adapaun Ilmu Kalam yang sejalan dengan al-Qur’an dan Sunnah yang dibahas untuk menetapkana dasar-dasar akidah yang benar dan untuk memerangi fitnah Ahl al-Ahwa’ maka ia telah disepakati ulama sebagai Ilmu Kalam yang terpuji. Dalam Ilmu Kalam yang terpuji ini al-Imam asy-Syafi’i adalah di antara ulama besar yang sangat kompeten. Dalam berbagai kesempatan beliau telah banyak membantah para ahli bid’ah dengan argumen-argumen kuatnya hingga mereka terpecahkan”[1].
Masih dalam karyanya tersebut, Ibn ‘Asakir kemudian mengutip salah satu kasus yang terjadi dengan al-Imam asy-Syafi’i dengan sanadnya dari ar-Rabi’ ibn Sulaiman, bahwa ia (ar-Rabi’) berkata:
“Aku berada di majelis al-Imam asy-Syafi’i, Abu Sa’id A’lam memberitahukan kepadaku bahwa suatu ketika datang ‘Abdullah ibn ‘Abd al-Hakam, Yusuf ibn ‘Amr ibn Zaid, dan Hafsh al-Fard. Yang terakhir ini oleh asy-Syafi’i disebut dengan al-Munfarid (yang berpaham ekstrim). Kemudian Hafsh al-Fard bertanya kepada ‘Abdullah ibn ‘Abd al-Hakam: “Bagaimana pendapatmu tentang al-Qur’an?”. Namun ‘Abdullah ibn ‘Abd al-Hakam enggan menjawab. Lalu Hafsh bertanya kepada Yusuf ibn ‘Amr. Tapi ia juga enggan menjawab. Keduanya lalu berisyarat untuk bertanya kepada asy-Syafi’i. Kemudian Hafsh bertanya kepada asy-Syafi’i, dan asy-Syafi’i memberikan dalil kuat atas Hafsh. Namun kemudian antara keduanya terjadi perdebatan yang cukup panjang. Akhirnya asy-Syafi’i dengan argumennya yang sangat kuat mengalahkan Hafsh dan menetapkan bahwa al-Qur’an adalah Kalam Allah bukan makhluk. Kemudian asy-Syafi’i megkafirkan Hafsh. Ar-Rabi’i ibn Sulaiman berkata: “Beberapa saat kemudian di masjid aku bertemu dengan Hafsh, ia berkata kepadaku bahwa asy-Syafi’i hendak memenggal leherku”[2].
Masalah:
Jika ada yang berkata: “Ada beberapa orang ulama Salaf yang telah mencaci Ilmu Kalam. Diriwayatkan bahwa as-Sya’bi berkata: “Barang siapa mempelajari agama dengan Ilmu Kalam maka ia menjadi seorang zindik. Barang siapa mencari harta dengan kimia maka ia akan bangkrut. Dan barang siapa megajarkan hadits dengan mengutip hadits-hadits gharib maka ia seorang pembohong”. Pernyataan semacam ini juga telah diriwayatkan dari al-Imam Malik dan al-Imam al-Qadli Abu Yusuf (sahabat al-Imam Abu Hanifah).
Jawab:
Masalah ini telah dijawab oleh al-Imam al-Baihaqi. Beliau mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Ilmu Kalam oleh mereka adalah Ilmu Kalam tercela yang digeluti oleh para ahli bid’ah. Karena di masa mereka penyebutan Ilmu Kalam konotasinya adalah Ilmu Kalam yang digeluti oleh para ahli bid’ah tersebut. Adapun kaum Ahlussunnah saat itu belum banyak membahas secara detail sebelum kemudian Ilmu Kalam ini menjadi sangat dibutuhkan untuk dibukukan dan dibahas secara komprehensif.
Masih menurut al-Baihaqi, mungkin pula yang dimaksud Ilmu Kalam yang dicela oleh para ulama Salaf di atas adalah bagi seorang yang hanya mempalajari Ilmu Kalam semata, dengan menyampingkan ilmu-ilmu Fikih yang sangat dibutuhkan untuk mengenal hukum halal dan haram, atau menolak hukum-hukum yang telah ditetapkan dalam syari’at hingga tidak terlakasananya hukum-hukum itu sendiri.
Kemudian al-Baihaqi juga mengatakan bahwa banyak para ulama Salaf yang memuji Ilmu Kalam untuk usaha memerangi faham-faham ahli bid’ah. Di antaranya al-Imam Hatim al-Ashamm, salah seorang seorang sufi terkemuka ahli zuhud dimasanya, mengatakan bahwa Ilmu Kalam merupakan ilmu pokok agama, sementara Ilmu Fikih merupakan cabangnya, dan pengamalan adalah buah dari ilmu-ilmu tersebut. Dengan demikian, kata al-Imam Hatim, barang siapa menggeluti Ilmu Kalam dengan menyampingkan Ilmu Fikih dan pengamalannya maka ia akan menjadi seorang zindik. Dan barang siapa mencukupkan dengan amalan saja tanpa didasarkan kepada Ilmu Kalam dan Ilmu Fikih maka akan menjadi seorang ahli bid’ah. Dan barang siapa mencukupkan dengan Ilmu Fikih saja dengan menyampingkan Ilmu Kalam maka ia akan menjadi seorang fasik. Dan barang siapa yang mempelajari semua disiplin ilmu tersebut maka dialah yang akan selamat[3].
Al-Imam al-Qadli Abu al-Ma’ali ‘Abdul Malik, yang lebih dikenal dengan sebutan Imam al-Juwaini, mengatakan bahwa orang yang berkeyakinan bahwa para ulama Salaf tidak mengetahui Ilmu Kalam atau Ilmu Ushul, atau berkeyakinan bahwa mereka menghindari ilmu ini dan bersikap apatis terhadapanya, maka orang ini telah berburuk sangka terhadap mereka. Karena sangat mustahil, baik secara akal maupun dari tinjuan agama, bahwa para ulama Salaf tersebut menghindari Ilmu Kalam ini. Padahal di kalangan mereka seringkali terjadi perdebatan dalam masalah-masalah Furu’iyyah. Dalam masalah ‘Aul misalkan, atau dalam masalah hak-hak seorang kakek (permasalahan dalam hukum waris), atau metode penetapan hukuman dan praktek qisas, serta berbagai masalah lainnya. Bahkan tidak jarang antara mereka satu sama lainnya sama-sama melakukan Mubahalah (bersumpah) dalam menetapkan kebenaran yang diyakini oleh masing-masing individu. Atau lihat misalnya, hanya untuk menetapkan permasalah najis saja, mereka dengan sekuat tenaga dan pikiran seringkali berusaha mencari banyak dalil, baik dalil-dalil untuk dirinya sendiri atau dalil-dali untuk mematahkan pendapat lawan. Bila keadaan mereka dalam masalah-masalah Furu’iyyah saja semacam ini, maka sudah barang tentu merekapun demikian adanya dalam masalah-masalah Ushuliyyah. Bukankah masalah-masalah Ushuliyyah jauh lebih besar urgensitasnya dibanding masalah-masalah Furu’iyyah?![4]
Dengan demikian sangat tidak logis jika diklaim bahwa para ulama Salaf tidak memiliki kompetensi dalam permasalahan-permasalahan Ilmu Kalam. Bukankah mereka dekat dengan masa kenabian?! Bukankah mereka menerima langsung ajaran-ajaran Islam ini dari pembawa syari’at itu sendiri, yaitu Rasulullah?! Kemudian kaum Tabi’in, kaum pasca sahabat Nabi, walaupun mereka tidak secara langsung menerima ajaran Islam dari Rasulullah, bukankah mereka menerima ajaran-ajaran tersebut dari para sahabat Rasulullah sendiri?! Jika diklaim bahwa kaum Tabi’in tidak mumpuni dalam Ilmu Kalam, berarti kalim ini sama saja dialamatkan kepada para sahabat Rasulullah. Dan klaim ini jika dialamatan kepada para sahabat Rasulullah, maka berarti sama juga dialamatkan kepada Rasulullah sendiri. Sekarang siapakah yang berani berkata bahwa Rasulullah tidak mengenal Allah, tidak ma’rifat kepada-Nya, tidak mengenal Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam?! Dari sini dapat kita simpulkan bahwa sebenarnya segala permasalahan yang berkembang dalam Ilmu Kalam telah benar-benar diketahui dan dipahami oleh Rasulullah dan para sahabatnya, atau para ulama Salaf pada umumnya.
Salah satu bukti bahwa para ulama Salaf benar-benar menggeluti Ilmu Kalam adalah adanya beberapa karya dari al-Imam Abu Hanifah dalam disiplin ilmu ini. Di antaranya; al-Fiqh al-Akbar, ar-Risalah, al-Fiqh al-Absath, al-‘Alim Wa al-Muta’allim, dan al-Washiyyah. Yang terakhir disebut, yaitu al-Washiyyah, terdapat perbedaan pendapat tentang benar tidaknya sebagai risalah dari al-Imam Abu Hanifah. Satu pendapat mengingkari risalah tersebut sabagai risalah dari al-Imam Abu Hanifah dengan alasan bukan dari hasil tangannya. Pendapat lain mengatakan bahwa risalah al-Washiyyah ini karya dari Muhammad ibn Yusuf al-Bukhari yang memiliki nama panggilan (kunyah) Abu Hanifah.
Pendapat yang mengingkari risalah tersebut sebagai tulisan al-Imam Abu Hanifah umumnya diungkapkan orang-orang Mu’tazilah. Hal ini karena isi dari risalah tersebut adalah bantahan terhadap kelompok-kelompok bid’ah, seperti faham Mu’tazilah sendiri. Pengingkaran kaum Mu’tazilah juga didasari pengakuan bahwa keyakinan al-Imam Abu Hanifah adalah persis sama dengan keyakinan mereka sendiri. Tentu pendapat Mu’tazilah ini hanyalah dusta belaka. Karena seperti yang sudah diketahui, al-Imam Abu Hanifah adalah sosok yang paling gigih memerangi para ahli bid’ah termasuk faham-faham Mu’tazilah sendiri.
Dalam Ilmu Kalam, dan seluruh disiplin ilmu lainnya, al-Imam Abu Hanifah adalah Imam terkemuka sebagai ahli ijtihad pada abad pertama hijriyah. Tentang hal ini dalam kitab at-Tabshirah al-Baghdadiyyah disebutkan sebagai berikut:
“Orang paling pertama sebagai ahli Kalam dikalangan ulama Fikih Ahlussunnah adalah al-Imam Abu Hanifah dan al-Imam asy-Syafi’i. Abu Hanifah telah menuliskan al-Fiqh al-Akbar dan ar-Risalah yang kemudian dikirimkan kepada Muqatil ibn Sulaiman untuk membantahnya. Karena Muqatil ibn Sulaiman ini adalah seorang yang berkeyakinan tajsim (Meyakini bahwa Allah adalah benda). Demikian pula beliau telah banyak membantah para ahli bid’ah dari kaum Khawarij, Rawafidl, Qadariyyah (Mu’tazilah) dan kelompok sesat lainnya. Para pemuka ahli bid’ah tersebut banyak tinggal di wilayah Bashrah, dan al-Imam Abu Hanifah lebih dari dua puluh kali pulang pergi antara Bashrah dan Baghdad hanya untuk membantah mereka, -padahal perjalanan saat itu sangat jauh dan sulit-. Dan tentunya al-Imam Hanifah telah memecahkan dan membungkam mereka dengan argumen-argumen kuatnya, hingga beliau menjadi panutan dan rujukan dalam segala permasalahan Ilmu Kalam ini”.
Al-Hafizh al-Khatib al-Baghdadi dengan sanadnya hingga al-Imam Abu Hanifah, meriwayatkan bahwa ia (al-Imam Abu Hanifah) berkata: “Saya telah benar-benar mempelajari Ilmu Kalam, hingga saya telah mencapai puncak sebagai rujukan dalam bidang ilmu ini”[5]. Kemudian al-Imam Abu Hanifah menceritakan bahwa ia baru benar-benar terjun dalam mempelajari Ilmu Fikih setelah ia duduk belajar kepada al-Imam Hammad ibn Sulaiman, dan ia melakukan itu setelah ia mumpuni dalam Ilmu Kalam tersebut.
Dalam riwayat lain dengan sanadnya dari al-Haritsi, bahwa al-Imam Abu Hanifah berkata:
“Saya telah dikaruniai kekuatan dalam Ilmu Kalam. Dengan ilmu tersebut saya memerangi dan membantah faham-faham ahli bid’ah. Kebanyakan mereka saat itu berada di Bashrah. Maka pada masa itu saya sering pulang pergi antara Bashrah dan Baghdad lebih dari dua puluh kali. Di antara perjalananku tersebut ada yang hingga menetap satu tahun di Bashrah, ada pula yang kurang dari satu tahun, dan ada pula yang lebih. Dalam hal ini aku telah membantah berbagai tingkatan atau sub sekte kaum Khawarij; seperti golongan Abadliyyah, Shafariyyah dan lainnya. Juga telah aku bantah berbagai faham kaum Hasyawiyyah”[6].
Al-Imam ‘Abd al-Qahir al-Bagdadi asy-Syafi’i, seorang teolog terkemuka di kalangan Ahlussunnah penulis kitab al-Farq Bain al-Firaq, dalam salah satu kitab karyanya berjudul Kitab Ushuliddin menuliskan sebagi berikut:
“Orang yang pertama kali bergelut dengan Ilmu Kalam dari kalangan para ahli Fikih adalah al-Imam Abu Hanifah dan al-Imam asy-Syafi’i. Al-Imam Abu Hanifah telah menulis satu kitab sebagai bantahan terhadap kaum Qadariyyah yang ia namakan dengan al-Fiqh al-Akbar. Sementara al-Imam asy-Syafi’i telah menulis dua karya dalam Ilmu Kalam, salah satunya penjelasan tentang kebenaran kenabian dan bantahan kepada kaum Brahma, dan yang ke dua bantahan terhadap Ahl al-Ahwa’”[7].
Al-Imam Abu al-Muzhaffar al-Isfirayini asy-Syafi’i, juga seorang teolog terkemuka di kalangan Ahlussunnah, dalam karyanya berjudul at-Tabshir Fiddin menuliskan sebagai berikut:
“Kitab al-‘Alim Wa al-Muta’allim karya al-Imam Abu Hanifah memuat berbagai argumen yang sangat kuat untuk membantah kaum ilhad (kaum kafir) dan para ahli bid’ah. Kemudian kitab karyanya dengan judul al-Fiqh al-Akbar, yang telah sampai kepada kami dengan jalur orang-orang tsiqah dan dengan sanad yang Shahih dari Nushair ibn Yahya dari al-Imam Abu Hanifah, adalah kitab yang berisikan bantahan kepada para ahli bid’ah. Barang siapa mempelajari karya-karya Ilmu Kalam tersebut dan karya-karya Ilmu Kalam al-Imam asy-Syafi’i maka dia tidak akan mendapati di antara madzhab ulama lain yang memiliki karya yang lebih jelas dari keduanya. Adapun beberapa tuduhan yang dialamatkan kepada keduanya yang berseberangan dengan isi karya-karya Ilmu Kalam mereka, maka itu semua adalah kedustaan yang dituduhkan oleh para ahli bid’ah untuk menyebarkan bid’ah mereka sendiri”[8].
Tentang lima risalah al-Imam Abu Hanifah yang telah kita sebutkan di atas, menurut pendapat yang paling kuat bukan benar-benar dengan tulisan tangan al-Imam Abu Hanifah sendiri. Tapi risalah-risalah tersebut adalah pelajaran yang didiktekan beliau kepada para sahabatnya; seperti Hammad ibn Zaid, Abu Yusuf, Abu Muthi’ al-Hakam ibn ‘Abdullah al-Balkhi, Abu Muqatil Hafsh ibn Salam as-Samarqandi dan lainnya. Sahabat-sahabat Abu hanifah inilah yang membukukan pelajaran-pelajaran beliau hingga menjadi risalah-risalah tersebut di atas.
Dari para sahabat al-Imam Abu Hanifah tersebut kemudian pelajaran-pelajaran yang sudah berbentuk risalah-risalah itu turun kepada generasi para ulama berikutnya. Di antaranya; Isma’il ibn Hammad, Muhammad ibn Muqatil ar-Razi, Muhammad ibn Samma’h, Nushair ibn Yahya al-Balkhi, Syidad ibn al-Hakam dan lainnya. Dari generasi ini kemudian turun dengan sanad yang shahih kepada al-Imam Abu Manshur al-Maturidi.
Dengan demikian pendapat yang mengatakan bahwa risalah-risalah di atas sebagai karya al-Imam Abu Hanifah adalah pendapat benar. Hanya saja risalah-risalah itu adalah hasil pengisian (Imla’) beliau terhadap para sahabatnya yang kemudian dibukukan. Demikian pula pendapat yang mengatakan bahwa risalah-risalah tersebut sebagai karya para sahabat generasi al-Imam Abu Hanifah, atau genarasi yang datang sesudahnya, adalah pendapat yang juga benar, karena risalah-risalah tersebut hasil kodifikasi atau pembukuan mereka. Demikianlah pendapat yang telah dinyatakan oleh al-Imam al-Hafizh Muhammad Murtadla az-Zabidi.
Al-Imam Badruddin az-Zarkasyi dalam Tasynif al-Masami’ Syarh Jama’ al-Jawami’ menyebutkan bahwa para ulama Salaf terdahulu sudah mentradisikan usaha dalam membantah faham-faham ahli bid’ah, baik dengan tulisan-tulisan maupun dalam forum-forum terbuka. Dalam usaha tersebut al-Imam asy-Syafi’i telah menulis kitab al-Qiyas sebagai bantahan terhadap faham yang mengatakan bahwa alam tidak memiliki permulaan. Beliau juga telah menulis kitab dengan judul ar-Radd ‘Ala al-Barahimah, dan beberapa karya lainnya yang khusus ditulis untuk menyerang faham-faham di luar Ahlussunnah. Sebelum al-Imam asy-Syafi’i, al-Imam Abu Hanifah juga telah melakukan hal yang sama. Dalam hal ini al-Imam Abu Hanifah telah menulis kitab al-Fiqh al-Akbar dan kitab al-‘Alim Wa al-Muta’allim untuk membantah orang-orang zindik. Demikian pula dengan al-Imam Malik ibn Anas dan al-Imam Ahmad ibn Hanbal. Mereka semua adalah para Imam yang giat memerangi faham-faham sesat yang berseberangan dengan akidah Rasulullah dan para sahabatnya.
Kemudian dari pada itu, al-Imam Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari (w 256 H), pimpinan para ahli hadits, penulis kitab al-Jami’ as-Shahih, telah menulis sebuah kitab yang sangat penting berjudul Khalq Af’al al-‘Ibad. Sebuah kitab bantahan terhadap faham Qadariyyah atau Mu’tazilah yang berpendapat bahwa manusia adalah pencipta bagi perbuatannya sendiri. Dengan secara rinci al-Imam al-Bukhari mematahkan satu-persatu faham-faham Qadariyyah, dan menetapkan kebenarakan akidah Ahlussunah bahwa segala perbuatan manusia adalah ciptaan Allah, bukan ciptaan manusia sendiri.
Kemudian ahli hadits lainnya yang juga merupakan sahabat al-Imam al-Bukhari; al-Imam Nu’aim ibn Hammad al-Khuza’i (w 228 H) telah menulis sebuah kitab yang sangat penting dalam bantahan terhadap kaum Jahmiyyah dan beberapa kelompok sesat lainnya.
Demikian pula al-Imam Muhammad ibn Aslam at-Thusi (w 242 H), juga seorang ahli hadits terkemuka yang merupakan salah seorang sahabat al-Imam Ahmad ibn Hanbal, telah menuliskan kitab yang sangat penting dalam bantahan terhadap kaum Jahmiyyah. Setidaknya ada tiga orang sahabat al-Imam Ahmad ibn Hanbal yang gigih membela akidah Ahlussunnah dengan tulisan-tulisannya. Mereka adalah al-Imam al-Harits al-Muhasibi; yang juga seorang sufi terkemuka, al-Imam al-Husain al-Karabisi, dan al-Imam ‘Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab al-Qaththan. Termasuk juga dalam hal ini saudara kandung dari Imam yang terakhir disebut; yaitu al-Imam Yahya ibn Sa’id al-Qaththan.
Kemudian di kalangan ulama madzhab Hanafi, masih di masa Salaf, pasca al-Imam Abu Hanifah, ada seorang ulama besar ahli teologi dan ahli hadits juga ahli fikih, yaitu al-Imam Abu Ja’far at-Thahawi (w 321 H). Tulisan risalah akidah Ahlussunnah yang beliau bukukan, yang dikenal dengan al-‘Aqidah at-Thahawiyyah, menjadi salah satu rumusan yang benar-benar terkodifikasi sebagai penjabaran akidah al-Imam Abu Hanifah dan para Imam Salaf secara keseluruhan. Yang hingga sekarang risalah al-‘Aqidah at-Thahawiyyah ini menjadi sangat mashur sebagai akidah Ahlussunnah, yang diterima dari masa ke masa dan antara generasi ke genarasi.
Walaupun al-Imam at-Thahawi tidak pernah bertemu dengan al-Imam Abu Hanifah, karena memang tidak semasa, namun ungkapan-ungkapan yang beliau tulis dalam risalahnya ini adalah perkataan-perkataan al-Imam Abu Hanifah yang beliau kutip dengan sanadnya dari para murid-murid al-Imam Abu Hanifah sendiri. Dalam pembukaan risalah al-‘Aqidah at-Thahawiyyah, al-Imam at-Thahawi menuliskan sebagai berikut: “Ini adalah penjelasan akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah, di atas madzhab para ulama agama; Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit al-Kufi, Abu Yusuf Ya’qub ibn Ibrahim al-Anshari, dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani”[9].
Tulisan-tulisan tentang Ilmu Kalam kemudian menjadi sangat berkembang, terlebih setelah menyebarnya karya-karya dua Imam Ahlussunnah yang agung, yaitu al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan al-Imam Abu Manshur al-Maturidi. Dua Imam ini telah menulis berbagai karya dalam menetapkan rumusan-rumusan akidah Ahlussunnah di tambah dengan bantahan-bantahan terhadap berbagai kelompok di luar Ahlussunnah, dengan argumen-argumen yang sangat kuat, baik dalil-dalil akal maupun dalil-dalil tekstual. Terutama al-Imam al-Asy’ari yang berada di wilayah Bashrah saat itu, beliau adalah sosok yang sangat ditakuti oleh kaum Mu’tazilah.
Al-Hafizh al-Lughawi al-Imam Muhammad Murtadla az-Zabidi dalam kitab Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ Ulumiddin menuliskan sebagai berikut:
“Segala permasalah akidah yang telah dirumuskan oleh dua Imam agung; al-Asy’ari dan al-Maturidi adalah merupakan dasar-dasar akidah yang diyakini semua ulama. Al-Asy’ari membangun landasan-landasan karyanya dari madzhab dua imam agung; al-Imam Malik dan al-Imam asy-Syafi’i. Beliau merumuskan landasan-landasan tersebut, merincinya, menguatkannya, dan kemudian membukukannya. Sementara al-Maturidi membangun landasan karyanya dari teks-teks madzhab al-Imam Abu Hanifah”[10].
Al-Imam Badruddin az-Zarkasyi dalam Tasynif al-Masami’ menuliskan sebagai berikut:
“al-Imam Abu Bakar al-Isma’ili mengatakan bahwa keagungan ajaran agama Islam ini, yang semula telah padam, kebanyakan telah dihidupkan kembali oleh Ahmad ibn Hanbal, Abu al-Hasan al-Asy’ari, dan Abu Nu’aim al-Istirabadzi. Dalam pada ini Abu Ishaq al-Marwazi berkata: Saya telah mendengar al-Mahamili berkata dalam pujiannya kepada Abu al-Hasan al-Asy’ari: “Seandainya beliau bertemu Allah dalam keadaan banyak dosa sebanyak tanah di bumi ini, bagiku ia mungkin akan diampuni oleh Allah karena telah benar-benar membela agama-Nya”. Sementara Ibn al-‘Arabi berkata: “Pada permulaannya kaum Mu’tazilah sebagai kaum yang memiliki kedudukan, hingga kemudian Allah menjadikan al-Asy’ari balik menyerang mereka hingga beliau telah menjadikan mereka terkungkung dalam biji-biji wijen, tidak memiiki kekuatan”[11].
Di kemudian hari, pasca al-Imam al-Asy’ari dan al-Imam al-Maturidi, Ilmu Kalam ini berkembang lebih pesat lagi. Hal ini ditandai dengan bermunculannya berbagai karya dari para pengikut kedua imam agung tersebut. Sangat banyak karya-karya yang dihasilkan, puluhan bahkan ratusan jilid, dengan argumen-argumen yang lebih matang dan dengan formulasi yang lebih sistematik. Di dalamnya banyak dimuat dialog-dialog dengan firqah-firqah di luar Ahlussunnah, seperti kaum Dahriyyah, kaum Filsafat, kaum Musyabbihah dan bahkan para ahli ramal (al-Munajjimun). Dan kemudian makin banyak bermunculan panji-panji Ahlussunnah yang giat mengibarkan madzhab al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ri di berbagai penjuru dunia Islam.
Di antara mereka yang memiliki andil besar dalam penyebaran akidah ini adalah; al-Imam al-Ustadz Abu Bakar ibn Furak (w 406 H), al-Imam Abu Ishaq al-Isfirayini, dan al-Imam al-Qadli Abu Bakr al-Baqillani (w 403 H). Dua imam yang pertama menjadikan wilayah penyebarananya di daerah timur. Sementara al-Baqillani menyebarkannya di wilayah barat dan timur sekaligus. Maka pada permulaan abad lima hijriyah, dipastikan hampir seluruh pelosok dunia Islam di belahan timur dan barat adalah kaum Ahlussunnah; Asy’ariyyah dan Maturidiyyah. Tidak ada seorang ulamapun, baik ahli Fikih atau ilmu lainnya dalam ulama empat madzhab, kecuali di dalam akidah dia adalah seorang pengikut al-Asy’ari atau pengikut al-Maturidi. Adapun kelompok yang menyempal dari Ahlussunnah, hanyalah kelompok-kelompok kecil dari firqah Mu’tazilah, Musyabbihah dan beberapa gelintir orang-orang Musyabbihah.
Wa Shallallahu Ala Sayyidina Muhammad Wa Sallam.
Wa al Hamdu Lillah Rabbil ‘Alamin.
[1] Tabyin Kadzib al-Mutftari, h. 339
[2] Manaqib asy-Syafi’i karya ar-Razi, h. 194-195. Lihat juga al-Asma’ Wa as-Shifat karya al-Baihaqi, h. 252
[3] Lihat Tabyin Kadzib al-Muftari, h. 334
[4] Ibid, h. 354
[5] Tarikh Baghdad, j. 13, h. 333
[6] Lihat Muqaddimah Isyrat al-Maram karya al-Imam al-Bayyadli yang ditulis oleh al-Imam as-Syaikh Muhammad Zahid al-Kautsari mengutip dari kitab Manaqib al-Imam Abi Hanifah.
[7] Kitab Ushuliddin, h. 308
[8] at-Tabshir Fiddin, h. 113
[9] Lihat matan al-‘Akidah at-Thawiyyah dalam Izhar al-‘Akidah as-Sunniyyah Bi Syarh al-‘Akidah at-Thawiyyah, karya al-Hafizh as-Syaikh ‘Abdullah al-Habasyi, h. 341
[10] Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ ‘Ulumiddin, j. 2, h. 13
[11] Tasynif al-Masami’ Syarh Jama’ al-Jawami’, h. 395
Tiada ulasan:
Catat Ulasan