Adab-adab Menziarah Kubur




Abu ‘Abdillah Muhammad bin Abu Bakr Az Zur’i rahimahullah pernah berkata, “Memuliakan mayit yang berada di kubur serupa dengan memuliakannya di rumah yang ditempati semasa hidupnya di dunia, karena kubur yang dia tempati saat ini telah menjadi kediaman (baru) baginya”[1].
Kita layak memperhatikan apa yang beliau katakan. Perkataan beliau tersebut menunjukkan seorang muslim meski telah wafat, berhak untuk mendapatkan perlakuan santun dari saudaranya yang masih hidup sebagaimana perlakuan tersebut ia dapatkan semasa hidupnya di dunia. Hal ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang santun dan sangat memperhatikan hak-hak sesama penganutnya, meskipun mereka tidak lagi hidup di dunia ini.

Faktor yang memperkuat kenyataan tersebut adalah Islam telah mengatur berbagai adab yang berkaitan dengan praktek ziarah kubur, setiap muslim sepatutnya memperhatikan berbagai adab tersebut. oleh karena itu, secara ringkas akan kami paparkan beberapa adab ziarah kubur yang dapat kami kumpulkan disertai dengan berbagai dalil dari al Qur-an dan sunnah nabi yang shahih diiringi dengan pernyataan para ulama. Berikut beberapa adab ziarah kubur yang berhasil kami kumpulkan.

Ikhlas dan Mengharapkan Pahala dari Ziarah Kubur yang akan Dilakukan

Seyogyanya setiap muslim menyadari bahwa ziarah kubur merupakan ibadah karena pelaksanaannya diperintahkan oleh nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang telah kita ketahui.

“Kamu menganggapnya suatu yang sepele, padahal dia di sisi Allah adalah besar” (An Nuur: 15).

Oleh sebab itu, ziarah tersebut diniatkan untuk mendapatkan pahala dan bukan diiringi dengan tendensi-tendensi tertentu. Betapa banyak peziarah tidak menyadari hal ini sehingga dirinya terluput dan terhalang untuk mendapatkan pahala.

وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمٌ (١٥)

Mengucapkan salam kepada Penghuni Kubur

Dianjurkan bagi peziarah untuk mengucapkan salam kepada para penghuni kubur tatkala memasuki areal pekuburan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menuntunkan ucapan salam tersebut dalam beberapa hadits beliau, diantaranya,

اَلسَّلاَمُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَيَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِيْنَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لَلاَحِقُوْنَ

“Semoga keselamatan tercurah kepadamu, wahai kaum muslimin dan mukminin. Semoga Allah memberikan rahmat kepada mereka yang telah mendahului kami maupun yang akan menyusul, dan kami insya Allah akan menyusul kalian.”[2].

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوُمِ مُؤْمِنِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ

“Semoga keselamatan tercurah kepada kalian, wahai penghuni kampong kediaman kaum mukminin. Kami insya Allah akan segera menyusul kalian.”[3].

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وِالْمُسْلِمِيْنَ وِإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ . نَسْأَلُ اللهِ لَنَا وَلَكُمُ العَافِيَةَ

“Semoga keselamatan tercurah kepada kalian, penghuni kampong kediaman, dari kalangan muslimin dan mukminin. Ssungguhnya kami akan menyusul kalian. Kami memohon kepada Allah agar keselamatan diberikan kepada kami serta kalian.”[4].

Namun, tidak disyari’atkan mengucapkan salam tatkala berziarah ke pekuburan orang kafir. Bahkan disyari’atkan untuk memberitakan kepada mereka bahwa adzab neraka akan segera mereka dapatkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berpesan pada seorang Badui dengan sabda beliau,

حيث ما مررت بقبر كافر فبشره بالنار
“Kabarkanlah kepada orang kafir bahwa neraka telah menanti jika engkau melewati kuburnya”.

Tatkala Badui tersebut telah masuk Islam, maka diapun mengatakan,

لقد كلفني رسول الله صلى الله عليه وسلم تعبا ما مررت بقبر كافر إلا بشرته بالنار

“Sungguh rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan tugas yang membuatku capek. (Sejak beliau memerintahkanku), saya mengabarkan bahwa adzab neraka telah menanti setiap kali diriku melewati kubur orang kafir”[5]

Melepas Sandal dan Tidak Berjalan di Atas Kubur

Peziarah diharuskan melepas sandal ketika memasuki areal pekuburan dan tidak berjalan di atas kubur sebagai bentuk penghormatan kepada saudaranya sesama kaum muslimin yang telah wafat. Hal ini dinyatakan dalam hadits Basyir bin Ma’bad radhiallahu ‘anhu, “Pada suatu hari saya berjalan bersama rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tiba-tiba beliau melihat seorang yang berjalan di areal pekuburan dengan memakai sandal, maka beliau menegurnya, “Yaa shahibas sibtiyyatain (wahai yang menggunakan dua sandal), celaka engkau, lepaskan sandalmu!” Orang tersebut melongok kepada yang menegurnya, tatkala dia mengetahui orang tersebut adalah rasulullah, serta merta dia mencopot kedua sandalnya.”[6].

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لأن أمشي على جمرة أو سيف أو أخصف نعلي برجلي أحب إلي من أن أمشي على قبر مسلم . وما أبالي أوسط القبور قضيت حاجتي أو وسط السوق

“Sungguh, aku berjalan di atas bara api atau pedang, atau aku ikat sandalku dengan kakiku lebih aku sukai daripada berjalan di atas kubur seorang muslim. Dalam pandanganku, kejelekannya sama saja, buang hajat di tengah kubur atau di tengah pasar.”[7].


Abu Dawud rahimahullah berkata,

“Aku melihat Imam Ahmad, jika beliau mengiringi jenazah dan telah mendekati areal pekuburan, beliau melepas kedua sandalnya.”[8].

Al ‘Allamah Abu ‘Abdillah Muhammad bin Abu Bakr Az Zur’i rahimahullah mengatakan,

“Siapapun yang merenungkan larangan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk duduk di atas kubur, bersandar dan berjalan di atasnya, tentu dia akan mengetahui bahwasanya larangan tersebut bertujuan untuk menghormati para penghuni kubur sehingga manusia tidak menginjakkan kaki pada kepala mereka dengan sandal. Oleh sebab itu, beliau pun melarang untuk buang air di antara kuburan dan memberitakan bahwa duduk di atas bara api hingga membakar baju itu lebih baik ketimbang duduk di atas kubur. Hal ini tentunya lebih ringan daripada berjalan diantara kuburan dengan menggunakan sandal. Kesimpulannya: wajib menghormati mayit yang mendiami kuburnya sebagaimana penghormatan tersebut dilakukan di rumah yang dikediami semasa hidupnya. Sesungguhnya kubur tersebut telah menjadi kediaman baginya.” [9].

Mendo’akan Ampunan bagi Mayit, Tidak Mendo’akan Keburukan atau Mencelanya

Dari penjelasan pengarang Zaadul Ma’ad yang telah lewat mengenai tata cara ziarah kubur nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kita temukan bahwa peziarah dianjurkan untuk mendo’akan ampunan bagi mayit, sebagaimana hal ini juga terkandung dalam salam yang diucapkan ketika memasuki pekuburan.

Tidak boleh bagi peziarah untuk mendo’akan keburukan bagi saudaranya yang telah wafat.

Terdapat hadits yang menyatakan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a bagi penghuni kubur. Dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha, dirinya berkata, “Pada suatu malam, rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari rumah. Maka aku mengutus Barirah untuk membuntuti beliau, agar dirinya mengetahui kemana gerangan beliau pergi.” Aisyah melanjutkan, “Ternyata beliau pergi ke pemakaman Baqi’ul Gharqad. Beliau berdiri di ujung pemakaman tersebut sembari mengangkat tangannya (untuk berdo’a), kemudian beliau pun pergi. Barirah pun kembali dan memberitahukan hal tersebut kepadaku. Tatkala pagi menjelang, aku pun bertanya kepada beliau, “Wahai rasulullah, kemanakah gerangan engkau semalam?” Aku diperintahkan untuk pergi ke pekuburan al Baqi’ untuk mendo’akan mereka.”[10].


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

لا تسبوا الأموات فإنهم قد أفضوا إلى ما قدموا

“Janganlah kalian mencela orang yang telah wafat. Sesungguhnya mereka telah mendapatkan ganjaran atas apa yang telah mereka perbuat.”[11].

Mengambil Pelajaran dari Ziarah Tersebut


Hal ini tuntutan dari hikmah pensyari’atan ziarah kubur, yaitu untuk mengingatkan peziarah akan kematian yang akan menjemput dan mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat yang akan dijalani serta berlaku zuhud di dunia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ألا فزوروها فإنها ترق القلب، وتدمع العين، وتذكر الاخرة

“Ziarahilah kubur, sesungguhnya hal itu dapat melembutkan hati, meneteskan air mata dan mengingatkan pada kehidupan akhirat”[12].

Tidak Bercanda ketika Berziarah Kubur

Ziarah kubur dilakukan untuk mengingatkan peziarah terhadap kehidupan akhirat bahwa dirinya akan mengalami kematian seperti yang dialami penghuni kubur. Tidak selayaknya jika peziarah malah bercanda, melakukan guyon di areal pekuburan karena hal tersebut bertentangan dengan tujuan pensyari’atan ziarah kubur, melalaikan hati dan salah satu bentuk ketidaksopanan terhadap penghuni kubur dari kalangan kaum muslimin. Ash Shan’ani mengatakan, “Seluruh hadits ini menunjukkan pensyari’atan ziarah kubur serta memuat penjelasan hikmah di balik hal tersebut, yaitu agar mereka dapat mengambil pelajaran tatkala berziarah kubur. Dalam lafadz hadits Ibnu Mas’ud disebutkan hikmah tersebut, yaitu untuk pelajaran, mengingatkan pada akhirat dan agar peziarah senantiasa berlaku zuhud di dunia. Apabila ziarah kubur dilakukan dengan tujuan selain ini, maka ziarah yang dilakukan tergolong sebagai perbuatan yang tidak sesuai dengan syari’at.”[13].

Menjauhi Perkataan-perkataan Batil seperti Meratap atau Menangis dengan Meraung-raung

Boleh bagi peziarah untuk menangis jika teringat akan kebaikan mayit atau semisalnya berdasarkan hadits Anas bin Malik radliallahu ‘anhu, dia berkata,

“Aku turut menghadiri pemakaman anak perempuan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan beliau duduk di samping kuburnya. Aku melihat kedua mata beliau mengucurkan air mata.”[14].

Terdapat juga atsar dari Hani, maula Utsman radliallahu ‘anhu yang menyatakan bahwa Utsman sering menangis apabila melewati areal pekuburan[15].

Namun yang harus dihindari jangan sampai tangisan tersebut justru membuat dirinya meratap, mengucapkan atau melakukan perbuatan yang mengundang kemurkaan Allah ta’ala dan menghilangkan kesabaran sehingga menampakkan bahwa dirinya tidak menerima ketetapan Allah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من نيح عليه فإنه يعذب بما نيح عليه يوم القيام

“Barangsiapa yang ditangisi dan diiringi dengan ratapan, maka ia akan merasa tersiksa pada hari kiamat kelak disebabkan ratapan tersebut.”[16].

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

إن الله لا يعذب بدمع العين ولا بحزن القلب ولكن يعذب بهذا – وأشار إلى لسانه

“Sesungguhnya Allah tidaklah mengadzab disebabkan bercucurnya air mata atau bersedihnya hati. Namun Allah membuatnya tersiksa dengan sebab (ratapan) yang diucapkan oleh lisan seseorang-beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berisyarat dengan menunjuk lisannya.”[17].

Imam asy Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Akan tetapi tidak boleh mengatakan perkataan yang terlarang di samping kubur, seperti menyumpah serapahi diri sendiri atau meratap. Namun, jika anda berziarah untuk memintakan ampun bagi mayit, melembutkan hati anda dan mengingat akirat, maka hal ini tidak aku benci.”[18].

Demikianlah uraian yang dapat kami sampaikan pada kesempatan ini. Semoga bermanfaat bagi diri kami pribadi dan sidang pembaca.


Selesai diedit kembali

Gedong Kuning, Yogyakarta, 12 Rabi’uts Tsani 1430.




--------------------------------------------------------------------------------

[1] Tahzib ‘Aunul Ma’bud 7/216; Asy Syamilah.

[2] HR. Muslim nomor 974, An Nasaai 2037, Al Baihaqi nomor 7003, Abdurrazzaq nomor 6722

[3] HR. Muslim nomor 249

[4] HR. Ibnu Majah nomor 1547 dengan sanad yang shahih

[5] HR. Ath Thabrani dalam Al Mu’jamul Kabir 1/145, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Ahkaamul Janaaiz hal. 251

[6] HR. Abu Dawud nomor 3230 dengan sanad hasan

[7] HR. Ibnu Majah nomor 1567 dengan sanad yang shahih

[8] Al Masaail hal. 158, dinukil dari Ahkaamul Janaaiz hal. 253

[9] Aunul Ma’bud 7/216

[10] HR. Ahmad nomor 24656 dengan sanad yang shahih, lihat Ash Shahihah nomor 1774

[11] HR. Bukhari nomor 1329

[12] HR. Hakim 1/376 dan selainnya dengan sanad hasan, lihat Ahkamul Janaiz hal.180

[13] Subulus Salam 2/162

[14] HR. Bukhari nomor 1291, Muslim nomor 933

[15] HR. Ibnu Majah nomor 4267 dengan sanad yang hasan

[16] HR. Muslim nomor 933

[17] HR. Bukhari nomor 1304

[18] al Umm 1/317

Tiada ulasan:

Catat Ulasan