Membongkar Kesesatan Wahhabiyyah Yang Mengingkari Makna Istawâ Dengan Pengertian Istawlâ

Kerancuan Pertama:



Kaum Musyabbihah Wahhabiyyah mengatakan bahwa tafsir Istawâ dengan Istawlâ sebagai sesuatu yang mashur adalah anggapan batil dan tidak memiliki dasar, karena tidak ada seorangpun dari para ahli bahasa dan ulama yang memaknai Istawâ dengan Istawlâ. Dengan demikian penafsiran ini, menurut mereka, adalah sesuatu yang diingkari oleh para ahli bahasa sendiri. Salah seorang pemuka Wahhabiyyah bernama Muhammad Utsaimin dalam salah satu bukunya menuliskan:

"Dalam bahasa Arab sama sekali tidak ada kata Istawâ dalam makna Istawlâ". (Syarh al-'Aqîdahal-Wâsithiyyah, j. 1, h.381, karya Muhammad Utsaimin ).



Selain Muhammad Utsaimin, pemuka kaum Wahhabiyyah lainnya bernama Abd al-Hadi Wahbi menuliskan:

"Tidak ada seorangpun dari para ulama ahli bahasa yang menyatakan demikian (menafsirkan Istawâ dengan Istawlâ) yang pendapatnya dapat dibenarkan" (Kitab berjudul al-Kalimât al-Hisân, h. 255).



Jawab:



Pemaknaan Istawâ dengan Istawlâ biasa dipergunakan dalam bahasa Arab,sebagaimana dinyatakan oleh para ahli bahasa sendiri yang kepakaran dan keahlian mereka telah disepakati oleh para ulama. Simak salah seorang mereka; Imamal-Lughawiy Abu al-Qasim al-Husain ibn Muhammad yang lebih dikenal dengan sebutan ar-Raghib al-Ashbahani (w 502 H), berkata:

"Kata Istawâ, jikadijadikan Fi'il Muta'addî (kata kerja yang membutuhkan objek) dengan ditambahkan "'Alâ" maka maknanya tertentu hanya dalam pengertian manguasai, seperti dalam firman Allah: "ar-Rahmân 'Alâ al-'ArsyIstawâ" (QS. Thaha: 5)".( al-Mufradât FîGharîb al-Qur'ân, h. 251).



Selainar-Raghib al-Ashbahani masih panjang daftar nama pakar bahasa lainnya yangtelah mengungkapkan pemknaan Istawâ dengan Istawlâ, di antaranya; al-Lughawiy Ahmad ibn Muhammad ibn Ali al-Fayyumi (w 770 H) dalam kitab kamus al-Mishbâh al-Munîr, al-Lughawiy Abu Ishaq az-Zajjaj (w 311 H) dalam Ma'ânî al-Qur'ân, al-Lughawiy Abu al-Qasimaz-Zajjaji (w 340 H) dalam kitab Isytiqâq Asmâ' Allâh, al-Lughawiy Ibn Manzhur (w 711 H) dalam Lisân al-'Arab, Imam al-Lughawiy al-Hâfizh Muhammad Murtadla az-Zabidi (1205 H) dalam Ithâf as-Sâdahal-Muttaqîn dan lainnya.



Demikian pula penafsiran ini telah dikemukakan oleh para ulama terkemuka. Jumlah mereka sangat banyak, kita membutuhkan banyak lembaran kertas untuk menuliskan nama mereka semua. Cukup bagi kita bahwa di antara mereka adalah Imam al-Mujtahid Abu Ja'far Muhammad Ibn Jarir ath-Thabari (w 310 H) yang telah menyebutkandalam kitab tafsirnya yang sangat mashur; Tafsîr ath-Thabari yang telah menuliskan bahwa penggunaan kata Istawâ dalam bahasa Arab memiliki banyak pengertian, lalu beliau mengatakan:

"Di antara maknanya adalahmenundukan dan menguasai, sebagaimana bila dikatakan dalam bahasa Arab "IstawâFulân 'Alâ al-Mamlakah", maka artinya bahwa si fulan telah menguasai danmenundukan kerajaan tersebut". ( Jâmi' al-Bayân, j.1, h. 192).



Imam Ibn Jarir ath-Thabari adalah salah seorang ulama Salaf terkemuka yang telah mencapai derajat mujtahid mutlak dalam keilmuannya, dengan sangat jelas dalam kitab tafsirnya menyebutkan bahwa di antara makna Istawâ adalah Istawlâ. Demikian pula penafsiran ini dinyatakan oleh para pakar bahasa, di antaranya oleh Imam ar-Raghib al-Ashbahani, yang kepakarannya telah disepakati baik oleh kita sebagai kaum Ahlussunnah atau oleh orang-orang Wahhabi sendiri. Lalu dengan dasar apakah --kalau bukan hanya karena hawa nafsu belaka--, kaum Wahhabiyyah mengklaim bahwa pemaknaan Istawâ dengan Istawlâ sama sekali tidak dikenal penggunaannya dalam bahasa Arab?!

Kerancuan Ke Dua:



Terkadang seorang Mujassim atau seorang Wahhabi berkata: "Benar, kami mengakui bahwa diantara makna Istawâ adalah Istawlâ, yang berarti menundukan atau menguasai, hanya saja makna ini menuntut adanya penentang bagi Allah, yang kemudian Allah dapat mengalahkan dan menguasai penentang-Nya tersebut (Sabqal-Mughâlabah), padahal tidak ada siapapun yang dapat menentang Allah".



Jawab:



Memaknai Istawâ dengan Istawlâ sama sekali tidak menuntut adanya penentang bagi Allah, karena makna Istawlâ di sini sama dengan makna Qahara,yang keduanya sama-sama bermakna menundukan atau menguasai. Pada makna kata Qahara, kita meyakini bahwa di dalamnya tidak ada inidikasi Sabq al-Mughâlabah,dan karenanya Allah menamakan diri-Nya dengan al-Qahhâr dan al-Qâhir; artinya Yang Maha menguasai, sebagaimana hal ini tertulis dalam firman-Nya: "Wa Huwa al-Wâhid al-Qahhâr" (QS. Ar-Ra'd: 16), dan dalam firman-Nya: "Wa Huwa al-Qâhiru Fawqa 'Ibâdih" (QS. Al-An'am: 18), maka demikian pula makna dalam kata Istawlâ yang berarti menguasai, kita meyakini makna kekuasaan Allah ini bukan dalam pengertian adanya Sabq al-Mughâlabah bagi-Nya.



Karenaitu Imam Abu Nashr Abd ar-Rahim al-Qusyairi (w 514 H), dalam bantahannya atas orang yang mengingkari makna Istawlâ hanya karena adanya indikasi Sabqal-Mughâlabah, menuliskan sebagai berikut:

"Jika ada yang mengatakan bahwa pemaknaan Istawâ dengan Qahara atau Ghalaba memberikan indikasi seakan Allah terlebih dahulu dikalahkan (Sabq al-Mughâlabah), maka kita jawab: Jika demikian, lantas bagaimana dengan firman: "Wa Huwa al-Qâhiru Fawqa 'Ibâdih" (QS.Al-An'am: 129), apakah dengan dasar ayat ini kalian juga akan mengatakan bahwa Allah terlebih dahulu dikalahkan oleh hamba-hamba-Nya?! Pemahaman kalian benar-benar keliru. Bagaimana kalian akan berani mengatakan bahwa hamba-hamba Allah mengalahkan Allah, padahal mereka semua adalah makhluk-makhluk-Nya?!Justeru sebaliknya, jika makna Istawâ ini di artikan seperti yang dipahami oleh oleh kaum Musyabbihah yang bodoh bahwa Allah bersemayam atau bertempat dengan Dzat-Nya di atas arsy maka berarti hal tersebut memberikan pemahaman bahwa Allah berubah, dari sebelumnya bukan di atas arsy kemudian menjadi di atas arsy, karena sesungguhnya arsy itu adalah ciptaan Allah" (Ithâfas-Sâdah al-Muttaqîn, j.2, h. 108).

Tiada ulasan:

Catat Ulasan