TASHAWWUF YANG SESUNGGUHNYA


Di antara kesesatan baru yang dimunculkan oleh kelompok Wahhabiyyah adalah penghinaan mereka terhadap tasawwuf dan para sufi secara keseluruhan. Dalam hal ini mereka telah menyalahi apa yang dikemukakan oleh panutan mereka sendiri yaitu Ibnu Taimiyyah, sebagaimana terdapat dalam kitab Syarh Hadits Nuzul bahwasanya Ibnu Taimiyyah memuji al-Junaid dan mengatakan bahwa beliau adalah Imam Huda (imam pembawa petunjuk). Mereka juga menyalahi pendapat Imam Ahmad, karena Imam Ahmad diceritakan pernah bertanya kepada Abu Hamzah dengan perkataan beliau: "Apa yang kamu katakan wahai sufi?". Pengingkaran mereka secara muthlaq ini menunjukkan akan kebodohan dan kesembronoan mereka.



Sufi adalah orang yang selalu berpegang teguh pada al-Qur'an dan Sunnah, menjalankan kewajiban, meninggalkan hal-hal yang diharamkan serta menjauhi kemewahan baik dalam pangan, sandang atau kebutuhan-kebutuhan hidup lainnya. Sifat semacam inilah yang dimiliki oleh al-khulafa ar-Rasyidin, oleh karena itu Abu Nu'aim menyusun kitabnya yang berjudul hilyatul auliya dan memulainya dengan menyebutkan al-khulafa ar-Rasyidin, dengan tujuan untuk menujukkan siapa saja yang benar-benar sufi dari beberapa orang yang hanya mengaku-ngaku sufi, karena pada saat itu tersebar kesesatan dari beberapa orang dalam bertasawwuf, dan banyak sekali orang-orang yang mengaku sufi, padahal mereka sama sekali bukanlah ahli tasawwuf.



Orang-orang Wahhabi hendaklah mengetahui bahwasanya mereka sembrono dalam menghukumi tasawwuf, apa salahnya jika harus ada gelar "sufi", sementara para ulama seperti Ibnu Hibban banyak sekali menyebutkan para perawi yang terkenal dengan kesufiannya, sebagaimana disebutkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya: "Menceritakan kepada kami Musa ibn Khalaf dan beliau termsuk wali abdal". Begitu juga al-Baihaqy yang banyak meriwayatkan hadits dari ar-Raudzabary salah seorang sufi terkenal yang juga murid dari Imam al-Junaid ibn Muhammad radliyallahu 'anhuma. Kalau pengingkaran mereka itu hanya bertolak dari adanya gelar "sufi" maka seharusnya mereka juga mengingkari adanya sebutan "Syeikh .....", karena pada masa-masa awal kebangkitan Islam sama sekali tidak dikenal adanya gelar "syeikh" untuk para ulama, begitu juga gelar "Syaikhul Islam" bagi beberapa ulama yang hidup setelah abad ketiga Hijriyyah, lalu apa bedanya antara "sufi" dengan "syeikh", dan larangan seperti apakah yang mencegah adanya penggunaan istilah baru selama istilah tersebut tidak bertentangan dengan syara', sementara para ahli nahwu sendiri telah membuat istilah-istilah baru dalam hal i'rab, seperti: لا يجوز كذا، يجب كذا .



Adapun jika mereka menyalahkan gaya hidup para sufi yang selalu meninggalkan tana'um, maka berarti mereka juga menyalahkan para nabi, karena gaya hidup yang seperti itu juga diterapkan oleh para nabi dalam kehidupan mereka. Seperti Nabi Isa 'alaihissalam yang diceritakan bahwasanya beliau hanya makan daun-daunan mentah dan hanya memakai pakaian dari bulu. Begitu juga Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam yang memiliki kebiasaan selama satu atau dua bulan tidak pernah makan makanan yang dimasak dan hanya makan kurma dan minum air. Sepantasnya bagi orang-orang Wahhabi untuk dikatakan kepada mereka sebuah bait sya'ir yang berbunyi:



وإذا لم تر الهلال فسلم # لأناس رأوه بالأبصار

Maknanya: "Jika kamu tidak bisa melihat bulan sabit, maka percayalah pada orang-orang yang telah melihatnya dengan mata kepala mereka".



Kalau seandainya mereka berkata bahwa hal itu bertentangan dengan firman Allah ta'ala:

قل من حرم زينة الله التي أخرج لعباده والطيبات من الرزق

Maknanya: "Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?".



Maka kita katakan kepada mereka: bedakan antara apa yang kalian pahami dengan pengertian tasawwuf yang sebenarnya, sesungguhnya para sufi sama sekali tidak mengharamkan tana'um pada perkara-perkara yang dihalalkan, tapi mereka hanya meninggalkan tana'um, karena mereka ingin mencontoh para nabi, dan karena memang ada hikmah-hikmah tertentu yang bisa mereka petik dari hal itu, diantaranya: meninggalkan tana'um bisa membantu seseorang menghilangkan sifat egois, juga bisa menumbuhkan sifat sabar dalam menghadapi kebangkrutan misalnya, menumbuhkan sifat ridlo dalam menjalani segala ketentuan (qadla) Allah dan menjauhkan diri dari sifat marah dalam menjalani segala ketentuan Allah.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan