Ramadhan Bulan Tarbiyah

Pernahkah kita merindukan Ramadhan di antara sebelas bulan yang lainnya? Atau bergembira dengan kedatangannya? Jika ya, beruntunglah lantaran Rasulullah SAW telah memberikan kabar gembira tentang kedatangannya. Rasulullah SAW memberi kabar gembira kepada para sahabatnya dengan bersabda:

“Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan kepadamu puasa didalamnya; pada bulan ini pintu-pintu Surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan para setan diikat; juga terdapat pada bulan ini malam yang lebih baik daripada seribu bulan, barangsiapa tidak memperoleh kebaikannya maka dia tidak memperoleh apa-apa’.” (HR. Ahmad dan An-Nasa’i).

Allah SWT mewajibkan setiap mukmin untuk berpuasa, sebagaimana firmanNya dalam QS Al Baqarah 183: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”. Bulan Ramadhan dengan segala kelebihan dan keutamaannya adalah proses tarbiyah yang datangnya langsung dari Allah SWT. Hasil dari proses tarbiyah tersebut adalah lahirnya pribadi mukmin yang bertaqwa. Ada beberapa ayat dalam Al Qur’an yang menjelaskan karakteristik pribadi muslim yang bertaqwa.

Misalnya dalam QS Al Baqarah 177: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa”.

Dalam ayat tersebut Allah memberikan definisi al birr (kebajikan) yang harus menjadi karakteristik orang yang beriman dengan sebenarnya dan bertaqwa. Dalam ayat yang lain Allah SWT “mensejajarkan” antara menjaga ketaqwaan dengan “perintah” agar setiap mukmin tidak mati selain dalam keadaan Islam. Padahal kematian adalah sebuah kepastian yang tidak diketahui kapan datangnya. Sehingga “menjaga” agar tetap “islami” di setiap saat dan keadaan adalah satu-satunya pilihan, sebagai salah satu perwujudan dari pribadi yang bertaqwa.

Dari beberapa ayat tersebut, Allah hendak menjadikan puasa Ramadhan sebagai momentum lahirnya individu yang berkepribadian islami (As-Syakhsiyah Islamiyah), yakni pribadi dengan karakteristik sebagai berikut:

1. Memiliki pemahaman aqidah yang bersih (utuh) lantaran keyakinannya kepada Allah, hari akhir, malaikat dan kitab-kitab, serta para nabi. 2. Beribadah secara benar seperti senantiasa mendirikan sholat dan senantiasa membayar zakat. 3. Maknawiyah (intergritas moral) yang mapan, seperti yang terpancar dari sifat sabar terhadap kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan.

Proses Tarbiyah

Sudah jamak, bahwa terbentuknya individu yang berkepribadian islami akan melalui sebuah proses, salah satunya proses itu kita kenal sebagai tarbiyah. Dan dengan puasa di bulan Ramadhan, Allah SWT hendak mentarbiyah langsung hamba-hambanya guna terbentuknya individu berkepribadian islami. Tarbiyah dengan segala proses dan tujuan yang ada di dalamnya, seperti Tansyi’ah (pembentukan), Ri’ayah (pemeliharaan), Tanmiyah (pengembangan), Taujih (pengarahan) dan Tauzhif (Pemberdayaan), secara utuh bisa dijumpai dalam ibadah dan aktivitas lainnya selama bulan Ramadhan.

1. Tansyi’ah (pembentukan)

Salah satu sisi penting dalam proses Tansyi’ah ini adalah pembentukan ruhiyah maknawiyah. Pembentukan ruhiyah maknawiyah dapat dilakukan dengan kegiatan-kegiatan ibadah wajib dan sunnah seperti qiyamul lail, shaum, tilawah Qur’an, dzikir dan lain sebagainya. Dan selama Ramadhan Allah SWT membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi setiap individu untuk maraih semua keutamaan yang Allah SWT janjikan di setiap aktivitas ibadah yang kita lakukan di bulan Ramadhan. Beberapa contoh hadits yang menjelaskan keutamaan menjalankan Ibadah selama Ramadhan adalah sebagai berikut:

Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi bersabda: “Setiap amal yang dilakukan anak Adam adalah untuknya, dan satu kebaikan dibalas sepuluh kali lipatnya bahkan sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman, ‘Kecuali puasa, itu untuk-Ku dan Aku yang langsung membalasnya. la telah meninggalkan syahwat, makan dan minumnya karena-Ku.’ Orang yang berpuasa mendapatkan dua kesenangan, yaitu kesenangan ketika berbuka puasa dan kesenangan ketika berjumpa dengan Tuhannya. Sungguh, bau mulut orang berpuasa lebih harum daripada aroma kesturi.”

Dari Abdurrahman bin Auf radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebut bulan Ramadhan seraya bersabda : “Sungguh, Ramadhan adalah bulan yang diwajibkan Allah puasanya dan kusunatkan shalat malamnya. Maka barangsiapa menjalankan puasa dan shalat malam pada bulan itu karena iman dan mengharap pahala, niscaya bebas dari dosa-dosa seperti saat ketika dilahirkan ibunya.” (HR. An-Nasa’i, katanya: yang benar adalah dari Abu Hurairah). Dinyatakan dalam hadits Zaid bin Khalid dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Barangsiapa memberi makan kepada orang yang berpuasa maka baginya seperti pahala orang yang berpuasa itu tanpa mengurangi sedikitpun dari pahalanya. ” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi). Setiap individu harus mampu menjadikan sarana-sarana tarbiyah selama Ramadhan dalam membentuk pribadi pada sisi ruhiyah maknawiyahnya dan dirasakan serta disadari olehnya bahwa ia sedang menjalani proses pembentukan ruhiyah maknawiyah.

2. Ri’ayah (pemeliharaan)

Proses pembentukan dalam ruhiyah maknawiyah, termasuk fikriyah dan amaliyah yang sudah atau mulai terbentuk harus dijaga dan dipelihara jangan sampai ada yang berkurang, menurun atau melemah. Dengan demikian kualitas dan kuantitas ibadah yang dilakukan selama Ramadhan harus tetap terjaga dan terpelihara dengan baik. Kemampuan kita dalam menjaga ruhiyah maknawiyah salah satunya bisa dilihat dari bagaimana kita menjalani hari-hari akhir Ramadhan dan melewati beberapa hari setelah Idul Fitri. Jika Ramadhan terbagi menjadi tiga bagian, maka kita kenal bahwa 10 hari terakhir yang merupakan masa “pembebasan dari api neraka” adalah masa yang paling berat. Banyak yang “tumbang” satu persatu di 10 hari terakhir, salah satunya karena “aroma” Idul Fitri sudah mulai terasa. Tapi, tidak bagi individu yang merasakan bahwa ia sedang menjalani proses tarbiyah. Tidak boleh ada penurunan dalam tilawah yaumiyah dan qiyamul lailnya. Apalagi di 10 hari terakhir ada masa di mana Allah SWT menurunkan malam Lailatul Qadar yakni malam yang lebih baik dari 1000 bulan. Kemampuan untuk melakukan Ri’ayah (pemeliharaan) akan meberikan semangat untuk melewati Ramadhan dengan segala keutamaannya secara utuh. Begitu juga dalam melewati beberapa hari setelah Idul Fitri, proses tarbiyah itu ternyata belum berhenti. Seolah Allah SWT hendak memberitahukan kepada kita semuanya, bahwa hanya mereka yang mampu melakukan Ri’ayah (pemeliharaan) semangat Ramadhan sampai Idul Fitri (bulan Syawal) tiba yang akan mendapatkan manfaat dan keutamaan bulan Ramadhan. Seperti yang Rasulullah SAW sabdakan dalam sebuah hadits: Imam Ahmad dan An-Nasa’i, meriwayatkan dari Tsauban, Nabi shallallahu ‘alaihi wasalllam bersabda:
“Puasa Ramadhan (ganjarannya) sebanding dengan (puasa) sepuluh bulan, sedangkan puasa enam hari (di bulan Syawal, pahalanya) sebanding dengan (puasa) dua bulan, maka itulah bagaikan berpuasa selama setahun penuh.” (Hadits riwayat Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya).

Membiasakan puasa sunnah setelah Ramadhan menandakan diterimanya puasa Ramadhan, karena apabila Allah SWT menerima amal seorang hamba, pasti Dia menolongnya dalam meningkatkan perbuatan baik setelahnya. Sebagian orang bijak mengatakan: “Pahala ‘amal kebaikan adalah kebaikan yang ada sesudahnya.” Oleh karena itu barangsiapa mengerjakan kebaikan kemudian melanjutkannya dengan kebaikan lain, maka hal itu merupakan tanda atas terkabulnya amal pertama.

3. At Tanmiyah (pengembangan).


Dalam menjalani ibadah selama Ramadhan, setiap mukmin tidak boleh puas dengan apa yang sudah dikerjakannya, apalagi menganggap sudah sempurna. Senantiasa ingin meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah, memperbaiki kekuarangan serta mengejar semua keutamaan yang Allah SWT janjikan selama Ramadhan hendaklah menjadi spirit bagi setiap mukmin yang berpuasa. Pelajaran berharga dari Allah SWT dapat dilihat dalam QS Al Baqarah 187: “”Dihalalkan bagimu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isterimu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan oleh Allah untukmu, dan makan minumlah hinngga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa.” Dalam ayat tersebut Allah SWT menghalalkan untuk bercampur dengan istri di malam hari, tapi di sisi lain Allah melarangnya saat kita beri’tikaf di masjid. Padahal memperbanyak i’tikaf di masjid adalah salah satu aktivitas yang dianjurkan selama Ramadhan. Disinilah ada proses tarbiyah dari Allah SWT kepada kita untuk senantiasa melakukan At Tanmiyah (pengembangan).

Meskipun bercampur dengan istri di malam hari diperbolehkan, tapi bagi mereka yang senantiasa ingin melakukan peningkatan kualitas ibadah selama Ramadhan akan memilih untuk i’tikaf di masjid. Pengembangan diri juga terkandung dalam hikmah dianjurkannya puasa 6 hari di bulan Syawal. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa berpuasa Ramadham lantas disambung dengan enam hari di bulan Syawal, maka ia bagaikan telah berpuasa selama setahun. ” (HR. Al-Bazzar). Dalam riwayat yang lain dikatakan bahwa puasa Sunnah 6 hari di bulan Syawal adalah sebagai penyempurna dari puasa Ramadhan yang kita lakukan.

Penutup

Demikianlah proses tarbiyah yang hendak Allah SWT tunjukkan kepada setiap mukmin dalam menjalani ibadah Ramadhan. Muara yang hendak ingin dicapai dari semua proses tarbiyah tersebut adalah terbentuknya individu yang bertaqwa dan berkepribadian islami. Terlebih lagi bagi para da’i (kader dakwah) yang senantiasa berjuang membela al-haq (kebenaran) berperang melawan al-bathil (kebatilan), Ramadhan akan benar-benar dimaknani dan dimanfaatkan guna meningkatkan kualitas Maknawiyahnya. Karena ia adalah salah satu faktor utama dalam memenangkan “peperangan abadi” tersebut. Kesabaran adalah salah satu hikmah yang hendak diraih selepasnya bulan tarbiyah ini. “Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti” (QS Al Anfal 65).

Wallahu’aklam bissawab

sumber:Fauzan.wordpress.com

Tiada ulasan:

Catat Ulasan