PERANG SALIB
Beberapa peristiwa mempunyai pengaruh yang lebih
menggetarkan dan tahan lama pada hubungan Muslim-Kristen
daripada Perang Salib. Dua mitos meliputi persepsi Barat
mengenai Perang Salib: pertama, kemenangan Kristen; kedua
bahwa Perang Salib itu dilakukan hanya untuk pembebasan
Yerusalem. Bagi banyak orang Barat, fakta-fakta khusus yang
menyangkut Perang Salib hanya diketahui secara samar-samar.[1]
Sebenarnya banyak orang tidak mengetahui siapa yang memulai
peperangan itu, mengapa berperang, atau bagaimana peperangan
itu dimenangkan. Bagi kaum Muslim, kenangan mengenai Perang
Salib itu tetap hidup, yang merupakan contoh Kristen militan
paling jelas, pertanda awal agresi dan imperialisme Barat
Kristen, kenangan yang hidup akan permusuhan awal Kristen
terhadap Islam.Jika banyak orang menganggap Islam sebagai
agama pedang, maka kaum Muslim selama berabad-abad telah
membicarakan ambisi dan mentalitas Tentara Salib Barat.
Karena itu, untuk hubungan Muslim-Kristen, hal itu bukan
merupakan masalah mengenai apa yang sebenarnya terjadi dalam
Perang Salib melainkan bagaimana hal-hal tersebut diingat.
Perang Salib (Crusades), yang namanya diambil dari "Cross"
(Crux dalam bahasa latin), merupakan delapan ekspedisi
militer yang terjadi sejak abad ke-11 hingga 13 yang membuat
orang-orang Kristen (tentara Kristen Franks) melawan Islam
(tentara Muslim Saracens). Abad ke-11 ditandai sebagai saat
yang menentukan dalam hubungan Barat dengan dunia Islam.
Hingga tahun 1000, Barat merupakan daerah miskin,
terbelakang, dan buta huruf. Mereka mempertahankan diri dari
serangan bangsa barbar yang terjadi di darat dan di laut...
Selama empat abad, Islam mengalami kedamaian dan keamanan
intern, sehingga mampu membangun kebudayaan urban yang,
cemerlang dan mengesankan. Kini situasinya benar-benar
berubah... Perdagangan hidup kembali (di Barat), kota dan
pasar bermunculan; penduduk bertambah... seni serta ilmu
pengetahuan mengalami kemajuan sedemikian rupa sejak masa
Kerajaan Roma.[2]
Bangsa Barat yang bangkit dari zaman kegelapan, mengadakan
penyerangan untuk mengusir kaum Muslim dan Spanyol, Italia,
Sisilia, dan Mediterrania pada saat dunia Islam telah
mengalami kemajuan dalam perjuangan politik dan agama.
Ketika kekuatannya dikalahkan oleh tentara Abbasiyah di
akhir abad ke-15, Raja Byzantium, Alexius I, yang merasa
khawatir bahwa tentara Muslim akan memenangkan seluruh Asia
dan menduduki ibukota kerajaan, Konstantinopel, memohon
bantuan Barat. Ia mengimbau kepada sesama penguasa Kristen
dan Paus untuk mengusir kaum Muslim dengan "berziarah" untuk
membebaskan Yerusalem dan sekitarnya dari tangan pemerintah
Muslim. Yerusalem adalah kota suci bagi ketiga agama
berdasarkan ajaran Nabi Ibrahim. Kota tersebut telah direbut
oleh tentara Islam tahun 638 pada masa bangsa Arab melakukan
ekspansi dan penaklukan. Di bawah pemerintahan orang-orang
Muslim, gereja dan penduduk yang beragama Kristen tidak
pernah diganggu. Tempat-tempat suci dan
peninggalan-peninggalan Kristen menjadi tempat yang selalu
dikunjungi oleh orang-orang Kristen. Orang-orang Yahudi yang
sejak lama dilarang tinggal di tempat itu oleh pemerintah
Kristen, kini diperbolehkan kembali tinggal dan beribadah di
kota Nabi Sulaiman dan Nabi Daud. Orang-orang Muslim
membangun sebuah tempat ibadah, Dome of the Rock (Kubah
Batu) dan Al-Aqsha di dekat The Wailing Wall (Tembok
Ratapan), sisa-sisa terakhir Istana Sulaiman, dan menjadi
tempat yang sangat khusus bagi Yudaisme. Lima abad hidup
berdampingan dengan damai kini porak-poranda karena
perang-perang suci yang membuat Kristen berperang melawan
Islam dan berakibat terciptanya perasaan tidak percaya serta
salah paham yang tak berkesudahan.
Peperangan Salib itu dimulai dengan tanggapan Paus Urban II
terhadap permohonan Raja Alexius. Pada tahun 1095, Urban
menyerukan pembebasan Tanah Suci dari tangan orang-orang
kafir, dan mengadakan perang suci yang sudah menjadi
tradisi. Bagi Paus, panggilan untuk membela agama dan
Yerusalem memberikan suatu kesempatan untuk memperoleh
pengakuan atas otoritas kepausannya dan peranannya untuk
mengabsahkan pemerintah sementara, dan untuk mempersatukan
kembali gereja-gereja Timur (Yunani) dan Barat (Latin).
Seruan peperangan Paus -"Itulah kehendak Tuhan!"- terbukti
berhasil. Pendekatan agama berhasil memikat pikiran orang
dan memanfaatkan kepentingan diri banyak orang, yang
menghasilkan persatuan dan kembalinya kekuatan Kristen. Para
pemerintah, pedagang, dan ksatria Kristen terdorong oleh
keuntungan-keuntungan ekonomi dan politik yang akan dipetik
dengan tegaknya kerajaan Latin di Timur Tengah. Para ksatria
dari Perancis dan bagian-bagian lain Eropa Barat, yang
terdorong oleh fanatisme agama dan harapan akan pampasan
perang, bersatu melawan orangorang "kafir" dalam suatu
peperangan yang tujuannya adalah membebaskan kota suci:
"Mungkin Tuhan memang menghendakinya, tetapi yang pasti
tidak ada bukti bahwa orang-orang Kristen Yerusalem
mempunyai harapan itu, atau ada sesuatu yang luar biasa
dalam sejarah yang tertadi pada jamaat di sana sehingga pada
saat itu mereka memberikan tanggapan yang demikian.[3] Perang
Salib diilhami oleh dua institusi Kristen, yaitu ziarah ke
tempat suci dan perang suci: pembebasan tempat-tempat suci
dari tangan kaum Muslim berkarakterkan keduanya. Ziarah
memainkan peran penting bagi kesalehan Kristen. Mendatangi
tempat-tempat suci, menghormati peninggalan keramat dan
melakukan penebusan dosa memberikan (orang-orang yang
mengecam akan mengatakan "membeli") janji pengampunan dosa.
Yerusalem, pusat lahirnya Kristen, merupakan lambang kota
Tuhan, yang karenanya merupakan tempat suci. Pada waktu yang
sama, gagasan perang suci mengubah dan menyucikan peperangan
di abad-abad pertengahan beserta gagasan kehormatan dan
keksatriaannya. Para pejuang itu menang, baik mereka
memenangkan peperangan di dunia maupun tidak. Memerangi
musuh artinya terhormat dan mulia, ganjaran yang diterima
oleh semua yang berperan dalam Perang Salib berupa jaminan
diampuni dosanya dan masuk surga. Mati dalam peperangan
adalah meninggal sebagai pahlawan agama dan langsung masuk
surga walaupun mempunyai dosa-dosa di masa yang lalu.
Dalam keadaan terpecah-pecah, reaksi kaum Muslim yang
pertama tidak efektif; tentara Salib yang pertama mencapai
Yerusalem dan merebutnya pada tahun 1099. Namun keberhasilan
kaum Kristen tidak berlangsung lama: "Para pejuang Salib...
lebih merupakan gangguan daripada ancaman serius bagi dunia
Islam."[4] Pada pertengahan abad ke-12, pasukan Islam
menanggapi secara efektif. Di bawah kepemimpinan Saladin
yang mumpuni (Shalah Al-Din, wafat 1193), salah seorang
jenderal dan pemerintah Muslim paling terkenal, Yerusalem
direbut kembali pada tahun 1187. Keadaan berubah dan
momentumnya tetap berada di tangan pasukan kaum Muslim. Pada
abad ke-13, Perang Salib telah berubah menjadi perang
saudara Kristen, perang melawan musuh-musuh yang oleh Paus
dikatakan sebagai sesat. Akhirnya, sesuatu yang ditakutkan
yang telah menimbulkan perang suci Kristen itu, dengan
seruannya agar kaum Kristen bersatu untuk merebut kekuasaan
kaum Muslim, terjadi pada tahun 1453 ketika ibukota
Byzantium, Konstantinopel, jatuh dan diberi nama baru,
Istanbul, yang kemudian menjadi kedudukan Kerajaan
Utsmaniyah. Impian penguasa dan tentara Muslim yang muncul
sejak abad ketujuh menjadi kenyataan. Sebaliknya, ketakutan
kaum Kristen dan ancaman Islam yang kuat, ekspansif dan
terus-menerus makin meluas sampai ke Eropa Timur, yang
sebagian besarnya dikuasai Kerajaan Utsmaniyah.
Warisan Perang Salib ini tergantung pada tempat seseorang
berpijak dalam sejarah. Kaum Kristen dan Muslim bersaing
dalam visi dan kepentingan serta masing-masing senantiasa
ingat pada komitmennya terhadap agama, dan kisah-kisah
kepahlawanan melawan kaum "kafir." Bagi banyak orang di
Barat, dugaan mengenai kemenangan Kristen didasarkan pada
sejarah yang diromantiskan untuk merayakan kepahlawanan
pejuang Salib dan juga kecenderungan untuk
menginterpretasikan sejarah melalui pengalaman kolonialisme
Eropa dari kekuasaan Amerika selama dua abad yang baru lalu
ini. Masing-masing agama melihat satu sama lain sebagai
militan, agak barbaris dan fanatik, cenderung menjajah,
mengubah atau memusnahkan yang lainnya, dan itulah suatu
halangan dan ancaman bagi terealisasikannya kehendak Allah.
Pertentangan mereka berlanjut terus selama masa Utsmaniyah,
melalui arus kolonialisme Eropa, dan akhirnya ke dalam
persaingan negara-negara adidaya pada abad ke-20.
Catatan kaki:
[1]: Untuk sejarah Perang Salib, lihat S. Runciman, A History of
the Crusades, 3 jilid (Cambridge: Cambridge University
Press, 1951-54), dan J. Prawer, Crusader Institutions
(Oxford: Oxford University Press, 1980)
[2]: J.J. Saunders, A History Medieval Islam (London: Routledge
and Kegan Paul, 1965), hlm. 154.
[3]: Peters, "Early Muslim Empires," hlm. 85.
[4]: Saunders, History, hlm. 161.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan