[ Bag. II ] Meluruskan Kesalahpahaman Tentang Qadla Dan Qadar Allah (Sebarkan Sangat Penting, Jangan Lewatkan)

Kesesatan Faham Mu’tazilah Yang Menetapkan Bahwa Manusia Sebagai Pencipta Bagi Perbuatannya



Ulama Ahlussunnah telah menetapkan bahwa kaum Mu’tazilah yang berkeyakinan manusia menciptakan perbuatannya sendiri telah keluar dari Islam. Karena dengan demikian mereka telah menetapkan adanya pencipta kepada selain Allah. Pengertian “menciptakan” dalam hal ini ialah: “Mengadakan dari tidak ada menjadi ada” (al-Ibrâz Min al-‘Adam Ilâ al-Wujûd). Keyakinan Mu’tazilah semacam ini menyalahi banyak teks-teks syari’at, baik ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits-hadits Rasulullah. Dalam al-Qur’an di antaranya firman Allah:



هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللهِ (فاطر: 3)

“Adakah pencipta selain Allah?!” (QS. Fathir: 3).



Ayat ini bukan untuk menanyakan atau menetapkan adanya pencipta kepada selain Allah. Tapi “pertanyaan” dalam ayat ini di sini disebut dengan Istifhâm Inkâri; artinya untuk mengingkari adanya pencipta kepada selain Allah dan untuk menetapkan bahwa yang menciptakan itu hanya Allah saja. Dalam ayat lain Allah berfirman:



قُلِ اللهُ خَالِقُ كُلِّ شَىْءٍ (الرعد: 16)

“Katakan (wahai Muhammad), Allah adalah Pencipta segala sesuatu” (QS. ar-Ra’d: 16).



“Segala sesuatu” yang dimaksud dalam ayat ini mencakup secara mutlak segala apapun selain Allah, termasuk dalam hal ini tubuh manusia dan segala sifat yang ada padanya, dan juga termasuk segala perbuatannya. Jika tubuh manusia kita yakini sebagai ciptaan Allah, maka demikian pula sifat-sifat yang ada pada tubuh tersebut; seperti gerak, diam, melihat, mendengar, makan, minum, berjalan dan lain sebagainya, sudah tentu itu semua juga harus kita yakini sebagai ciptaan Allah. Selain dua ayat ini masih banyak ayat lainnya menyebutkan dengan sangat jelas bahwa Allah Pencipta segala sesuatu.



Kaum Mu’tazilah atau kaum Qadariyyah yang kita sebutkan di atas adalah kaum yang digambarkan oleh Rasulullah dalam haditsnya sebagai kaum Majusi dari umatnya ini. Dalam sebuah hadits masyhur Rasulullah bersabda:



القَدَرِيّةُ مَجُوْسُ هذِهِ الأمّةِ (رواه أبو داود)

“Kaum Qadariyyah adalah kaum Majusi-nya umat ini” (HR. Abu Dawud).



Kaum Mu’tazilah adalah kaum yang ditentang keras oleh sahabat Abdullah ibn Umar, dan para sahabat terkemuka lainnya, juga oleh para ulama pasca sahabat. Sahabat Abdullah ibn Abbas berkata: “Perkataan kaum Qadariyyah adalah kekufuran”. Sahabat Ali ibn Abi Thalib suatu ketika berkata kepada seorang yang berfaham Qadariyyah: “Jika engkau kembali kepada keyakinan tersebut maka akan saya penggal kepalamu!”. Demikian pula al-Hasan ibn Ali ibn Abi Thalib sangat kuat menentang faham Qadariyyah ini. Lalu Abdullah ibn al-Mubarak, salah seorang imam mujtahid, telah memerangi faham Tsaur ibn Yazid dan Amr ibn Ubaid; yang keduanya adalah pemuka Mu’tazilah. Bahkan cucu Ali ibn Abi Thalib, yaitu al-Hasan ibn Muhammad ibn al-Hanafiyyah, telah menulis beberapa risalah sebagai bantahan terhadap kaum Mu’tazilah tersebut. Demikian pula Imam al-Hasan al-Bashri, al-Khalîfah ar-Râsyid Imam al-Mujtahid Umar ibn Abd al-Aziz, dan Imam Malik ibn Anas telah mengkafirkan kaum Qadariyyah. Bahkan telah diriwayatkan oleh Abu Bakar ibn al-‘Arabi dan Badruddin az-Zarkasyi dalam Syarh Jama’ al-Jawâmi’ bahwa suatu ketika Imam Malik ditanya tentang hukum pernikahan seorang yang berfaham Mu’tazilah, lalu Imam Malik menjawab dengan ayat al-Qur’an:



وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرُُ مِّن مُّشْرِكٍ (البقرة: 221)

“Seorang hamba sahaya yang mukmin benar-benar lebih baik dari pada seorang yang musyrik”. (QS. al-Baqarah: 221).



Demikian pula Imam Abu Manshur al-Maturidi telah mengkafirkan kaum Qadariyyah. Hal yang sama juga dikemukan oleh Imam Abu Manshur Abd al-Qahir al-Baghdadi (w 429 H); salah seorang imam terkemuka di kalangan ulama Asy’ariyyah, guru dari al-Hâfizh al-Bayhaqi, dalam Kitâb Ushûl ad-Dîn, hlm. 337, hlm. 341, hlm. 342, dan hlm. 343, menuliskan: “Seluruh para sahabat kami telah sepakat di atas mengkafirkan Mu’tazilah”. Pernyataan beliau “Seluruh para sahabat kami” yang dimaksud adalah para ulama terkemuka dari kaum Asy’ariyyah Syafi’iyyah, karena Abu Manshur al-Baghdadi adalah seorang imam terkemuka di kalangan Ahlussunnah madzhab asy-Syafi’i. Beliau sangat dikenal di antara para ulama ahli teologi, ahli fiqih, maupun ahli sejarah, terlebih di antara para ulama yang menulis tentang firqah-firqah dalam Islam beliau adalah rujukannya, karena beliau yang telah menuslis kitab fenomenal tentang firqah-firqah dalam Islam yang berjudul al-Farq Bayn al-Firaq.



Kemudian al-Hâfizh Imam Muhammad Murtadla az-Zabidi dalam kitab Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn Bi Syarh Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn, j. 2, hlm. 135, menuliskan: “Para ulama yang berada di seberang sungai Jaihun (ulama Maturidiyyah Hanafiyyah yang berada di Bilâd Mâ Warâ’ an-Nahr) tidak pernah berhenti mengkafirkan kaum Mu’tazilah (yang berkeyakinan bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri)”.



Di antara ulama lainnya yang telah mangkafirkan faham Mu’tazilah yang mengatakan bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri adalah; Syaikh al-Islâm Imam al-Bulqini dan Imam al-Mutawalli dalam kitab al-Ghunyah; keduanya adalah ulama terkemuka pada tingkatan Ash-hâb al-Wujûh dalam madzhab asy-Syafi’i, satu level di bawah tingkatan Mujtahid Mutlaq. Di antara ulama lainnya; Imam Abu al-Hasan Syist ibn Ibrahim al-Maliki, Imam ibn at-Tilimsani al-Maliki dalam kitab Syarh Luma’ al-Adillah, dan masih banyak lagi (Lebih luas tentang bantahan terhadap kaum Qadariyyah baca Sharîh al-Bayân Fî ar-Radd ‘Alâ Man Khâlaf al-Qur’ân karya al-Hâfizh al-Habasyi, j. 1, hlm. 31-63).



(Masalah): Ada beberapa ungkapan sebagian ulama, terutama yang datang dari pendapat para ulama Muta-akhirîn, yang mengatakan bahwa kaum Mu’tazilah tidak dikafirkan, seperti dalam pendapat Imam an-Nawawi.



(Jawab): Yang dimaksud oleh Imam an-Nawawi adalah bahwa mereka tidak dikafirkan secara mutlak. Artinya, dari kesesatan-kesesatan mereka jika tidak sampai kepada batas kekufuran maka mereka tidak dikafirkan. Adapun mereka yang berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri maka hal ini telah disepakati kekufurannya oleh para ulama. Benar, ada sebagian orang yang mengambil sebagian faham-faham Mu’tazilah, namun demikian mereka tidak mutlak mengambil seluruh faham-faham Mu’tazilah, seperti di antaranya Bisyr al-Marisi, Khalifah al-Ma’mun dari dinasti Bani Abbasiyyah dan lainnya. Dalam hal ini Bisyr hanya sejalan dengan faham Mu’tazilah dalam mengatakan al-Qur’an makhluk, namun demikian ia mengkafirkan kaum Mu’tazilah yang berpendapat bahwa manusia yang menciptakan perbuatan-perbuatannya sendiri. Dengan demikian tidak setiap orang yang bergabung dalam faham Mutazilah dihukumi sama sebagai orang-orang yang telah keluar dari Islam, tetapi demikian semua mereka adalah orang-orang yang sesat walupun mereka bertingkat dalam kesasatannya tersebut.



(Masalah): Jika seseorang berkata: Dalam hadits Rasulullah mengatakan: ”Kaum Qadariyyah adalah kaum Majusi-nya umat ini” (HR. Abu Dawud). Bukankah itu artinya bahwa Rasulullah masih mengakui kaum Qadariyyah tersebut sebagai bagian dari umatnya. Artinya, bukankah dengan demikian kaum Qadariyyah tersebut masih sebagai bagian dari umat Islam ini?!



(Jawab): Yang dimaksud bahwa kaum Qadariyyah sebagai bagian dari umat ini adalah dalam pengertian Ummat ad-Da’wah; artinya sebagai umat yang menjadi objek dakwah Rasulullah. Karena Ummat ad-Da’wah itu mencakup seluruh manusia baik mereka yang kafir maupun yang mu’min. Pemahaman kata ”Umat-ku” dalam penggunaan bahasa dapat mencakup mereka menjadi pengikut, dapat pula dalam pengertian yang menjadi objek dakwah; baik mereka yang menerima dakwah tersebut atau yang tidak menerima.



Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam kitab at-Tabshirah al-Baghdâdiyyah menuliskan sebagai berikut:



”Ketahuilah bahwa mengkafirkan setiap pemuka dari para pemimpin kaum Mu’tazilah adalah perkara wajib, karena berbagai alasan berikut; Washil ibn ’Atha’ telah menjadi kafir dalam masalah Qadar, ia menetapkan adannya pencipta kepada selain Allah; yaitu bahwa setiap hamba adalah pencipta bagi segala perbuatannya. Dia pula yang mengkreasi pendapat bahwa seorang yang fasik bukan seorang mukmin dan bukan pula seorang kafir; tetapi di tengah-tengah antara keduannya (al-Manzilah Bayn al-Manzilatayn), yang oleh karena ini ia kemudian di usir oleh al-Hasan al-Bashri dari majelisnya.



Adapun pemuka Mu’tazilah yang bernama Abu al-Hudzail ia menjadi kafir karena pendapatnya bahwa kekusaan Allah menjadi punah, hingga Allah setelah itu tidak memiliki kekuasaan atas suatu apapun. Sementara pimpinan mereka yang bernama an-Nazhzham berpendapat bahwa segala sesuatu itu tersusun dari bagian-bagian yang tidak berpenghabisan (artinya bahwa rincian segala sesuatu itu tanpa penghabisan), yang dengan pendapatnya ini ia mengatakan bahwa Allah tidak mengetahui perkara-perkara yang sangat rinci atau bagian-bagian terkecil dari alam ini. An-Nazhzham ini juga berpendapat bahwa manusia itu hanya ruh saja, (tidak ada fisiknya), dan bahwa seorang manusia tidak melihat manusia kepada manusia yang lainnya kecuali bahwa itu adalah yang ada dibaliknya.



Pemuka mereka yang bernama Ma’mar berkayakinan bahwa Allah tidak menciptakan warna, rasa, bau, panas, dingin, basah, kering, hidup, mati, sehat, sakit, kemampuan, kelemahan, pahit, lezat, dan berbagai sifat-sifat benda lainnya. Menurutnya bahwa sifat-sifat benda semacam itu adalah ciptaan benda-benda itu sendiri pada dirinya masing-masing.



Pimpinan mereka yang bernama Bisyr ibn al-Mu’tamir berkeyakinan bahwa manusia dapat menciptakan sifat-sifat seperti warna, rasa, bau, melihat, mendengar, dan berbagai kemampuan lainnya dengan jalan turun-temurun.

Kemudian pemuka mereka bernama al-Jahizh berkeyakinan bahwa manusia tidak memiliki perbuatan kecuali kehendak saja, dan bahwa ilmu pengetahuan itu adalah sesuatu yang terjadi dengan sendirinya, dengan demikian siapa yang tidak mampu mengenal Allah maka ia bukan seorang yang mukallaf dan tidak akan mendapatkan siksa. Al-Jahizh juga berkeyakinan bahwa Allah tidak memasukan seorangpun ke dalam neraka, akan tetapi neraka itu sendiri yang menarik orang-orang yang akan menjadi penghuninya, dan neraka itu sendiri yang secara tabi’atnya akan menggenggam mereka selamanya.



Pimpinan mereka yang bernama Tsumamah berkeyakinan bahwa ilmu pengetahuan terjadi dengan dengan sendirinya, dan bahwa kaum Dahriyyah (kaum yang berkeyakinan bahwa setelah kematian tidak ada kehidupan) dan orang-orang kafir di akhirat kelak akan menjadi tanah tanpa sedikitpun disiksa. Tsumamah juga mengharamkan menyandra dan hukum perbudakan (dalam peperangan melawan orang kafir), juga berkeyakinan bahwa segala perbuatan yang terjadi secara turun-temurun tidak ada yang membuatnya.



Kaum Mu’tazilah di Baghdad berkeyakinan bahwa Allah tidak melihat dan tidak mendengar sesuatu apapun kecuali dalam pengertian objeknya saja (artinya, menurut mereka sebuah objek sebagai perwakilan Allah yang dapat melihat, tetapi Allah sendiri tidak melihat). Pemuka mereka bernama al-Jubba’i berkeyakinan bahwa Allah menta’ati setiap apa yang diinginkan oleh para hamba-Nya. Sementara anak al-Jubba’i, yaitu Abu Hasyim berkeyakinan bahwa seorang hamba dapat terkena siksa dan balasan yang buruk bukan karena perbuatan dosa, juga bekeyakinan bahwa Allah memiliki keadaan-keadaan; yang keadaan-keadaan tersebut antara ada dan tidak ada, antara diketahui dan tidak diketahui.



Kekufuran kaum Mu’tazilah ini sangat banyak; tidak ada yang tahu jumlahnya secara pasti kecuali Allah. Sahabat kami (ulama Asy’ariyyah Syafi’iyyah) dalam menilai kaum Mu’tazilah ini berbeda pendapat; ada yang mengatakan bahwa mereka persis seperti kaum Majusi sesuai dengan sabda Rasulullah: “Kaum Qadariyyah adalah Majusi-nya umat ini”, ada pula yang berpendapat bahwa hukum mereka sebagai mana hukum terhadap orang-orang murtad”. (Dikutip oleh beliau dalam Kitâb Ushûliddîn, hlm. 337).



Faedah Penting: Kesimpulan Dan Kaedah Pokok

Satu:

Imam al-Hâfizh Abu Bakr al-Bayhaqi dalam Kitâb al-Qadar dan Imam Ibn Jarir ath-Thabari dalam Kitâb Tahdzîb al-Âtsâr meriwayatkan dari sahabat Abdullah ibn Umar bahwa Rasulullah bersabda:



صِنْفَانِ مِنْ أُمّتِي لَيْسَ لَهُمَا نَصِيْبٌ فِي الإسْلاَمِ القَدَرِيّةُ وَالْمُرْجِئَة (رواه البيهقي)

”Ada dua kelompok dari umatku yang tidak memiliki bagian dalam Islam; al-Qadariyyah dan al-Murji’ah”. (HR. al-Bayhaqi dan lainnya)



Kaum Mu’tazilah dalam hal ini adalah sebagai kaum Qadariyyah, karena dalam keyakinan mereka bahwa manusia yang menciptakan segala perbuatannya, dengan demikian sama saja mereka menjadikan Allah setara dengan para hambanya karena menetapkan adanya sekutu dalam penciptaan kepada-Nya. Dalam hadits di atas disebutkan bahwa kaum Qadariyyah disebut sebagai umat Majusi karena dalam hal ini terdapat titik kesamaan antara keduanya. Kaum Majusi menetapkan adannya dua pencipta; pencipta kebaikan; yaitu cahaya, dan penciptan keburukan; yaitu kegelapan, sementara kaum Qadariyyah menetapkan manusia sebagai pencipta bagi segala perbuatannya. Bahkan dalam hal ini kaum Qadariyyah lebih buruk, karena tidak hanya menetapkan dua pencipta, tetapi menetapkan banyak sekali pencipta sebagai sekutu bagi Allah.



Hadits riwayat al-Bayhaqi dan Ibn Jarir di atas merupakan dalil bahwa dua golongan tersebut; Qadariyyah dan Murji’ah adalah golongan yang bukan bagian dari Islam. Tentang kelompok Mut’tazilah; mereka terdiri dari dua puluh golongan, beberapa di antaranya ada yang telah mencapai batas kekufuran seperti mereka yang berkeyakinan bahwa manusia sebagai pencipta bagi segala perbuatannya, dan ada pula di antara yang mereka yang hanya sesat saja seperti mereka yang berpendapat bahwa Allah di akhirat kelak tidak bisa dilihat sebagaimana di dunia ini tidak dapat dilihat, atau pendapat mereka yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar jika mati sebelum bertaubat maka ia bukan sebagai mukmin juga bukan seorang yang kafir; namun begitu kelak ia akan dikekalkan di dalam neraka tidak akan pernah dikeluarkan, atau pendapat mereka yang mengatakan bahwa sebagian orang-orang mukmin pelaku maksiat kelak tidak akan mendapatkan syafa’at dari para Nabi, para ulama, atau dari para syuhada. Dengan demikian, seorang yang berkeyakinan sejalan dengan faham Mu’tazilah dalam beberapa perkara terakhir disebutkan ini maka ia tidak dikafirkan, dengan catatan:



1.Ia tidak sependapat dengan faham Mu’tazilah (Qadariyyah) yang menetapkan bahwa manusia adalah pencipta bagi perbuatan-perbuatannya sendiri.
2.Selama ia tidak sependapat dengan faham Mu’tazilah yang mengatakan bahwa sesungguhnya Allah berkehendak bagi seluruh manusia untuk beriman dan ta’at kepada-Nya hanya saja sebagian dari mereka ada yang kafir dan berbuat maksiat kepada-Nya tanpa dikehendaki oleh-Nya. Artinya, menurut faham Mu’tazilah ini setiap kekufuran dan segala kemasiatan bukan dengan ciptaan Allah dan bukan dengan kehendak-Nya, tetapi terjadi dengan ciptaan manusia dan dengan kehendak manusia itu sendiri.
3.Selama ia tidak sependapat dengan faham Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Allah tidak memiliki sifat-sifat; seperti sifat ’Ilm, Qudrah, Hayât, Baqâ’, Sama’, Bashar, dan sifat Kalâm.


Adapun kaum Murji’ah adalah golongan yang mengatakan bahwa seorang hamba yang mukmin, sekalipun ia berbuat berbagai dosa besar dan meninggal tanpa taubat dalam keadaan membawa dosa-dosanya tersebut maka kelak ia tidak akan disiksa sedikitpun. Kaum Murji’ah ini berkata: ”Sebagaimana setiap kebaikan tidak akan memberikan manfaat dan tidak ada pengaruhnya jika dilakukan dalam keadaan kufur, maka demikian pula dengan setiap dosa, ia tidak akan berpengaruh dan tidak akan membahayakan terhadap diri seorang mukmin”. Mereka mensejajarkan sama persis antara pemahaman ungkapan pertama dengan pemahaman ungkapan ke dua. Ungkapan pertama: ”Setiap kebaikan tidak akan memberikan manfaat jika dilakukan dalam keadaan kufur”, adalah ungkapan benar, karena seorang yang kafir sekalipun banyak melakukan kebaikan maka sedikitpun ia tidak akan mengambil manfaat dari kebaikan-kebaikannya tersebut. Adapun ungkapan mereka yang kedua: ”Setiap dosa tidak akan berpengaruh dan tidak akan membahayakan terhadap diri seorang mukmin”, adalah perkataan kufur dan sesat, karena seorang mukmin apa bila melakukan kemaksiatan-kemaksiatan maka hal itu akan membahayakannya, artinya tidak mutlak setiap orang mukmin pelaku dosa itu akan selamat di akhirat kelak.



Dua:

Imam al-Hâfizh Abu Bakr al-Bayhaqi meriwayatkan dari Amîr al-Mu’minîn Ali ibn Abi Thalib, bahwa ia (Ali ibn Abi Thalib) berkata: ”Sesungguhnya setiap orang dari kalian tidak akan memiliki keimanan yang murni di dalam hatinya hingga ia berkeyakinan dengan sepenuhnya tanpa ragu sedikitpun bahwa sesuatu yang menimpanya bukan sesuatu yang salah atas dirinya, dan ia beriman serta mempercayai sepenuhnya bahwa segala sesuatu yangterjadi dengan ketentuan Allah”.



Perkataan Imam Ali ibn Abi Thalib ini memberikan pemahaman bahwa keimanan seseorang tidak sempurna hingga berkeyakinan sepenuhnya tanpa ragu sedikitpun bahwa segala sesuatu terjadi dengan kehendak Allah, baik segala perkara yang terkait dengan urusan rizki, musibah, dan lain sebagainya. Juga tidak dibenarkan bagi seseorang untuk beriman hanya kepada sebagian ketentuan Allah saja, tetapi ia wajib beriman bahwa segala apa yang terjadi pada alam ini; dari kebaikan dan keburukan, kesesatan dan petunjuk, kesulitan dan kemudahan, perkara yang manis dan perkara yang pahit, semua itu terjadi dengan penciptaan dari Allah dan dengan kehendak-Nya. Seandainya Allah tidak menciptakan dan tidak berkehendak maka sedikitpun dari semua yang terjadi itu tidak akan pernah ada dan tidak akan pernah terjadi.



Tiga:

Imam al-Hâfizh Abu Bakr al-Bayhaqi meriwayatkan pula dari Amîr al-Mu’minîn Umar ibn al-Khaththab, bahwa ketika beliau (Umar) berada di al-Jabiyah (suatu wilayah di daratan Syam), beliau berdiri berkhutbah. Setelah mengucapkan pujian kepada Allah, beliau berkata: ”Man Yahdillâh Fa-lâ Mudlilla-lah, Wa Man Yudl-lil Fa-lâ Hâdiya-lah” (Barangsiapa telah diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada siapapun yang akan menyesatkannya, dan barangsiapa telah disesatkan oleh Allah maka tidak ada siapapun yang akan memberikan petunjuk kepadanya). Pada saat itu ada seorang kafir non Arab dari Ahli Dzimmah, tiba-tiba ia berkata dengan bahasanya sendiri: ”Sesungguhnya Allah tidak menyesatkan seorangpun”. Lalu Umar berkata kepada penterjemah: ”Apa yang ia katakan?”, penterjemah menjawab: ”Ia berkata bahwa Allah tidak menyesatkan seorangpun”, maka Umar menghardiknya: ”Ucapanmu batil wahai musuh Allah, seandainya engkau bukan Ahli Dzimmah maka aku akan penggal lehermu, sesungguhnya Allah yang telah menjadikan dirimu sesat, dan Dia akan memasukan dirimu ke dalam neraka jika Dia berkehendak”.



Perkataan sahabat Umar di atas sangat jelas memberikan petunjuk kepada kita bahwa ucapan orang dari Ahli Dzimmah tersebut adalah sesat dan kufur, karena dalam keyakinan orang tersebut bahwa Allah tidak menciptakan dan tidak berkehendak bagi seorangpun dari para hamba-Nya untuk menjadi sesat, maka mereka yang sesat adalah dengan penciptaan dan dengan kehendak mereka sendiri. Kemudian yang dimaksud dari pernyataan sahabat Umar terhadap orang kafir tersebut: ”Dia Allah akan memasukan dirimu ke dalam neraka jika Dia berkehendak”, artinya, bahwa jika Allah berkehendak bagi orang tersebut untuk mati dalam keadaan kufurnya maka pastilah ia akan di masukan ke dalam neraka. Dalam pemahamannya ini, sahabat Umar telah mengambil dasar dari firman Allah:



وَمَن يَهْدِ اللهُ فَمَالَهُ مِن مُّضِلٍّ (الزمر: 37)

”Dan barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada baginya siapapun yang akan menyesatkan” (QS. Az-Zumar: 37).



Dan juga dari ayat lainnya dalam firman Allah:



مَن يُضْلِلِ اللهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ (الأعراف: 186)

”Barangsiapa disesatkan oleh Allah maka tidak ada siapapun yang akan memberikan petunjuk baginya” (QS. Al-A’raf: 186).



Empat:

Kisah Hikmah

Diriwayatkan bahwa suatu ketika seorang Majusi berbincang-bincang dengan seorang yang berfaham Qadariyyah. Orang berfaham Qadariyyah ini berkeyakinan bahwa segala perbuatan manusia adalah ciptaan manusia itu sendiri, bukan ciptaan Allah. Ia mengaku sebagai orang Islam, walau pada hakekatnya dia adalah seorang yang kafir.

Orang Qadariyyah berkata kepada orang Majusi: “Wahai orang Majusi, masuk Islam-lah engkau!”.

Orang Majusi ini tahu bahwa Tuhan orang-orang Islam adalah Allah, maka ia menjawab: “Allah tidak berkehendak bagi saya untuk masuk Islam…!”.

Orang Qadariyyah berkata: “Tidak demikian. Sesungguhnya Allah berkehendak supaya engkau masuk Islam. Namun engkau sendiri tetap berkehendak dalam kekufuranmu…!”.

Tiba-tiba orang Majusi tersebut berkata: “Jika demikian, maka berarti kehendakku mengalahkan kehendak Tuhanmu. Karena buktinya sampai saat ini aku tidak berkehendak keluar dari agamaku…!”.

Orang Qadariyyah itu terdiam seribu bahasa, ia tidak bisa menundukkan orang Majusi tersebut karena kesesatannya sendiri, pertama; orang Qadariyyah ini sesat karena ia berkeyakinan bahwa segala perbuatan manusia adalah ciptaan manusia sendiri, kedua; Orang Qadariyyah tersebut sesat karena ia tidak membedakan secara definitif antara kehendak Allah (Masyî’ah Allâh) dengan perintah Allah (Amr Allâh).

Dari uraian di atas menjadi jelas bagi kita bahwa apapun yang terjadi di alam ini tidak lepas dari Qadla dan Qadar Allah. Artinya bahwa semuanya terjadi dengan penciptaan dari Allah dan dengan ketentuan Allah. Segala apa yang dikehendaki oleh Allah untuk terjadi maka pasti terjadi, dan segala apa yang tidak Dia kehendaki kejadiannya maka tidak akan pernah terjadi. Seandainya seluruh makhluk bersatu untuk merubah apa telah diciptakan dan ditentukan oleh Allah maka sedikitpun mereka tidak akan mampu melakukan itu. Bagi seorang yang beriman kepada al-Qur’an hendaklah ia berpegang teguh kepada firman Allah:



لاَيُسْئَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْئَلُونَ (الأنبياء: 23)

“(Allah) tidak ditanya (tidak diminta tanggung jawab) terhadap apa yang Dia perbuat, dan (sebaliknya) merekalah (para makhluk) yang akan diminta pertanggungjawaban”. (QS. al-Anbiya: 23).



Kita dituntut untuk melaksanakan apa yang telah dibebankan di dalam syari’at. Bila kita melanggar maka kita sendiri yang akan mempertanggungjawabkannya, dan bila kita patuh maka kita sendiri pula yang akan menuai hasilnya. Dalam hal ini kita tidak boleh meminta “tanggungjawab” atau “protes” kepada Allah. Kita tidak boleh berkata: “Mengapa Allah menyiksa orang-orang berbuat maksiat dan menyiksa orang-orang kafir, padahal Allah sendiri yang berkehendak terhadap adanya kemaksiatan dan kekufuran pada diri mereka?”. Allah tidak ada yang meminta tanggung jawab dari-Nya. Dia berhak melakukan apapun terhadap makhluk-makhluk-Nya karena semuanya adalah milik Allah. Kita hendaklah bersyukur sedalamnya, bacalah “al-Hamdu Lillâh”, pujilah Allah seluas-luasnya, karena Allah telah memberikan karunia besar kepada kita bahwa kita telah dijadikan orang-orang yang beriman kepada-Nya. al-Hamdulillâh Rabb al-‘Âlamin.



Faedah Penting Dari Imam al-Hasan ibn Ali ibn Abi Thalib dalam Membantah Kerancuan Faham Mu’tazilah



Imam al-Hâfizh al-Bayhaqi meriwayatkan dengan sanad-nya dari Imam al-Husain ibn Ali ibn Abi Thalib bahwa ia (al-Husain) berkata:



“Demi Allah, apa yang dikatakan oleh kaum Qadariyyah tidak sejalan dengan firman Allah, tidak sejalan dengan perkataan para Malaikat, tidak sejalan dengan perkataan para Nabi, tidak sejalan dengan perkataan penduduk surga, tidak sejalan dengan perkataan penduduk neraka, bahkan tidak sejalan dengan perkataan saudara mereka sendiri; yaitu Iblis”. Lalu orang-orang berkata kepada al-Husain: “Wahai cucu Rasulullah, jelaskanlah apa yang engkau maksudkan!”. Kemudian al-Husain berkata: “Mereka tidak sejalan dengan firman Allah, karena Allah telah berfirman:



وَاللهُ يَدْعُوْ إلَى دَارِ السّلاَم وَيَهْدِي مَنْ يَشَاء (يونس)

“Allah memanggil kalian agar ke surga, dan Allah memberi petunjuk terhadap orang yang Dia kehendaki” (QS. Yunus: 25)



Penjelasan:

Pemahaman yang dimaksud oleh Imam al-Husain ialah bahwa kaum Mu’tazilah atau Qadariyyah telah menyalahi ayat ini. Karena dalam keyakinan mereka seorang hamba adalah pencipta bagi segala kebaikan yang ia perbuat. Dengan demikian, -menurut mereka- Allah memiliki kewajiban untuk memasukan hamba tersebut ke dalam surga. Karenanya, menurut Mu’tazilah, surga bukan karunia atau pemberian dari Allah semata, tapi tidak ubah sebagai hutang yang wajib dibayarkan oleh Allah kepada hamba-Nya. Tentu ini menyesatkan. Yang benar ialah bahwa surga tersebut diberikan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya mukmin adalah murni sebagai karunia dan pemberian dari-Nya. Karena pada hakekatnya Allah yang menciptakan semua hamba-hamba-Nya tersebut, Dia yang memberikan taufik kepada sebagian mereka untuk menjadi orang-orang yang beriman, Dia yang memberikan ilham kepada sebagian mereka untuk berbuat ketaatan dan kebaikan, Dia yang menciptakan akal hingga sebagian hamba-Nya dapat membedakan antara haq dan batil, Dia pula yang menciptakan keimanan dan kekuufuran, kebaikan dan keburukan, serta surga dan neraka, maka dengan demikian Dia tidak memiliki kewajiban atas siapapun untuk memasukannya ke surga. Sesungguhnya orang-orang yang dimasukan oleh Allah ke dalam surga-Nya adalah murni sebagai karunia dari-Nya, dan orang-orang yang di masukan ke dalam neraka-Nya adalah murni karena keadilan-Nya. Secara akal, dapat diterima bila Allah memasukan orang-orang saleh ke dalam neraka atau orang-orang durhaka ke dalam surga, karena semuanya miliki Allah semata. Allah sama sekali tidak zhalim bila berkehandak melakukan itu, hanya saja Allah berjanji bahwa yang akan Ia masukan ke dalam surga-Nya adalah orang-orang saleh, sementara orang-orang yang durhaka dimasukan ke dalam neraka-Nya, maka Allah tidak akan menyalahi janji-Nya tersebut.

Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda:



إنّ اللهَ لَوْ عَذّبَ أهْلَ أرْضِهِ وَسَمَاوَاتِهِ لَعَذّبَهُمْ وَهُوَ غَيْرُ ظَالِمٍ لَهُمْ وَلَوْ رَحِمَهُمْ كَانَتْ رَحْمَتُهُ خُيْرًا لَهُمْ مِنْ أعْمَالِهِمْ وَلَوْ أنْفَقْتَ مِثْلَ أحُدٍ ذَهَبًا فِي سَبِيْلِ اللهِ مَا قَبِلَهُ اللهُ مِنْكَ حَتّى تُؤْمِنَ بِالقَدَرِ وَتَعْلَمَ أنّ مَا أصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ وَمَا أخْطَأكَ لمَ ْيَكُنْ لِيُصِيْبَكَ، وَلَوْ مِتَّ عَلَى غَيْرِ هَذَا دَخَلْتَ النّارَ (رواه ان حبان)

“Sesungguhnya jika Allah hendak menyiksa seluruh penduduk bumi dan penduduk langit (para Malaikat) maka Dia akan melakukan itu, dan Dia tidak zhalim atas mereka. Dan jika Allah hendak merahmati mereka semua maka sesungguhnya rahmat-Nya lebih utama segala amalan mereka. Jika engkau menginfakan emas sebesar gunung Uhud di jalan Allah maka hal itu tidak akan diterima Allah darimu hingga engkau beriman dengan qadar, dan engkau mengetahui (meyakini) bahwa apa yang menimpamu bukan sesuatu yang salah atas dirimu, dan apa yang salah atas dirimu bukan sesuatu yang menimpamu (artinya segala sesuatu, peristiwa sekecil apapun terjadi dengan kehendak Allah). Jika engkau mati dengan menyalahi keyakinan ini maka engkau akan masuk neraka” (HR. Ibn Hibban).



Dalam ayat al-Qur’an QS. Yunus: 25 yang dibacakan oleh Imam al-Husain di atas terdapat makna yang sangat jelas bahwa seorang hamba yang mendapatkan petunjuk adalah murni karena kehendak Allah dan dengan ciptaan-Nya, bukan ciptaan hamba itu sendiri. Selain QS Yunus: 25 di atas banyak ayat-ayat al-Qur’an lainnya yang berseberangan dengan faham Mu’tazilah, di antaranya firman Allah:



وَمَا تَشَاءُوْنَ إلاّ أنْ يَشَاءَ اللهُ رَبّ العَالَمِيْنَ (التكوير: 29

“Dan tidaklah kalian berkehendak kecuali apa yang dikehendaki oleh Allah Tuhan semesta alam” (QS. at-Takwir: 29).



Kemudian Imam al-Husain melanjutkan:



“Adapun bahwa keyakinan Mu’tazilah menyalahi para Malaikat adalah karena para Malaikat berkata, (seperti yang difirmankan Allah):



قَالُوْا سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَا إلاّ مَا عَلّمْتَنَا (البقرة: 32)

“Mereka (para Malaikat berkata): Maha Suci Engkau, -ya Allah- kami tidak memiliki ilmu apapun kecuali apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami” (QS. al-Baqarah: 32).



Penjelasan:

Dalam ayat ini terdapat pengakuan jelas dari para Malaikat bahwa ilmu yang ada pada diri mereka adalah murni pemberian dan penciptaan dari Allah. Dengan demikian artinya bahwa segala perbuatan manusia, baik yang zhahir maupun yang batin, termasuk segala apa yang terlintas dalam hati dan pikiran, semua itu terjadi dengan kehendak Allah dan dengan penciptaan dari-Nya. Ini berbeda dengan keyakinan Mu’tazilah yang mengatakan bahwa segala ilmu yang ada pada seorang manusia dan segala kemampuannya adalah ciptaan manusia itu sendiri.



Lalu Imam al-Husain berkata:



“Adapun bahwa mereka (kaum Mu’tazilah) menyalahi perkataan para Nabi; adalah karena sesungguhnya para Nabi tersebut berkata, (sebagaimana diceritakan dalam al-Qur’an):



وَمَا يَكُوْنُ لَنَا أنْ نَعُوْدَ فِيْهَا إلاّ أنْ يَشَاءَ اللهُ رَبّنَا (الأعراف:89)

“Tidaklah mungkin bagi kami masuk ke dalam agama kalian, kecuali jika Allah Tuhan kita berkehendak akan hal itu” (QS. al-A’raf: 89).



Penjelasan:

Dalam ayat ini terdapat penjelasan bahwa sebagian para Nabi Allah, untuk melepaskan dan membebasan diri segala perbuatan orang-orang musyrik, mereka berkata di hadapan orang-orang musyrik tersebut bahwa tidak mungkin bagi para Nabi itu untuk mengikuti agama mereka. Artinya Allah telah menyelamatkan para Nabi tersebut dari segala macam bentuk kufur dan syirik. Seandainya Allah berkehendak pada azal bagi para Nabi tersebut untuk mengikuti orang-orang musyrik dan orang-orang kafir itu maka pastilah hal itu akan terjadi, namun Allah tidak menghendaki kejadian peristiwa itu. Oleh karenanya para Nabi tersebut berkata: “Kami tidak akan masuk dan mengikuti agama kalian...”.

Senada dengan ayat yang dikutip oleh Imam al-Husain di atas adalah firman Allah tentang Nabi Nuh yang berkata:



وَلاَ يَنْفَعُكُمْ نُصْحِيْ إنْ أرَدْتُ أنْ أنْصَحَ لَكُمْ إنْ كَانَ اللهُ يُرِيْدُ أنْ يُغْوِيَكُمْ (هود: 34)

“Dan tidaklah nasihatku akan memberikan manfa’at kepada kalian jika aku berkehendak memberikan nasihat kepada kalian sementara Allah berkehendak menyesatkan kalian” (QS. Hud: 34).



Dalam ayat ini Nabi Nuh telah menetapkan dengan sangat jelas bahwa Allah yang berkehendak atas segala kejadian dari setiap perbuatan hamba, baik segala perbuatan yang baik maupun segala perbuatan yang buruk.



Imam al-Husain melanjutkan:



“Adapun bahwa mereka (kaum Mu’tazilah) menyalahi perkataan penduduk surga; adalah karena sesungguhnya penduduk surga berkata: (seperti yang telah difirmankan Allah):



وَمَا كُنّا لِنَهْتَدِيَ لَوْ لاَ أنْ هَدَانَا اللهُ (الأعراف: 43)

“Dan tidaklah kami mendapatkan petunjuk kalau bukan karena Allah telah memberikan petunjuk kepada kami” (QS. Al-A’raf: 43).



Penjelasan:

Dalam ayat ini terdapat pengakuan penduduk surga bahwa segala perbuatan saleh yang telah mereka lakukan yang karenanya mereka mendapat balasan surga adalah terjadi dengan kehendak Allah. Artinya, bahwa Allah yang telah menciptakan dan menghendaki perbuatan baik dan saleh tersebut bagi mereka. Seandainya Allah tidak menghendaki kejadian amal saleh tersebut pada diri mereka tentu mereka semua tidak akan mendapatkan balasan surga. Pemahaman ini berbeda dengan faham Mu’tazilah yang mengatakan bahwa keimanan orang-orang mukmin dan kebaikan orang-orang saleh adalah dengan penciptaan mereka sendiri. Lalu dengan dasar keyakinan buruk ini kaum Mu’tazilah kemudian menetapkan adanya kewajiban atas Allah untuk membalas kabaikan orang-orang mukmin tersebut. A’ûdzu Billâh.



Kemudian Imam al-Husain melanjutkan:



“Adapun bahwa mereka menyalahi perkatan penduduk neraka adalah karena sesungguhnya penduduk neraka berkata, (sebagaimana difirmankan Allah):



قَالُوْا رَبّنَا غَلَبَتْ عَلَيْنَا شِقْوَتُنَا وَكُنّا قَوْمًا ضَالِّيْنَ (المؤمنون: 106)

“Mereka (penduduk neraka) berkata: Ya Tuhan kami, kami telah dikuasai oleh kejahatan kami, dan adalah kami orang-orang yang sesat” (QS. Al-Mu’minun: 106).



Penjelasan:

Dalam ayat ini tersirat pengakuan dari para penduduk neraka bahwa Allah berkehendak dan menciptakan pada mereka akan kesesatan yang kerena kesesatan-kesesatan tersebut mereka mendapatkan balasan neraka.



Lalu Imam al-Husain ibn Ali ibn Abi Thalib berkata:



“Adapun bahwa mereka menyalahi perkataan saudara mereka sendiri yaitu Iblis, adalah karena Iblis berkata, (seperti yang difirmankan Allah):



قَالَ فَبِمَا أغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيْم (الأعراف: 16)

“(Iblis berkata): Karena Engkau telah menjadikan saya tersesat, saya benar-benar akan menghalang-halangi mereka dari jalan-Mu yang lurus” (QS. al-A’raf: 16).



Penjelasan:

Dalam ayat ini terdapat pengakuan sangat jelas dari Iblis bahwa Allah yang telah menghendaki dan menciptakan kesesatan pada Iblis. Allah telah menentukan kesesatan tersebut bagi Iblis, dan Iblis memilih kesesatan tersebut dengan usaha atau ikhtiarnya, kemudian Iblis berjanji bahwa ia akan berusaha sekuat tenaga untuk menjauhkan seluruh turunan Nabi Adam dari jalan Allah yang lurus. Dari pemahaman ayat ini dapat kita simpulkan bahwa Iblis ternyata jauh lebih paham dari pada kaum Mu’tazilah, karena Iblis mengakui bahwa segala suatu apapun, termasuk perbuatan hamba, adalah terjadi dengan kehendak dan dengan penciptaan dari Allah. Dengan demikian keyakinan yang benar adalah bahwa tidak ada suatu peristiwa sekecil apapun, baik yang sudah terjadi, atau yang sedang terjadi, atau yang akan terjadi, kecuali semua itu dengan kehendak dan dengan penciptaan dari Allah, para hamba dalam ini hanya berusaha semata terhadap apa yang ia ingikan.



Wa Allâh A’lam Bi ash-Shawâb.

oleh AQIDAH AHLUSSUNNAH

Tiada ulasan:

Catat Ulasan