PADA awal kemunculan Islam, nikah mut’ah memang dihalalkan, sebagaimana yang tercantum dalam banyak hadits diantaranya Hadits Abdullah bin Mas’ud berkata : “Kami berperang bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedangkan kami tidak membawa istri istri kami, maka kami berkata bolehkan kami berkebiri? Namun Rasulallah melarangnya, tapi kemudian beliau memberikan kami keringanan untuk menikahi wanita dengan mahar pakaian sampai batas waktu tertentu,” (Bukhari 5075, muslim 1404).
Hadits Jabir bin Salamah : “Dari Jabir bin Abdillah dan Salamah bin ‘Akwa berkata: Pernah kami dalam sebuah peperangan, lalu datang kepada kami Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan berkata :Telah diizinkan bagi kalian nikah mut’ah, maka sekarang mut’ahlah,” (Bukhari 5117).
Namun hukum ini telah dimansukh dengan larangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk menikah mut’ah sebagaimana beberapa hadits di atas. Akan tetapi para ulama berselisih pendapat kapan diharamkannya nikah mut’ah tersebut dengan perselisihan yang tajam, namun yang lebih rajah—wallahu a’lam—bahwa nikah mut’ah diharamkan pada saat fathu makkah tahun 8 Hijriyah. Ini adalah tahqiq Imam Ibnul Qoyyim dalam zadul Ma’ad 3/495, Al-Hafidl Ibnu Hajar dalam fathul bari 9/170, Syaikh Al-Albani dalam irwaul Ghalil 6/314.
Syubhat dan Jawabannya
Orang-orang yang berusaha untuk meracuni umat Islam dengan nikah ut’ah, mereka membawa beberapa syubhat untuk menjadi tameng dalam mempertahankan tindakan keji mereka, tetapi tameng itu terlalu rapuh. Seandainya bukan karena ini telah mengotori fikiran sebagian pemuda ummat islam maka kita tidak usah bersusah payah untuk membantahnya.
Syubhat tersebut adalah Firman Allah Ta’ala, mereka menafsirkannya dengan: Maka apabila kalian menikahi mut’ah diantara mereka (para wanita) maka berikanlah mahar mereka. (An-Nisa:24).
Juga karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam jelas pernah membolehkan nikah mut’ah, padahal beliau tidak mungkin berbicara dengan dasar hawa nafsu akan tetapi berbicara dengan wahyu, dan oleh karena ayat ini adalah satu-satunya ayat yang berhubungan dengan nikah mut’ah maka hal ini menunjukkan akan halalnya nikah mut’ah. (Lihat Al-Mut’ah fil Islam oleh Al-Amili hal 9).
Memang sebagian ulama’ manafsirkan istamta’tum dengan nikah mut’ah, akan tetapi tafsir yang benar dari ayat ini apabila kalian telah menikahi wanita lalu kalian berjima’ dengan mereka maka berikanlah maharnya sebagaimana sebuah kewajiban atas kalian.
Berkata Imam Ath Thabari setelah memaparkan dua tafsir ayat tersebut: “Tafsir yang paling benar dari ayat tersebut adalah kalau kalian menikahi wanita lalu kalian berjima’ dengan mereka maka berikanlah maharnya, karena telah datang dalil dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam akan haramnya nikah mut’ah,” (Tafsir Ath-Thabati 8/175).
Berkata Imam Al-Qurthubi : “Tidak boleh ayat ini digunakan untuk menghalalkan nikah mut’ah karena Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam telah mengharamkannya,” (tafsir Al-Qurthubi 5/132).
Dan kalau toh kita menerima bahwa ma’na dari ayat tersebut adalah nikah mut’ah maka hal itu berlaku di awal Islam sebelum siharamkan. (Al-Qurthubi 5/133, Ibnu Katsir 1/474).
Jadi jelaslah sudah, bahwa semua hadits yang menunjukkan halalnya nikah mut’ah telah di mansukh. Hal ini sangat jelas sekali dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam: “Wahai sekalian manusia , sesungguhnya dahulu saya telah mengizinkan kalian mut’ah dengan wanita. Sekarang Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat.”
Berkata imam Bukhari (5117) setelah meriwayatkan hadits Jabir dan Salamah: “Ali telah menjelaskan dari Rasulullah bahwa hadits tersebut dimansukh.”
Sebagian para sahabat masih melakukan nikah mut’ah sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sampai umar melarangnya, sebagaimana disebutkan dalam banyak riwayat, di antaranya:
“Dari jabir bin Abdullah berkata:Dahulu kita nikah mut’ah dengan mahar segenggam kurma atau tepung pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam juga Abu Bakar sampai umar melarangnya,” (Muslim 1023). Itu sebabnya, kaum Syiah sangat membenci Umar.
Sedangkan ucapan seorang tokoh Syi’ah kontermporer bahwa “Tidak semua orang mampu untuk menikah untuk selamanya terutama para pemuda karena berbagai sebab, padahal mereka sedang mengalami masa puber dalam hal seksualnya, maka banyaknya godaan pada saat ini sangat memungkinkan mereka untuk terjerumus ke dalam perbuatan zina, oleh karena itu nikah mut’ah adalah solusi agar terhindar dari perbuatan keji itu,” (lihat Al-Mut’ah fil Islam oleh husan Yusuf Al-Amili hal 12-14), adalah salah dari pangkal ujungnya.
Coba lihat hal ini:
Pertama: bahwa mut’ah telah jelas keharamannya, dan sesuatu yang haram tidak pernah dijadikan oleh Allah sebagai obat dan solusi.
Kedua : ucapan ini cuma melihat solusi dari sisi laki-laki yang sedang menggejolak nafsunya dan tidak memalingkan pandangannya sedikitpun kepada wanita yang dijadikannya sebagai tempat pelampiasan nafsu syahwatnya, lalu apa bedanya antara mut’ah ini dengan pelacuran komersil?
Ketiga : Islam telah memberikan solusi tanpa efek samping pada siapapun yaitu pernikahan yang bersifat abadi dan kalau belum mampu maka dengan puasa yang bisa menahan nafsunya, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,
“Wahai para pemuda, barang siapa yang mampu menikah maka hendaklah menikah, karena itu lebih bisa menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan, dan barangsiapa yang tidak mampu maka hendaklah dia berpuasa karena itu bisa menjadi tameng baginya,” (Bukhari 5066,Muslim 1400).
Wallahu a’lam. [sumber: Bukti Kesesatan Syiah]
Hadits Jabir bin Salamah : “Dari Jabir bin Abdillah dan Salamah bin ‘Akwa berkata: Pernah kami dalam sebuah peperangan, lalu datang kepada kami Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan berkata :Telah diizinkan bagi kalian nikah mut’ah, maka sekarang mut’ahlah,” (Bukhari 5117).
Namun hukum ini telah dimansukh dengan larangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk menikah mut’ah sebagaimana beberapa hadits di atas. Akan tetapi para ulama berselisih pendapat kapan diharamkannya nikah mut’ah tersebut dengan perselisihan yang tajam, namun yang lebih rajah—wallahu a’lam—bahwa nikah mut’ah diharamkan pada saat fathu makkah tahun 8 Hijriyah. Ini adalah tahqiq Imam Ibnul Qoyyim dalam zadul Ma’ad 3/495, Al-Hafidl Ibnu Hajar dalam fathul bari 9/170, Syaikh Al-Albani dalam irwaul Ghalil 6/314.
Syubhat dan Jawabannya
Orang-orang yang berusaha untuk meracuni umat Islam dengan nikah ut’ah, mereka membawa beberapa syubhat untuk menjadi tameng dalam mempertahankan tindakan keji mereka, tetapi tameng itu terlalu rapuh. Seandainya bukan karena ini telah mengotori fikiran sebagian pemuda ummat islam maka kita tidak usah bersusah payah untuk membantahnya.
Syubhat tersebut adalah Firman Allah Ta’ala, mereka menafsirkannya dengan: Maka apabila kalian menikahi mut’ah diantara mereka (para wanita) maka berikanlah mahar mereka. (An-Nisa:24).
Juga karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam jelas pernah membolehkan nikah mut’ah, padahal beliau tidak mungkin berbicara dengan dasar hawa nafsu akan tetapi berbicara dengan wahyu, dan oleh karena ayat ini adalah satu-satunya ayat yang berhubungan dengan nikah mut’ah maka hal ini menunjukkan akan halalnya nikah mut’ah. (Lihat Al-Mut’ah fil Islam oleh Al-Amili hal 9).
Memang sebagian ulama’ manafsirkan istamta’tum dengan nikah mut’ah, akan tetapi tafsir yang benar dari ayat ini apabila kalian telah menikahi wanita lalu kalian berjima’ dengan mereka maka berikanlah maharnya sebagaimana sebuah kewajiban atas kalian.
Berkata Imam Ath Thabari setelah memaparkan dua tafsir ayat tersebut: “Tafsir yang paling benar dari ayat tersebut adalah kalau kalian menikahi wanita lalu kalian berjima’ dengan mereka maka berikanlah maharnya, karena telah datang dalil dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam akan haramnya nikah mut’ah,” (Tafsir Ath-Thabati 8/175).
Berkata Imam Al-Qurthubi : “Tidak boleh ayat ini digunakan untuk menghalalkan nikah mut’ah karena Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam telah mengharamkannya,” (tafsir Al-Qurthubi 5/132).
Dan kalau toh kita menerima bahwa ma’na dari ayat tersebut adalah nikah mut’ah maka hal itu berlaku di awal Islam sebelum siharamkan. (Al-Qurthubi 5/133, Ibnu Katsir 1/474).
Jadi jelaslah sudah, bahwa semua hadits yang menunjukkan halalnya nikah mut’ah telah di mansukh. Hal ini sangat jelas sekali dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam: “Wahai sekalian manusia , sesungguhnya dahulu saya telah mengizinkan kalian mut’ah dengan wanita. Sekarang Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat.”
Berkata imam Bukhari (5117) setelah meriwayatkan hadits Jabir dan Salamah: “Ali telah menjelaskan dari Rasulullah bahwa hadits tersebut dimansukh.”
Sebagian para sahabat masih melakukan nikah mut’ah sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sampai umar melarangnya, sebagaimana disebutkan dalam banyak riwayat, di antaranya:
“Dari jabir bin Abdullah berkata:Dahulu kita nikah mut’ah dengan mahar segenggam kurma atau tepung pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam juga Abu Bakar sampai umar melarangnya,” (Muslim 1023). Itu sebabnya, kaum Syiah sangat membenci Umar.
Sedangkan ucapan seorang tokoh Syi’ah kontermporer bahwa “Tidak semua orang mampu untuk menikah untuk selamanya terutama para pemuda karena berbagai sebab, padahal mereka sedang mengalami masa puber dalam hal seksualnya, maka banyaknya godaan pada saat ini sangat memungkinkan mereka untuk terjerumus ke dalam perbuatan zina, oleh karena itu nikah mut’ah adalah solusi agar terhindar dari perbuatan keji itu,” (lihat Al-Mut’ah fil Islam oleh husan Yusuf Al-Amili hal 12-14), adalah salah dari pangkal ujungnya.
Coba lihat hal ini:
Pertama: bahwa mut’ah telah jelas keharamannya, dan sesuatu yang haram tidak pernah dijadikan oleh Allah sebagai obat dan solusi.
Kedua : ucapan ini cuma melihat solusi dari sisi laki-laki yang sedang menggejolak nafsunya dan tidak memalingkan pandangannya sedikitpun kepada wanita yang dijadikannya sebagai tempat pelampiasan nafsu syahwatnya, lalu apa bedanya antara mut’ah ini dengan pelacuran komersil?
Ketiga : Islam telah memberikan solusi tanpa efek samping pada siapapun yaitu pernikahan yang bersifat abadi dan kalau belum mampu maka dengan puasa yang bisa menahan nafsunya, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,
“Wahai para pemuda, barang siapa yang mampu menikah maka hendaklah menikah, karena itu lebih bisa menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan, dan barangsiapa yang tidak mampu maka hendaklah dia berpuasa karena itu bisa menjadi tameng baginya,” (Bukhari 5066,Muslim 1400).
Wallahu a’lam. [sumber: Bukti Kesesatan Syiah]
Tiada ulasan:
Catat Ulasan