islampos.com—PERANG seharusnya sudah selesai bagi Gregory Buckley. Setidaknya itu yang ada di benak Marina Buckley, sang ibu. Akhir Agustus ini, Gregory seharusnya sudah berada di rumah. Tapi itu tidak pernah terjadi.
Gregory Buckley menjadi tentara Amerika yang tewas ke-1990 dalam perang Afghanistan. Pada tanggal 10 Agustus silam, ia dan dua marinir lainnya ditembak di markas mereka sendiri di Provinsi Helmand oleh seorang pria yang tampaknya telah menjadi anggota dari pasukan Afghanistan. Ironisnya, si pria ini adalah tentara yang mereka latih selama ini.
Dalam satu pekan terakhir, jumlah militer AS yang tewas telah mencapai 2.000 orang. Ini adalah angka dalam 11 tahun terakhir. Perhitungan ini didasarkan pada catatan Departemen Pertahanan, termasuk di Pakistan dan negara-negara lainnya di mana pasukan AS terlibat langsung dalam peperangan.
Butuh waktu hampir sembilan tahun untuk mencapai angka 1000 pertama yang tewas dalam perang. Tapi cukup 27 bulan kemudian untuk mencapai 1000 orang lainnya; sebuah bukti bahwa keputusan Presiden Barack Obama mengirimkan 33.000 tentara tambahan ke Afghanistan pada tahun 2010 juga memakan korban dari pihaknya dengan begitu jelas.
Sepanjang perang, musim panas menjadi musim puncak pertempuran, dengan periode kematian tertinggi di bulan Juli, Agustus dan September 2010, ketika sedikitnya 143 tentara tewas.
Tapi tahun ini, ancaman baru muncul: serangan yang dilakukan oleh tentara Afghanistan yang mengenakan seragam pasukan keamanan resmi. Sampai saat ini saja, setidaknya 39 tentara asing telah tewas dalam serangan tersebut, sebagian besar korban adalah tentara Amerika yang sangat dibenci oleh rakyat Afghanistan.
Mark Moyar, seorang analis keamanan independen nasional yang telah mempelajari operasi dari Batalion ke-3, Resimen Marinir ke-5, mengatakan bahwa para pejuang Taliban beroperasi dengan impulsivitas tinggi.
Pentagon menegaskan bahwa sebagian besar serangan yang dilakukan oleh tentara Afghanistan berseragam resmi adalah hasil dari dendam pribadi.
Namun insiden kematian yang terus-menerus terjadi, bahkan ketika pasukan AS tidak melakukan operasi militer sama sekali, membuat banyak tentara Amerika dan keluarganya bertanya-tanya; apakah kehadiran AS di Afghanistan selama satu dekade membuat perbedaan?
Tentang hal ini, Kolonel Jason Morris, mantan komandan Batalion ke-3, ragu. Setelah pertempuran sengit bertahun-tahun, ia melihat perubahan yang jelas ketika ia meninggalkan Sangin pada awal tahun 2011. Satu hal yang mungkin tak akan ingin pernah ia ingat selama sisa hidupnya; ia tak ingin lagi kembali ke pertempuran Afghanistan yang tiada akhir dan tiada henti. [sa/islampos/the age]
Gregory Buckley menjadi tentara Amerika yang tewas ke-1990 dalam perang Afghanistan. Pada tanggal 10 Agustus silam, ia dan dua marinir lainnya ditembak di markas mereka sendiri di Provinsi Helmand oleh seorang pria yang tampaknya telah menjadi anggota dari pasukan Afghanistan. Ironisnya, si pria ini adalah tentara yang mereka latih selama ini.
Dalam satu pekan terakhir, jumlah militer AS yang tewas telah mencapai 2.000 orang. Ini adalah angka dalam 11 tahun terakhir. Perhitungan ini didasarkan pada catatan Departemen Pertahanan, termasuk di Pakistan dan negara-negara lainnya di mana pasukan AS terlibat langsung dalam peperangan.
Butuh waktu hampir sembilan tahun untuk mencapai angka 1000 pertama yang tewas dalam perang. Tapi cukup 27 bulan kemudian untuk mencapai 1000 orang lainnya; sebuah bukti bahwa keputusan Presiden Barack Obama mengirimkan 33.000 tentara tambahan ke Afghanistan pada tahun 2010 juga memakan korban dari pihaknya dengan begitu jelas.
Sepanjang perang, musim panas menjadi musim puncak pertempuran, dengan periode kematian tertinggi di bulan Juli, Agustus dan September 2010, ketika sedikitnya 143 tentara tewas.
Tapi tahun ini, ancaman baru muncul: serangan yang dilakukan oleh tentara Afghanistan yang mengenakan seragam pasukan keamanan resmi. Sampai saat ini saja, setidaknya 39 tentara asing telah tewas dalam serangan tersebut, sebagian besar korban adalah tentara Amerika yang sangat dibenci oleh rakyat Afghanistan.
Mark Moyar, seorang analis keamanan independen nasional yang telah mempelajari operasi dari Batalion ke-3, Resimen Marinir ke-5, mengatakan bahwa para pejuang Taliban beroperasi dengan impulsivitas tinggi.
Pentagon menegaskan bahwa sebagian besar serangan yang dilakukan oleh tentara Afghanistan berseragam resmi adalah hasil dari dendam pribadi.
Namun insiden kematian yang terus-menerus terjadi, bahkan ketika pasukan AS tidak melakukan operasi militer sama sekali, membuat banyak tentara Amerika dan keluarganya bertanya-tanya; apakah kehadiran AS di Afghanistan selama satu dekade membuat perbedaan?
Tentang hal ini, Kolonel Jason Morris, mantan komandan Batalion ke-3, ragu. Setelah pertempuran sengit bertahun-tahun, ia melihat perubahan yang jelas ketika ia meninggalkan Sangin pada awal tahun 2011. Satu hal yang mungkin tak akan ingin pernah ia ingat selama sisa hidupnya; ia tak ingin lagi kembali ke pertempuran Afghanistan yang tiada akhir dan tiada henti. [sa/islampos/the age]
Tiada ulasan:
Catat Ulasan